Oleh Muhammad Najib
Sejarah Indonesia, pun dunia mencatat betapa besar andil agama dalam membakar kebencian, meniupkan api kecurigaan, membangkitkan salah pengertian, dan mengundang konflik horizontal (Haryatmoko, 2010). Celakanya lagi, kerapkali agama juga memberikan landasan ideologis dan legitimatisasi serta justifikasi bagi aneka konflik yang mengecamuk di masyarakat, bahkan pemeluknya. Alih-alih menjadi sumber inspirasi atas segala problematika yang ada, justru agama, bahkan pendidikan agama, malah turut menyumbang persoalan.
Pendidikan agama yang eksklusif, tapi di ruang mimbar-mimbar agama menebar kebencian terhadap kelompok lain dengan legitimasi ayat-ayat suci. Pendidikan agama, sekali lagi, belum menyentuh pada isi dan misi dari agama itu sendiri; memekarkan semangat hidup bersama, mengembangkan sayap-sayap kebersamaan dalam balutan gotong-royong.
Padahal, bangsa ini, sejak awal dan berdasarkan kesepakatan para founding father, telah menerima Pancasila sebagai fondasi, pandangan, dan inspirasi hidup berbangsa. Tidak ada nilai sekuil dalam Pancasila yang bertentangan dengan agama, juga mengajarkan perpecahan. Yang ada, Pancasila itu mengakui bahwa segenap warga Indonesia berketuhanan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing; mengakomodasi perbedaan dan menolak semangat dan laku intoleran; juga di dalam butir-butir Pancasila memuat dimensi kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, musyawarah, dan keadilan sosial.
- Iklan -
Penelitian lawas mapun yang mutakhir menyebutkan bahwa Pancasila sebagai falasafah dan ideologi bersama, ternyata tidak berjalan dengan semestinya. Artinya, masih banyak aktivitas yang tidak dilandasi dengan nilai-nilai Pancasila. Pada titik inilah penggalian akan nilai-nilai Pancasila menjadi amat penting dan menemukan relevansinya.
Oleh sebab itu, sebagai dasar negara dan pusaka nan jaya dan mampu menembus seluruh relung kehidupan berbangsa dan bernegara untuk kehidupan Indonesia yang lebih baik dan maju, Pancasila harus digali (kembali) untuk memberikan pemahaman baru nan mantab mengenai berbagai masalah dan hal-hal dasar yang harus diselesaikanbangsa ini.
Model pendidikan agama yang inklusif dan holistik menjadi solusi atas persoalan mengapa Pancasila belum menemukan tajinya di dalam masyarakat. Terlebih di lembaga pendidikan, penyampaian materi tentang Pancasila lebih sistematis, terarah dan menghasilkan sesuatun yang konkret.
Pancasila sebagai Fondasi Pendidikan Agama
Agama, apapun itu, pastilah memuat nilai dan kebenaran ideal karena berasal dari Tuhan, pemilik kebenaran yang mutlak. Meskipun demikian, kebenaran agama terkadang direduksi dan disalahgunakan oleh pemeluknya. Sebab, agama bukanlah sesuatu yang otonom, melainkan ia berada dalam suatu realitas objektif yang secara signifikan mempengaruhi interpretasi maupun aktualisasi dari agama tersebut. Untuk itu, pemeluk agama sudah saatnya dan seharusnya menggunakan nilai-nilai agama sebagai kritik kebudayaan, atau bahkan pemusnah segala bentuk ideologi yang destruktif bagi kemanusiaan. Namun, acapkali antara budaya dan agama ibarat dua sayap burung yang saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Adalah sebuah kebenaran dan tak ada yang dapat membantah bahwa semua agama mengajarkan perdamaian dan persatuan. Tetapi di fakta lain menyebutkan bahwa tokoh, pelaksana dan pemeluk agama seringkali melakukan atau menjadi pelaku kekerasan. Di sinilah peran pendidikan dipertanyakan, minimal mengapa pendidikan agama tidak mampu mencegah kekerasan tersebut?
Sebagai tonggak pendidikan agama, guru agama memiliki peran penting dalam rangka mencegah kekerasan atas nama agama dan melestarikan perdamaian dan persatuan. Qodir (2012) mengusulkan agar para pendidik formal di bidang agama memiliki kemampuan multidisiplin dan tampil sebagai pribadi yang toleran dan lembut.
Lebih jauh lagi, pendidikan agama di Indonesia sudah seharusnya mengedepankan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Pancasila. Misalnya dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa; setiap anak didik ber-Ketuhanan dalam arti yang sedalam-dalamnya, yaitu menghargai manusia lain yang berbeda sekalipun, menjunjung tinggi dan menghargai manusia lain meskipun berbeda, dan menanggalkan fanatisme.
Dalam konteks sila pertama misalnya, seorang guru harus mampu menjelaskan kepada anak didiknya dengan baik dan lugas. Salman (2018) menjelaskan bahwa meskipun secara eksoterik, agama itu bersifat plural, namun secara esoterik semuanya akan bermuara kepada Satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa. Sebab semua agama monoteistis, baik Yahudi – Kristen – Islam, yang bersumber pada Abrahamic religious, pada hakekatnya didasarkan pada basic ideas tentang Keesaan Allah. Dalam istilah Filsafat Perenial (the perennial philosophy) kesamaan itu diistilahkan dengan transenden unity of religions (kesatuan transenden agama-agama).
Guru juga memberi wejangan kepada diri sendiri dan anak didiknya, bahwa ber-Pancasila bukan hanya menjalankan dan mempercayai serta menjalankan kewajiban sebagai seorang warga negara, melainkan juga sebagai cara (lain) mengaktualisasikan nilai dan prinsip agama. Cara berpikir seperti ini penting karena yang demikian itu akan melahirkan sikap ksatria, bukan mempertentangkan antara agama dan Pancasila. Selamat Hari Pancasila 01 Juni 2020!
–Alumnus UIN Walisongo Semarang, Kader Muda Nahdlatul Ulama Asal Mlagen, Pamotan, Rembang Jawa Tengah.