Oleh Hamidulloh Ibda
Saat takbir menggema, Sabtu malam (23/5/2020), hati saya merintih, menangis, mendengar kalimat tayibah yang hanya dikumandangkan pada malam Idulfitri dan Iduladha. Kami sekeluarga sepakat tidak mudik. Meski aslinya, diam-diam nekat mudik malam atau dinihari juga bisa, karena jarak rumah orang tua atau mertua dapat ditempuh sekira tiga jam.
Namun, kita harus taat pada ulil amri, karena pelarangan mudik bukan memutus ikatan batin antara kita dan keluarga di desa, melainkan menjadi usaha memutus mata rantai corona. Ya, sudahlah. Sekali-kali lebaran di kota, batinku.
Saya memiliki prinsip, bahwa ada poso (puasa) pasti ada bodho (hari raya). Itu pasti. Maka, memilih di rumah saja menjadi alternatif paling urgen dan ikhtiar dari jutaan orang yang nekat mudik. Lebaran yang berbeda tahun ini menjadi bukti, bahwa puncak dan makna hakiki lebaran tetaplah “puasa” karena ada spiritualitas ngempet (menahan). Jelas, puasa itu intinya ngempet, ngerem, menahan diri, termasuk menahan diri dari mudik.
- Iklan -
Kalau berbicara wajarnya orang merantau, mudik itu seakan menjadi “ibadah mahzah” yang wajib, bukan fardu kifayah, melainkan fardu ain. “Le, ora usah bali sek ora popo, sesuk-sesuk nek wes ora ono corona,” ungkapan ibuku lewat video call itu membuat saya brebes mili. Karena biasanya, seminggu sebelum Idulfitri biasa di rumah orang tua, atau mertua. Tapi, saya tetap tidak kehilangan momen lebaran tahun ini, meski bergeser ke media digital.
Ukhuwah dan Lebaran Digital
Hadirnya teknologi modern memudahkan silaturahmi kita. Jelas, Islam menganjurkan semua pemeluknya untuk “menyambung” bukan “memutus” silaturahmi. Entah dari makna ukhuwah islamiyah, ukhuwah basyariah, maupun ukhuwah wathaniyah, silaturahmi penting, bahkan dengan orang yang membenci kita sekalipun. Tradisi ini menjadi kultur yang dari tahun ke tahun selalu dihiasi dengan berbagai dinamika. Sebab, ulama-ulama kita sejak dulu memang menyeru agar umat Islam jangan sampai memutus tali persaudaraan.
Dalam buku KH. Hasyim Asy’ari, Abdul Hadi (2018: 50-51) berusaha keras mengungkap tradisi silaturahmi dan kedekatan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari dengan masyarakat. Dulu, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari menjadi pelopor agama sekaligus penumpas kemaksiatan dengan pendekatan kultural. Tradisi silaturahmi menjadi kebiasaan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut untuk dekat dengan masyarakat. Beliau ketika menjadi pengasuh pesantren, selalu menjadi ikatan batin dengan orang-orang di luar pesantren dengan silaturahmi.
Menurut Mbah Hasyim, silaturahmi tidak sekadar menjaga ukhuwah, namun juga menjadi “misi dakwah”. Mbah Hasyim kala itu rajin silaturahmi karena dengan melihat kondisi, keadaan, dan dinamika masyarakat sekitar, beliau dapat mendekatkan Islam yang ramah kepada masyarakat. Utamanya, kala itu untuk memberantas perjudian, minum-minuman keras dan pelacuran. Maka wajar, kedekatan Mbah Hasyim dengan para begundal, pemabuk, penjudi, dan kelompok abangan lain itu membuahkan hasil masyarakat yang beliau datangi terhindar dari kemaksiatan.
Dus, bagaimana di era digital saat ini, apakah kita bisa meneruskan perjuangan Mbah Hasyim? Jelas bisa. Hal itu sudah kami lakukan dari awal menjadi pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah periode 2018-2023. Penguatan dari aspek pembelajaran, dakwah melalui website, media sosial termasuk Youtube juga sudah berjalan.
Tapi, batasan-batasan dakwah digital menjadi kendala dan masalah sendiri, salah satunya seperti silaturahmi maupun kegiatan ngaji online. Tapi, contoh silaturahmi yang dilakukan Mbah Hasyim di atas memotivasi kita untuk terus berdakwah lewat silaturahmi meski harus berkonversi ke media digital. Ini namanya menjaga tradisi lama yang baik, dan mengomparasikan tradisi baru yang lebih baik.
Pada hari Lebaran pertama, saya iseng mencari lagu di Youtube. Ya, lantaran masih stay di rumah dan tidak mudik, hanya bisa momong anak sambil takbiran kultural di rumah. Ada salah satu lagu yang menarik karya Ketua PWNU Jawa Tengah periode 1985-1995 KH. Bukhori Masruri, yaitu berjudul “Racun Transparan”. Lagu ini tercipta pada 2018 pada album Nasida Ria Reborn, Vol. 35 sebelum beliau wafat pada 17 Mei 2018 lalu.
Kiai yang akrab disapa Abu Ali Haedar ini menulis lirik Racun Transparan yaitu:
Dunia transparan tembus pandang//semua terbuka tiada rahasia//jauh dekat kelihatan//baik buruk kelihatan.
Berita tersebar luas//Ke seluruh jagat raya//Dengan pengaruh budaya//Yang baik dan yang tercela//Awas racun transparan//Yang merusak budaya//Awas racun transparan//Perusak moral agama//Lindungi anak cucu//Dari racun transparan.
Sebenarnya, Kiai Bukhori ini memandang sisi negatif dari efek dunia digital yang super cepat tanpa diimbangi dengan literasi dan karakter, akhlak, atau etika. Orang dengan “telanjang” membagikan gambar, foto, video, tulisan atau apa saja ke media digital, entah itu media online, media sosial, atau layanan pesan. Kalau baik sih tak masalah dan menjadi “madu”, kalau buruk itu yang menjadi “racun”.
Maka intinya, mau lebaran manual atau digital, semuanya harus pintar ngerem. Karena tanpa “puasa”, apa saja yang kita bagikan di dunia digital ibarat pisau, yang bisa menusuk kita, atau dapat bermanfaat jika digunakan sebagaimana mestinya. Lebaran kali ini menjadi momentum kita untuk berkonversi ke dunia digital dengan mewartakan dakwah, pesan, ide, gagasan, maupun informasi yang mendidik, mencerahkan, bukan menebar teror, pornografi, apalagi sampai hoaks dan fitnah.
Lebaran itu Puasa!
Mudik, pulang kampung, bali desa, atau apa saja namanya, menjadi ritus dan fenomena religius humanisme tiap menjelang lebaran Idulfitri. Rindu akan pulang kampung melebihi rindu kepada sang kekasih. Lebih dari sekadar rindu melihat senyum sang kekasih.
Ihwal mudik, bukan sekadar soal keagamaan, kebudayaan, kemanusiaan, tapi juga soal cinta tanah air. Kita dapat membayangkan, orang yang tak punya sedikitpun rasa rindu kampung halaman, bagaikan kacang lali lanjaran. Tercerabut dari akar, sehingga ia seperti burung yang kehilangan sayapnya.
Apa yang dicontohkan Mbah Hasyim dan Mbah Bukhori di atas dapat diambil hikmahnya. Pertama, kita dapat berlebaran tanpa harus melawan ketentuan dan pecegahan virus corona. Maka narasi seperti tanpa sowan tetap seduluran, tanpa kunjung tetap nyambung, tanpa salaman tetap ngapuranan. Ini merupakan bentuk “puasa” dalam lebaran. Sebab, yang biasanya kita sowan, kunjung, dan salaman, semua terkendala, tapi substansi lebaran kan masih dapat. Kita tetap seduluran, nyambung, dan ngapuranan.
Kedua, misi dakwah melalui media digital tidak hanya saat lebaran, namun saat Ramadan bahkan di luar dua momen ini sangat dibutuhkan. Hadirnya media yang diinisiasi LP Ma’arif PWNU Jateng menjadi sarana yang tepat bahkan dakwah itu berjalan melalui media apa saja. Termasuk, narasi dalam sebuah meme itu juga bagian dakwah. Bentuknya sederhana, milenial, namun mampu menyederhanakan sesuatu yang rumit, repetiti, dan ruwet menjadi mudah dicerna tanpa mengaburkan substansi.
Ketiga, ketika sudah melakukan dakwah via digital, harusnya ada batas-batas yang sudah dipesankan Mbah Bukhori. Artinya, open itu tidak semuanya, terbuka itu tak harus telanjang, agar apa yang kita suguhkan tidak menjadi racun, tapi harusnya menjadi madu.
Terakhir, mau lebaran, dakwah, atau ibadah mahzah dan mualamah lainnya, pada intinya harus menemukan batasan, pagar, menahan, karena inti dari orang hidup itu ya “ngegas” dan “ngerem”.
Saatnya ngegas kita harus ngegas. Saatnya ngerem, ya kita harus ngerem. Jangan saatnya ngerem malah ngegas, nanti bisa nabrak. Sebaliknya, jangan saatnya ngegas, malah kita ngerem, jelas jalan ditempat bahkan mogok, mangkrak bin macet.
Dus, adalah ibadah seindah puasa, dan adakah makna lain lebaran tahun ini selain ngempet yang menjadi substansi puasa? Maka saya memaknai, lebaran itu puasa, puasa itu lebaran, meski puncaknya adalah innalillahi wainna ilahi raji’un.
Kita berpuasa, untuk lebaran yang hakiki-abadi, yaitu kembali pada Allah. Akankah kita puasa saja, atau puasa terus tanpa lebaran?
-Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM).