Oleh Shela Kusumaningtyas
Saya dan adik langsung menghambur ke luar rumah nenek ketika kakak sepupu saya tiba dengan Bapaknya, Pakde saya. Kami langsung bersalam-salaman dan berpelukan untuk menyambut kedatangan mereka. Lalu kami langsung saling bertanya kabar masing-masing. Menceritakan lamanya perjalanan untuk sampai ke rumah nenek. Atau membahas hal-hal lucu dari tayangan televisi yang kami tonton. Itulah kenangan yang membekas soal tradisi mudik bagi saya. Menanti kerabat yang tinggalnya jauh dan saling melepas rindu.
Tak akan ada lagi memori seperti itu pada Idulfitri tahun 2020. Pandemi Corona membuat masyarakat Indonesia harus menunda dulu tradisi mudik. Penyebaran virus ini semakin lama semakin mengkhawatirkan. Di rumah saja menjadi keputusan bijak demi mencegah makin banyaknya korban akibat virus Covid-19 ini.
Mudik menjadi salah satu aktivitas perpindahan orang secara massal dan serentak. Umumnya, dari kota menuju udik atau kampung halaman. Dilakukan setahun sekali sebagai bentuk merayakan hari raya Idulfitri dan biasanya berlangsung selama sepekan hingga dua pekan. Karena pemerintah seringkali memberikan jatah cuti bersama yang cukup panjang.
- Iklan -
Melihat gambaran tersebut, bisa terbayang jutaan orang akan berkerumun di terminal, bandara, pelabuhan, stasiun, ataupun memadati jalanan. Inilah yang harus diantisipasi di masa wabah global seperti sekarang. Seperti yang kita tahu, virus Corona menular lewat percikan liur yang tak kasat mata. Untuk itu kita diminta berjaga jarak aman supaya tidak terinfeksi virus tersebut. Kita pun juga dilarang untuk mudik demi memutus mata rantai penyebaran virus yang kasus pertama di Indonesia diumumkan pada Maret lalu.
Kemudian timbul banyak kegelisahan menanggapi instruksi untuk tidak mudik. Pasti berat rasanya tidak bisa bersua dengan orangtua, kerabat, ataupun saudara terkasih pada momen sakral seperti hari raya. Namun ingatlah, kita malah bisa berperan sebagai agen penyebar virus tersebut ke kampung halaman jika memaksakan untuk mudik. Benar, kita merasa sehat-sehat saja. Tidak ada gejala sakit sama sekali. Namun apakah kita bisa memastikan bahwa tidak ada virus tersebut yang bersemayam di tubuh? Yang nantinya bisa hinggap ke saluran pernapasan orang-orang terkasih kita?
Mari sama-sama saling menjaga dan memahami. Tidak mudik pasti menyedihkan. Rencana untuk bersilaturahmi, bernostalgia, dan merayakan lebaran bersama keluarga besar menjadi pupus. Bayangan untuk makan masakan khas selama lebaran mungkin hanya menguap dan tinggal angan. Tapi yakinlah dengan tidak mudik, kalian telah berperan besar untuk menghentikan pandemi ini.
Memeram rindu. Mengalihkan pertemuan lewat platform digital. Rasa rindu dituntaskan secara virtual. Gawai menjadi penghubung kita dengan yang terkasih. Silaturahmi tetap bisa berjalan lewat konferensi video. Kita bisa memanfaatkan aplikasi Zoom untuk berkumpul secara digital. Meluapkan rindu kepada keluarga. Pertemuan tatap muka memang tidak akan sepenuhnya terganti lewat konferensi video. Setidaknya, silaturahmi tetap berjalan secara digital. Ucapan maaf yang tulus juga tetap terasa maknanya walaupun disampaikan lewat panggilan video.
Pandemi Corona tidak menutup kesempatan kita untuk tetap khidmat melangsungkan tradisi silaturahmi. Wabah global ini hadir untuk menguji kita. Tentang bagaimana kita merawat kekeluargaan di kala terpisah jarak. Bagaimana kita memaknai kebersamaan apapun bentuknya. Bagaimana kasih sayang ternyata tak harus ditunjukkan dengan kehadiran fisik. Karena justru dengan di rumah saja, kita telah menyelamatkan keluarga dari virus Corona.
Kemudian pasti akan ada yang bertanya, bagaimana melepas rindu dengan masakan khas lebaran yang mungkin hanya akan ditemukan di kampung halaman? Tanyakan resepnya kepada orang rumah lalu beli bahan dan alat memasaknya secara daring. Kemudian masaklah cara yang dianjurkan orang rumah. Jika kesusahan, contek tutorialnya dari Youtube ataupun pahami cara memasaknya dengan membaca blog.
Kalau misal masih kewalahan untuk menduplikasi masakan tersebut, coba pesan secara daring di toko-toko daring atau meminta tolong orang rumah untuk mengirimkan masakan tersebut. Diusahakan dikemas dalam bentuk beku supaya lebih awet. Kalau masih juga repot, makanlah dulu yang ada di depanmu. Tidak usah memaksakan menghadirkan makanan khas kampung halaman. Segeralah bersyukur kalau keluarga masih lengkap dan diberi kesehatan untuk merayakan lebaran. Panjatkan rasa terima kasihmu kepada Sang Maha Pencipta jika kamu masih bisa bernaung di tempat tinggal yang layak.
Karena seperti yang diberitakan, pandemi Corona memukul ekonomi Indonesia. Dampaknya, banyak pekerja yang harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Banyak yang kehilangan mata pencaharian jelang lebaran. Situasi sulit dan memprihatinkan.
Begitulah, lebaran tahun ini bakal sangat berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin para anak rantau yang tinggal sendiri tidak akan menemukan ketupat, opor, dan lontong terhidang di meja. Tidak pula sungkem ke orangtua.
Lebaran kini tidak identik dengan ritual seperti ini: kumpul keluarga, makan bersama, belanja baju baru, dan berkunjung ke tetangga serta sanak saudara. Karena sesungguhnya, lebaran adalah momen untuk meresapi arti perjuangan. Melanjutkan perjuangan yang telah kita jalankan selama berpuasa. Lebaran bukan melulu soal kemewahan dan menghamburkan uang dengan belanja. Bukan pula ajang pamer harta atau buka juga ajang untuk mencela pencapaian saudara.
Selamat berlebaran digital!
– Penulis adalah seorang yang gemar membaca, menulis, berenang, dan jalan-jalan. Menulis menjadi sarana saya untuk mengabadikan berbagai hal. Menulis juga melatih saya untuk mengerti arti konsistensi dan pantang menyerah. Tulisan saya seperti puisi, opini, dan feature pernah dimuat di berbagai media massa. Di antaranya di Detik, Kompas, Suara Merdeka, Wawasan, Tribun Jateng, Bangka Pos, Bali Pos, Radar Lampung, Malang Voice, dan Koran Sindo. Telah menerbitkan dua buku di Ellunar Publisher, Kumpulan Puisi Berjudul Racau dan Kumpulan Opini di Media Massa Berjudul Gelisah Membuah.