MENGENANG HASAN JUNUS
warna-warni perjalananmu
yang terlukis pada jantung ingatan
berdetak di setiap tanggal muda
saat siuran angin membelah dada
bukan bagaimana engakau pergi
melainkan aroma sunyi
di tubuh kami begitu berarti
menebar ke ruas-ruas mimpi
saat runcing tetesan hujan
membuat mata mengenal kedipan.
akhirnya kami buka kembali
buah pinang yang kita belah dulu di pagi hari
ingin sekali meniru caramu membelah
tapi kau tak bisa menilai
di bagian mana kami harus memulai.
- Iklan -
tapi kau hanya bisa berjalan
dalam belahan tanah yang telah kami belah
dan kau hanya bisa menerima ucapan “selamat jalan”.
Sampang, 2020
AYAT KILAT
_HJ
mata huruf aroma kata menatapku
dari tepian rembulan berdarah
sepasang kelelawar tak berani singgah
mengais kisar lembut jantung
bersetia menyimpan renung.
kepada yang kelam
bayangmu semakin tenggelam
memasuki lubang karang
yang berandai dihantam gelombang.
jika angin adalah pelantara
dalam hening yang membuat rindumu bicara
aku adalah daki yang kau bawa kedalam mimpi
hingga kuhafal di mana kelak kakimu akan berhenti
namun, sebagai lelaki
pergi sangat dilarang dalam kitab puisi
maka satu-satunya nasib yang perlu diiklaskan
adalah diam di langit menjumlah bintang
agar takdir dalam hidup tak perlu kau tanyakan.
Sampang, 2020
MATA HIJAU GADIS RANTAU
setelah ia lewati surau-surau desa
ia semakin faham akan setiap pertemuan
yang tersulam dengan jejak-jejak senyuman
pada setiap langkah menuju kerinduan.
ia relakan kenangan terbungkus sapu tangan
diterpa angin barat
seperti membawa sunyi yang kedap
sementar langkah kaki selalu menuju ke hutan
memburu rindu dan kasih sayang.
walau kembali ia ke tanah kelahiran
ia selalu hias akan lentik mawar mirah
seperti anak jadah yang dirahasiakan sejarah
dalam detak jantung yang meniup resah.
betapa ia gelap sepanjang nahkoda.
rona di pipinya adalah getir bagi semista
bahwa awan dan hujan akan kembali kepada tuhan
tanpa kau ulurkan cinta dan kerinduan.
Sampang, 2020
PULAU PENYENGAT
katakanlah pada batu-batu
ihwal rindu sungguh bahaya bagi waktu.
sejak angin kemarau itu bersiur
sepasang layang-layang mengulur kenangan masa kecil
melahirkan cinta dan air mata dengan mungil
dengan lengking burung gereja yang menggigil.
tak pernah kau tau
bagaimana cinta itu memburu hatiku
berderai di antara perbatasan sungai dan hutan
selepas runcing panah tak lagi kau tusukkan.
sungguh biadap embun pada siang
ketika kemarau mulai mendangkur di keningmu
apa yang pantas di nobatkan
kecuali tetesan hujan yang berkhir pada kedipan.
dari kota ke halaman depan rumah
sejarah masih nenggenggam batang resah
menunggu kita agar cepat-cepat berdansa
pada miniatur perjalanan menuju cinta
dan pada tanah ini
sayap kupu-kupu yang menyimpan sunyi
sebentar lagi akan kembali,
kembali mentenun beragam mimpi
pada langkah kakimu menjelang pergi.
Sampang, 2020
SEJAK MALAM MERINDUKAN HUJAN
sejak malam merindukan hujan
cintaku menguncup di runcing dedaunan
menjelma desau yang sering kacau
saat gelap mulai suka pada hirau.
kukirimkan seribu angin padamu
agar dingin yang menyelimuti tubuhmu
semakin baik untuk kurayu.
namun perlu kau sadari,
sunyi yang sekian kali menari-nari
merupakan puisi pada malam-malammu
ketika mata mencari warna temu.
seperti keinginanku padamu
sejak malam merindukan hujan
aku semakin rentan diintai kerunduan.
Sampang, 2020
*J. Akid Lampacak, dikenal dengan Nama Panggilan B.J. Akid. Lahir 03 Mei 2000 di Lebeng Barat Sumenep Madura, Jawa Timur. Menulis esai dan puisi, sekarang sedang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Annuqayah. Puisi-puisinya tersiar di berbagai media cetak, seperti Republika, Suara Merdeka, Koran Haluan, Padang Ekpres Riau Pos dan media lainnya. Menjadi ketua komunitas Laskar Pena Lubangsa Utara dan pengamat litrasi di sanggar Becak Sumenep.
subhanallah….