Oleh Usman Mafrukhin
Penerapan nilai-nilai humanis dapat dilakukan dalam sebuah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan bisa berupa pendidikan formal dan nonformal. Proses pendidikan pembelajaran yang transformatif dan partisipatif berupaya menjadikan peserta didik dan situasi hidup mereka sebagai starting point proses pembelajaran. Johnston (1998:13) mengatakan bahwa tindakan, aktivitas, kehidupan, perbuatan merupakan kondisi esenssial untuk pembelajaran. Pembelajaran tersebut dapat kita jumpai di pondok pesantren yang berada di Indonesia. Proses pembelajaran yang bersifat student centre dan problem solving menyebabkan peserta didik harus mampu berinteraksi dengan sesama.
Alam kehidupan di Pondok Pesantren, nilai humanis dapat membantu menumbuhkan kesadaran para peserta didik untuk menyadari bahwa ia dapat tumbuh dan berkembang dalam kontek kebersamaan dengan orang lain yaitu dalam satu komunitas di Pondok Pesantren. Keterjalinan antar individu juga membawa peserta didik pada pemahaman bahwa orang lain adalah saudara, teman, sahabat dan kerabat yang harus dirawat, bukan sebagai lawan atau musuh yang harus dubunuh.
Kesadaran tersebut dapat dibangun melalui pendidikan kepribadian dan peerapan nilai humani yang mengubah paradigma berfikiran dianogstik yang membagi manusia kedalam kelompok kami dan mereka, aku dan kamu. Pondok Pesantren mmerupakan lembaga pendidikan nonformal yang didirikan untuk menciptakan manusia yang taat pada agama dan taat pada aqidah yang berlaku. Pondok pesantren berteguh pada kitab-kitab dan ayat-ayat Allah yang mejadi pedoman.
- Iklan -
Latar belakang santri sangat berbeda, ada yang berawal dari keluarga yang tercukupi bahkan sebaliknya, ada juga yang keturunan dari alim ulama sehingga sering kali disebut Gus. Status sosial demikian tidak berlaku di kalangan santri setiap pondok pesantren di Indonesia, karena santri di didik oleh kiyainya agar menjadi pribadi muslim yang bertakwa kepada Allah SWT berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab mengamalkan ilmunya serta berkomitmen mempertahankan cita-cita kemerdekaan bangsa.
Jadi status sosial selalu tidak dianggap, kita semua santri yang hakikatnya ingin belajar dan mengabdi. Walaupun terkadang santri itu pintar ataupun bodoh, dimata Kiyai santri tetap sama, mereka dibina untuk saling meghormati dan patuh kepada yang lebih tua. Belum dikatakan seorang santri senior kalau belum dapat titel atau julukan “kang” dari santri lainya, walaupun sistem senioritas di pesantren jarang kita temui akan tetapi ptinsip untuk saling menghormati adalah menjadi kunci.
Nderek Dawuh Adalah Koentji
Sebelum membahas tentang humanisme penulis mencoba menelaah lagi hakikat santri yang pada akhirnya akan di kaitkan dengan humanisme santri. Satu prinsip santri lagi adalah nderek dawuh (ikut perkataan kiyai) mau model seperti apa saja harus di ikuti, baik berupa pengabdian atau dawuh lainya. Karena dimata santri untuk mengambil atau mendapat barokah ilmu yang diajarkan adalah bisa lewat ikhtiar pengabdian bukan hanya pengajaran saja.
Karena Salah satu prinsip dasar yang harus dimiliki seorang santri adalah selalu menjaga ketersambungan dengan kiainya. Ketersambungan yang dimaksud adalah dengan menjalankan dawuh atau nasihat-nasihat dan perintah dari kiai. Bahasa pesantren menyebutnya dengan istilah sami’na wa atha’na.
“Kapanpun, di manapun, dan sampai kapanpun, prinsip seorang santri adalah nderek poro kiai. Dan ini sudah menjadi harga mati,” kata kiai saya waktu dulu masih di pesantren. Ini pada dasarnya menjadi implementasi juga dengan humanisme seorang santri.
Prinsip dasar itu tidak hanya dimiliki santri yang masih di pesantren, namun siapapun yang memiliki jiwa dan kepribadian santri, harus memegang erat prinsip dasar itu. Seorang kiai memiliki multi peran. Ia tidak hanya sekedar guru, tetapi juga pemomong. Tidak hanya mengajar, tapi juga mendoakan. Selalu mengarahkan santrinya untuk menjadi lebih baik. Ia menyebut, kiai-kiai seperti itu banyak dijumpai di berbagai pesantren dan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Nilai-nilai Penting
Pertama, nilai religius. Proses pendidikan nilai religius yang di lakukan di pondok pesantren ini dilakukan dengan cara memberikan contoh dan memfasilitasi anak untuk beribadah sesuai peraturan yang ada dalam lingkungan pondok pesantren yang bernafaskan pondok pesantren. Kedua, nilai jujur. Upaya dalam membiasakan anak agar berperilaku jujur pengasuh memberikan contoh dengan cara menjadi tauladan bagi anak dan memberi stimulasi terhadap anak, jadi anak tidak merasa di jadikan robot yang selalu diperintah dan dipaksa dalam melakukan segala kegiatan.
Ketiga, nilai toleransi. Pengasuh di dalam pondok pesantren memberikan kesempatan belajar memahami segala sesuatu untuk dapat hidup secara toleransi kepada sesama temanya. Selain itu anak di bimbing untuk saling menghormati terhadap teman yang berbeda agama meskipun dilingkungan panti semua memeluk agama Islam.
Keempat, nilai disiplin. Disiplin merupakan sikap dan perilaku seseorang yang mencerminkan ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan yang ada.Kebiasaan disiplin juga di tanamkan di Pondok Pesantren yang menunjukkan sikap pembiasaan mentaati peraturan yang di berikan oleh pondok pesantren.Kelima, nilai kerja keras. Pengasuh memberikan tauladan untuk santri selalu memberikan yang terbaik dan tidak mudah untuk menyerah sehingga pengasuh memasang slogan di berbagai sudut ruangan untuk motivasi santri.
Keenam, nilai kreatif. Untuk membentuk anak yang cerdas dan mandiri baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Pengasuh selalu memberikan dorongan nilai positif untuk menumbuhkan dan menggali kreatifitas yang mereka miliki tanpa ada paksaan dari pihak pengasuh.Ketujuh, nilai mandiri. Islam mengajarkan untuk bersikap mandiri dan tidak manja, karena di dalam kehidupan pondok pesantren tidak mungkin pengasuh memberikan arahan terus menerus untuk membimbing satu persatu anak yang ada di dalam panti sedangkan di dalam lingkungan pondok pesantren sendiri terdapat kurang lebih 100 santri Nilai Demokrasi Demokratis merupakan sikap perilaku yang menghargai orang lain atas dasar kesamaan hak dan kewajiban. Memang dalamPendidikan humanis disini pengasuh selalu memberikan kebebasan tetapi dalam batas-batas tertentu yaitu masih dalam pengawasan.
–Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Sunan Plumbon, Krajan Tembarak Temanggung, Pengiat Literasi di Komunitas Pena Aswaja.