Oleh Hamidulloh Ibda
Saya tidak bisa membayangkan, gaji guru swasta di tengah-tengah wabah covid-19 (corona) ini. “Mesakke wong-wong cilik ya, Pak. PKL, buruh, termasuk guru-guru honorer sing ora PNS,” celetuk salah satu teman kepada saya.
Saya pun merasakan, banyak sekali aktivitas ekonomi harus terjun gunung alias kolaps. Entahlah. Ini merupakan ujian yang berdampak pada banyak sendi-sendi kehidupan. Salat dilarang, diskusi disetop, kuliah mandeg, sekolah prei, jalan-jalan dilockdown, bahkan bekerja untuk menghidupan anak dan istri harus ikut terkendala. “Anak bojo mangan opo iki?” curhat salah satu rekan diskusi.
Posisi yang paling “aman” tentu bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya yang Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Ngeniki PNS aman-aman wae, ora kerjo tetap dijagi, tapi Kota Semarang tetap ngantor, bedo karo daerah liya,” kata istriku saat di rumah.
- Iklan -
Ya, PNS memang aman. Berbeda dengan nasib seperti kami, “buruh” yang gajinya dihitung dengan kehadiran fisik. Efek lockdown karena wabah pandemi corona memang meluluhlahtahkan sendi-sendi kehidupan. Manusia swasta, tidak mungkin mendapat gajian dan pensiunan tetap seperti ASN.
Manusia swasta prinsipnya “tetap bekerja”, bukan “pekerja tetap”. Maka, dalam konteks ini perlu dicari sebuah solusi yang mampu menjadikan problem ini clear, setidaknya menghadirkan senyum pagi para petani dan buruh pabrik.
“La masak dikon tenguk-tenguk ning omah, anakku mangan opo? Kecuali kene digaji, dikei mangan, dikei pensiunan,” beber tetangga saya, dengan nada keras tetap bekerja demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
ASN dan swasta memang ibarat gunung sindoro dan sumbing. Tampaknya jejer, namun jaraknya jauh. Jauh sekali!
Problem Gajian-Pensiunan
ASN memang harus merevolusi mental karena mereka harus keluar dari zona nyaman. Sejak bergulirnya sistem penggajian pensiun PNS sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak lagi dengan sistem bulanan, namun hanya sekali bayar atau pesangon, dulu sempat membuat resah. Wacana ini menimbulkan diskursus.
Banyak PNS, anggota TNI dan Polri “galau” menanggapi wacana tersebut. Akan tetapi, wacana pesangon ini perlu disambut dan dikaji ulang secara mendalam demi kemajuan dan menurunkan beban negara. Wacana tersebut bukan menghapus gaji pensiun PNS, namun hanya diganti sistem. Perubahan tersebut hanya penerapan pembayaran gaji yang berbeda. Artinya, kalau rencana itu dilaksanakan, maka pembayaran dana pensiun akan dilakukan sekali saja (fully funded) di muka dan tidak setiap bulan (pay as you go).
Selama ini pembayaran gaji pensiun PNS sangat menggiurkan. Hal itu membuat para abdi negara nyaman, aman, berkecukupan dan terjamin masa tua bahkan sampai matinya. Mental ini membuat orang mengejar posisi PNS tiap kali ada seleksi CPNS. Orientasi gaji, tunjangan, dan jaminan masa tua memikat jutaan sarjana untuk menjadi PNS. Namun apakah semuanya harus menjadi PNS? Tentu tidak mungkin.
Secara gaji kepegawaian, PNS pusat merupakan pegawai vertikal yang diangkat oleh Kementerian atau lembaga non-Kementerian yang digaji dari APBN. Sedangkan PNS daerah diangkat oleh Pemprov, Pemkot atau Pemkab yang berada di dinas-dinas/lembaga dengan gaji dan tunjangan berasal dari pusat yang dialokasikan (DAU) dan insentif/tunjangan bergantung dari APBD setempat.
Reformasi Birokrasi
Sesuai amanat UU ASN, pemerintah hanya wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PNS serta menjamin kesejahteraan PNS. Komponen gaji yang diterima PNS hanya terdiri atas 3 macam, yaitu gaji pokok, tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan. Akan tetapi, implementasi UU ASN akan mereformasi semua hal, tidak hanya sistem seleksi CPNS, pola Diklat Prajabatan, struktur kepegawaian, baju dinas, nama PNS menjadi ASN, namun juga mereformasi mental, gaji dan tunjangan PNS.
Selain tunjangan di atas, saat ini masih berjalan beberapa tunjangan menggiurkan, seperti tunjangan jabatan fungsional, tunjangan istri/suami dan anak, tunjangan pangan, uang makan dan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP), tunjangan profesi dan sertifikasi bagi guru dan lainnya. Bahkan tiap daerah memiliki otonomi daerah sendiri yang mengatur tunjangan PNS, seperti di Jawa Tengah yang tiap kabupaten/kota memiliki tunjangan tersendiri. Seperti contoh Kota Semarang yang menerapkan tunjangan Kesejahteraan Pegawai (Kespeg) yang tidak ada di daerah lain di seperti Blora, Pati, Grobogan dan sebagainya.
Semua peraturan di bawah undang-undang di atas tak boleh bertentangan UU ASN. Tunjangan-tunjangan di atas yang sesuai UU ASN akan dihapus dengan otomatis. Prinsipnya, perubahan ini tak boleh merugikan PNS, baik secara nominal maupun prosedur. Sebab, sesuai pasal 79 UU ASN, pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PNS serta menjamin kesejahteraan PNS.
Rencana penggantian gaji pensiun menjadikan para abdi negara semakin pesimis dan mengusik masa depan mereka nanti. Namun rencana ini menunjukkan kinerja pemerintah terutama Kemenpan-RB dalam mereformasi birokrasi yang selama ini didengungkan semakin tajam.
Selain masalah gaji, sebelumnya pemerintah juga melarang PNS mengadakan rapat di hotel atau luar gedung pemerintahan. Kebijakan itu tertuang dalam Permenpan-RB Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pedoman Pembatasan Pertemuan atau Rapat di Luar Kantor. Terbitnya Peraturan Menteri itu merupakan kelanjutan dari Surat Edaran Menteri Pan-RB Nomor 11 Tahun 2014 yang menyebutkan sama sekali tidak boleh mengadakan pertemuan di luar gedung pemerintahan.
Tak hanya itu, wacana dilaranganya PNS berpoligami juga menjadikan PNS harus merevolusi mental mereka. Sebab, abdi negara atau PNS yang akan berubah menjadi ASN harus menjadi contoh bagi masyarakat, apalagi status mereka adalah PNS guru. Agenda reformasi birokrasi tentu tak hanya formalitas saja. Semua harus mengakar, mendasar dan menyeluruh agar PNS benar-benar menjalankan tugas, wewenang dan fungsinya. Apalagi di tengah pandemi corona ini, pelayanan harus tetap jalan meski “grotal-gratul” konversi menuju daring.
Jalan Tikus
Diskursus gaji dan pensiunan bagi ASN memang tidak mungkin diberikan kepada warga biasa. Perlu dilakukan beberapa solusi agar problem ini saling menguntungkan bagi PNS maupun negara dan rakyat. Pertama; pemerintah, Kemenpan-RB, Kemenkeu harus tegas mereformasi birokrasi. Artinya, revolusi tidak hanya pada tataran uang dan uang, namun lebih pada mental, kinerja PNS dan reformasi birokrasi secara tegas dan mendasar.
Kedua; sistem gaji dan tunjangan harus jelas dan tepat sasaran. Jika tidak tepat dan sesuai kondisi uang negara, maka APBN maupun APBD akan jebol hanya untuk membayar PNS.
Ketiga; mengkaji ulang problem pesangon bagi pensiun PNS harus jelas skema dan realisasinya. Sesuai peraturan, wacana pesangon untuk PNS golongan I dan Il sebesar Rp 500 juta, golongan III Rp 1 miliar dan golongan IV Rp 1,5 miliar harus tetap sasaran. Pola pembayaran pensiun tersebut harus tepat sasaran dan jangan sampai nasib abdi negara terkatung-katung mengenaskan. Sebab, mau tidak mau, PNS sudah mengabdi pada negara dan menjalankan tugas untuk rakyat.
Keempat; pensiunan PNS harus jelas masa kerjanya. Pasalnya, banyak PNS yang meninggal sebelum usia pensiun, mutasi, keluar tanpa hormat, bahkan bagi Guru Tidak Tetap (GTT) atau Pegawai Tidak Tetap (TPP) masa kerjanya sangat singkat. Mereka kebanyakan menikmati masa menjadi PNS hanya sekitar 10 sampai 15 tahun, patokannya bukan masa kerja namun umur saat ia diangkat PNS.
Kelima; perlu pembelakan secara berkelanjutan bagi PNS yang akan pensiun. Menurut pengalaman penulis, PNS akan stres jika sebelum pensiun tidak dibekali skill, kesibukan, atau kegiatan positif setelah menerima SK pensiun. Hal itu menjadi penting, karena meskipun secara dinas mereka pensiun, namun secara personal mereka masih bisa kerja dan tidak menggantungkan gaji pensiun, apalagi nanti dibayar satu kali saja. Pemerintah perlu memberi pembekalan tidak hanya uang atau pesangon, namun yang substansial adalah spirit bekerja bagi para calon pensiunan.
Bagi guru PNS juga harus meningkatkan kualitasnya melalui pengembangan diri sesuai golongan dan pangkat. Artinya, pemerintah perlu membuat regulasi penangguhan dana sertifikasi bagi guru PNS yang tidak naik golongannya dalam kurun waktu lima tahun. Sebab, ukuran produktif dan tidaknya PNS adalah pada golongannya.
Problem pesangon pensiun PNS tersebut akan menjadi angin segar jika dilakukan tepat sasaran dan mampu meningkatkan kinerji abdi negara. Tanpa adanya revolusi mental PNS, maka gaji dan tunjangan yang diberikan pemerintah akan sia-sia. Apalagi, masyarakat masih “iri” dengan posisi ASN.
Untuk masyarakat non-ASN sendiri, harusnya di tengah wabah pandemi ini diberi subsidi, agar tidak “compang-camping”. Karena mereka di rumah saja, namun kebutuhan semakin memludak, merajalela, apalagi menjelang Ramadan seperti ini. Harga kebutuhan pokok semakin melangit.
Kita terus berharap, wabah ini cepat selesai, dan iklim perekonomian kita stabil. Jika sudah selesai, saya yakin tidak ada lagi orang iri dan minta diberi pensiunan laiknya ASN. Mereka (ASN) juga akan kembali normal, dengan bekerja sesuai tupoksinya masing-masing.
Masalahnya, kapan wabah pandemi covid-19 ini berakhir?