Oleh Muallifa
Bisakah pertemuan-perempuan menghasilkan karya nyata untuk masyarakat? Ini tentu tidak mustahil bahwa selama ini perubahan terjadi salah satunya dari gebrakan perkumpulan perempuan yang ingin menjadi bagian dari masyarakat, menjadi penggerak dari perubahan masyarakat itu sendiri untuk melihat secara luas bahwa perannya sebagai perempuan tidak berhenti pada ranah domestik semata. Konferensi perempuan pertama di Mexico City 1975, hasilnya penetapan dasawarsa perempuan dengan tema “women in development”, selanjutnya diadakan tahun 1980 di kopenhagen. Konferensi international perempuan ketiga di adakan di Nairobi Kenya pada tahun 1985. Hasilnya adalah rumusan langkah strategis untuk peningkatan peran perempuan, yang dikenal sebagai Nairobi Looking Forward Strategies for advancement og woment.
Persoalan ini sudah final untuk kita bicarakan dengan perempuan lain sebab informasi yang kian meluas, akses yang begitu mudah semestinya kita sebagai perempuan sudah open midset memahami berbagai persoalan khususnya persoalan perempuan. Meski tidak mudah menyelesaikan, paling tidak dengan keterbukaan informasi yang begitu luas, mudah untuk kita mencari jalan keluar. Namun, akhir-akhir nyatanya banyak sekali kasus yang memiliki skala internasional dan menjadi toopik pembahasan dunia serta menyoroti para muslim yakni terorisme dan radikalisme yang dilakukan oleh para perempuan. Kasus terorisme dan radikalisme yang dilakukan oleh perempuan diantaranya: istri Abu Hamzah di Sibolga 12 Maret 2019 (Solimah), Dian yuli novi (rencana bom bunuh diri), Tahun 2018 bom di gereja Surabaya (perempuan) Puji kuswati, Ika purnama sari ( merencanakan bom di bali), Tri Ernawati (pelaku bom di markas Polrestabes Suarabaya, Puspitasari (istri Anton Ferdiantono, pelaku bom Wonocolo Sidoarjo, Siska Nur Azizah dan Dita Siska Millennia ( penyerang polisi di mako kelapa2), Istri Abu Rara (Wiranto).
Dalam kondisi ekonomi keluarga yang porak poranda, jangan heran jika kemudian yang timbul ialah benih-benih dendam di benak para perempuan, kebencian, dan bahkan keinginan untuk melawan pihak-pihak yang dianggap telah menyengsarakan kehidupan keluarganya. Mengapa para perempuan mau terlibat dalam gerakan terorisme?
- Iklan -
Pertama, rendahnya tingkat literasi menyebabkan mereka terbelenggu dalam pemahaman yang bias gender. Selain itu, tingkat pemahaman keislaman mereka juga sangat dangkal sehingga mudah menerima doktrin yang keliru terkait konsep ketaatan, jihad, kafir, thagut, khilafah, negara Islam dan seterusnya. Karena itu, upaya literasi kesadaran perempuan perlu digalakkan agar mereka tidak mudah terpengaruh doktrin ideologi patriarki dan interpretasi Islam radikal.
Kedua, interpretasi keagamaan yang eksklusif melahirkan sikap dan perilaku intoleran yang membuat mereka dipenuhi rasa permusuhan dan kebencian terhadap orang yang berbeda. Diperlukan upaya counter penafsiran sehingga interpretasi agama yang sejuk, humanis dan toleran menjadi dominan di masyarakat. Upaya sosialisasi penafsiran yang inklusif ini perlu dilakukan sejak di Pendidikan Usia Dini (Paud). Sangat penting menolak semua bentuk perilaku intoleran sekecil apa pun. Jangan memandang sepele sikap dan perlakuan intoleran terhadap siapapun.
Lindsey O’Rourke dari University of Chicago mencatat sejak tahun 1980 di Lebanon, perempuan ambil andil dalam aksi terorisme untuk mengusir pasukan Israel. Sementara itu, di Chechnya mulai tahun 2000-an, kelompok Black Widows berani melakukan aksi serangan bunuh diri seiring dengan kematian suami-suami mereka. Dilansir The New York Times, banyak hipotesis yang muncul mengapa perempuan-perempuan ini mau melakukan tindakan terorisme.
Penyebaran radikalisme dalam keluarga menjadi salah kekuatan yang besar terhadap penyebaran ideologi tersebut. Bagi sebuah negara yang dominan patriarkal, seperti halnya Indonesia sangat mudah terhadap penyebaran radikalisme dan terorisme dalam keluarga, Selain dogma yang mengharuskan kepatuhan istri terhadap suami, kondisi psikologi istri yang rentan terhadap ketertarikan pada hal baru akan menjadi. Kasus pengeboman yang dilakukan oleh ibu dan anak justru menjadi salah satu pembahasan yang harus dipahami bahwa pola pendidikan keluarga menentukan kepribadian seorang anak. Bagi perempuan yang menjadi ibu, meninggalkan anak ketika dirinya sudah melakukan jihad (pengeboman), apabila anaknya ditelantarkan dan masih hidup, secara tidak langsung ia sudah melakukan dosa dengan menelantarakan anaknya. Sehingga, bukanlah hal yang tidak mungkin untuk mengajarkan seorang anak agar mencapai syurga seperti apa yang diyakini oleh orang tuanya tersebut.
Berdasarkan permasalahan tersebut, pengetahuan agama yang kokoh serta pemahaman untuk hidup berbangsa dan bernegara perlu ditanamkan sejak dini dalam diri seseorang, khususnya perempuan agar tidak mudah tergerus oleh radikalisme. Pengetahuan agama yang mumpuni akan mengantarkan seorang perempuan menjelma sebagai pribadi yang tangguh. Tidak ada agama yang menyerukan untuk membunuh sesama makhluk yang tidak berdosa, terlebih membunuh anak-anak yang jelas-jelas tidak melakukan kesalahan apapun.
Semakin tinggi ilmu pengetahuan seseorang, baik pengetahuan agama ataupun keilmuan lainnya, maka akan semakin besar sikap toleransi yang ditunjukkan. Keluarga yang memiliki budaya belajar serta sikap menghargai perbedaan satu sama lain akan menunjukkan penanaman karakter yang kokoh terhadap seorang anak. Kemampuan seorang perempuan untuk tidak ikut arus, dalam hal ini seorang suami memiliki posisi tertinggi dalam menentukan pilihan, bisa dipastikan bahwa ketika suami memilih untuk ikut serta menjadi bagian dari aksi teroris, perempuan yang tidak memiliki keberanian yang kuat, dengan landasan keilmuan yang lemah serta sikap sosial yang kecil justru akan mudah ikut suami dengan jaminan bahwa syurga adalah tempat terbaik bagi dirinya.
Keluarga menjadi madrasah pertama bagi seorang anak dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan yang bisa memberikan impact terhadap keberlangsungan hidup seorang anak agar menjadi manusia yang sempurna, menghargai perbedaan serta mencintai sesamanya.
Upaya deradikalisasi harus menjadi fokus prioritas yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah semata, masyarakat sekitar juga turut andil untuk melakukan hal serupa agar mereka bisa belajar untuk memahami agama dengan cara yang baik dan benar, tidak hanya memandang persoalan haram dan halal, kafir dan Islam, melainkan bisa menerima berbagai pendapat orang lain dengan melihatnya perspektif kemanusiaan.
-Penulis adalah Mahasiswi IAIN Madura, Pengurus IPPNU Sampang.