Oleh Al-Mahfud
Peringatan Isra’ Mi’raj menjadi momentum bagi kita semua, umat Islam, untuk semakin menguatkan keimanan. Di samping tentang meningkatkan kualitas keimanan, Isra’ Mi’raj juga membawa kita pada renungan tentang pentingnya terus memperbaiki akhlak.
Kita tahu, perjalanan menakjubkan Rasulullah Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian dilanjutkan perjalanan menembus langit sampai ke Baitul Makmur dan Sidratul Muntaha tersebut membawa “buah” berupa perintah salat wajib lima waktu.
Salat, di mana seorang hamba menghadap pada Allah Swt dan memberikan penghambaan total kepada-Nya, dianggap menjadi ibadah yang utama. Salat juga menjadi fondasi bagi terbangunnya akhlak. Firman Allah, “Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar..” (QS. Al-‘Ankabut; 45). Menjalankan salat dengan baik akan mampu mencegah atau menahan orang agar tidak terjerumus dalam maksiat atau perbuatan-perbuatan mungkar.
- Iklan -
Di dalam hidup bermasyarakat, akhlak yang baik menjadi modal berharga untuk membangun persaudaraan dan menciptakan keharmonisan hidup bersama. Jika dilihat dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, akhlak yang baik ini menjadi fondasi bagi umat Islam untuk bisa membangun relasi yang baik dengan sesama saudara sebangsa.
Di Indonesia
Indonesia terdiri dari berbagai macam elemen bangsa yang bersatu membentuk kesatuan sebuah negara bangsa (nation state). Salah satu elemen tersebut adalah agama. Kelompok agama menjadi bagian penting dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Sejarah menunjukkan bagaimana kelompok agama menjadi pionir gerakan-gerakan perlawanan terhadap penjajah.
Para ulama dan kiai di zaman penjajahan menjadi pemimpin kalangan santri maupun masyarakat secara umum dalam melawan bangsa kolonial. Resolusi Jihad yang digaungkan KH. Hasyim Asy’ari di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tepatnya pada 22 Oktober 1945 menjadi bukti nyata bagaimana kelompok agama menjadi bagian penting dalam sejarah perjalanan bangsa. Bahkan, resolusi tersebut kemudian mengilhami para pejuang dan mengakibatkan perlawanan terhadap penjajah meluas di berbagai daerah.
Meski menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa, masyarakat Islam yang dipimpin oleh para ulama, kiai, dan para pendiri bangsa dari kalangan Muslim menunjukkan kebijaksanaan dan kearifan dengan menyepakati Pacasila sebagai dasar negara. Alih-alih memaksakan berdirinya negara Islam, para pemimpin Islam menyadari betul kemajemukan bangsa ini sehingga yang lebih ditekankan adalah semangat persatuan dan persaudaraan bangsa.
Meski bukan menjadi negara Islam, bukan berarti umat Islam di Indonesia tak bisa bebas dalam beragama dan memperjuangkan aspirasinya. Dasar negara Pancasila menjamin penuh hak-hak beragama seluruh umat beragama di Indonesia, tanpa terkecuali umat Islam. Bahkan, dalam negara Pancasila, agama menjadi aspek penting sebagai spirit untuk membangun bangsa. Sebagai negara bangsa yang berdasarkan Pancasila, kehidupan beragama di Indonesia mendapatkan kebebasan, bahkan ditunjang oleh pemerintah lewat pembentukan kementerian, lembaga dan berbagai fasilitas yang bisa mendukung berkembangnya aktivitas keagamaan.
Meski demikian, hingga sekarang masih saja ada pihak-pihak atau kelompok yang menyerukan dan berupaya mengganti negara Pancasila menjadi negara agama. Keragaman dan segala kemajemukan bangsa seolah dilupakan. Kebijaksanaan para ulama, kiai, dan pemimpin Islam di era perjuangan dan kemerdekaan, yang lebih mementingkan persatuan bangsa seolah dikesampingkan.
Melihat sejarah perjalanan bangsa dan realitas masyarakat Indonesia yang majemuk mestinya cukup menegaskan bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Di tengah bangsa yang beragam dan majemuk, yang lebih dibutuhkan agar bisa tetap solid dalam persatuan dan kesatuan adalah semangat untuk saling menghargai dan menghormati.
Di buku berjudul Negara Bukan-Bukan (2018) yang mengulas prisma pemikiran Gus Dur tentang Negara Pancasila, Nur Khalik memaparkan bagaimana Gus Dur memandang pentingnya perjuangan Islam etis, ketimbang Islam ideologis—yang ingin mengagamakan negara. Menurut Gus Dur, Islam etis ialah Islam yang bisa menjiwai, menjadi pendorong terciptanya masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai agama pada satu sisi; tetapi pada sisi lain, agamawan menjadi faktor penting untuk mendorong masyarakat yang demokratis, adil, toleran, berpihak pada rakyat dan membela kaum jelata.
Pandangan tersebut bisa memberi kita gambaran mengenai bagaimana umat Islam di Indonesia dalam menjalani hidup dalam kerangka negara bangsa (nation state). Di dalam negara bangsa yang majemuk, perjuangan masyarakat Islam adalah lebih kepada tentang bagaimana mendorong terciptanya kehidupan bersama yang saling menghormati, serta berjuang untuk selalu membela kepentingan bersama (rakyat), membela kaum lemah demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan, dengan berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam.
Umat Islam punya panduan bagaimana hidup harmonis dan saling menghormati meski dalam perbedaan, seperti ditunjukkan teladan utama kita Rasulullah Saw. Saat memimpin Madinah, Rasulullah Saw menerbitkan Piagam Madinah yang memberikan perlindungan lintas suku dan agama berlandaskan keadilan, sehingga hak-hak hidup, bermasyarakat, juga beragama setiap individu dilindungi. Artinya, hak-hak dasar kemanusiaan dijamin penuh sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat di Madinah yang aman, harmonis, dan damai, meski hidup dalam kemajemukan dan perbedaan.
Peringatan Isra’ Mi’raj menjadi refleksi bagi kita, umat Islam di Indonesia, untuk meningkatkan kualitas keimanan, ketaqwaan, hingga membangun persaudaraan dan menciptakan keharmonisan hidup bersama. Isra’ Mi’raj menghadirkan renungan tentang keimanan, kewajiban salat lima waktu, penghambaan kepada Allah, juga tentang perbaikan akhlak demi relasi, keharmonisan, dan perjuangan menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. Wallahu a’lam..
-Al-Mahfud, penulis, dari Pati Jateng. Aktif menulis topik-topik kebangsaan dan perdamaian.