Oleh Hamid Ahmad
Tidak akan ramai rasanya jika tidak ada sesuatu yang viral di media sosial. Sebut saja tentang Fatwa, Intermeso Menteri Koordinator Bidang pembagunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK). Dikatakan untuk memutus rantai kemiskinan di Indonesia, orang kaya harus menikah dengan orang miskin. Hebohnya luar biasa.
Kemudiam muncul lagi dari KPAI, tentang wanita bisa hamil hanya karena mandi di kolam renang. Kabar ini mungkin sedikit membuat wisata kolam renang sepi.hehe
Yang masih “kebul-kebul” ucapan dari Prof. Yudian Wahyudi yang merupakan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), beliau mengatakan bahwa agama merupakan musuh Pancasila, ini sedikit “ngawur” karena sampai membuat gaduh dan geram MUI. Tidak tanggung-tanggung MUI menginginkan Jokowi membubarkan BPIP.
- Iklan -
Kejadian ini kalau disamakan dengan peribahasa “Kencingi air zam-zam maka kamu akan terkenal”. Nah to, Bu Sitty Hikmawatty dengan kolam renangnya dan prof. Yudian sekarang diburu oleh banyak wartawan.
Menanggapi ucapan dari BPIP, Sujiwo Tejo punya pandangan lain tentang agama musuh Pancasila. Menurut budayawan yang selalu berpakaian necis itu. Agama dan Pancasila sudah menjadi satu dan disepakati oleh Bangsa Indonesia (cultur) yang tidak bertentangan dengan akidah. Jadi benar apa yang dikatakan, kalau agama adalah musuh Pancasila, musuh terbesar kan, diri sendiri.
Ditambah lagi tentang usulan salam “Assalamu’alaikum” dan salam-salam yang lain, diganti dengan “salam pancasila”. Sama saja membangunkan macan-macan yang lapar.
Salam sudah melekat dan menjadi identitas agama yang dianut di Indonesia, ada assalamu’alikum, Namo buddhaya, shalom, om swastiastu dan lain-lain. Ini merupakan anugerah dari Allah Swt sebagai ciri khas agama yang berbalut bineka tunggal ika.
Berbicara tentang salam pancasila, dijelaskan oleh Prof. Yudian sebagai alat pemersatu dan agar tidak menyulitkan ketika seorang pejabat berpidato. Niatnya bagus, cuma kurang tepat. Kalau untuk menyatukan kita sudah punya bahasa dan bendera Indonesia.
Ambil contoh, misal mau masuk ke rumah orang kemudian bilang “salam pancasila” apa ya tepat? Dan untuk jawabnya bagaimana? Kalau acaranya kenegaraan mungkin bisa, masih masuk. Seperti HUT RI, Kesaktian Pancasila, Sumpah Pemuda, itu sangat cocok degan salam itu. Tetapi kalau di kampung-kampung pada acara pernikahan, maulid nabi, tahlilan kemudian pembukaanya “salam pancasila” kan tetap lucu.
Ngomong-ngomong tentang salam, di era Gus Dur Juga pernah ada usulan tentang salam. Kalau Gus Dur cukup dengan “selamat pagi”. Apa dulu berjalan? Berjalan tapi kurang mulus! Banyak juga yang protes, justru yang protes dari kalangan ulama. Lalu bagaimana jawaban Bapak pluralisme, biasa namanya Gus Dur ” gitu aja kok, repot”.
Munculnya tentang salam tersebut, tidak lepas dari tekanan beberapa kelompok. Kelompok yang punya niat ingin menjatuhkan Ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Jadi BPIP pasang kuda-kuda dengan “salam Pancasila” agar di dalam diri yang mendengar dan yang mengucap mempunyai rasa tanggung jawab dan cinta terhadap Pancasila.
Jadi salam tersebut seperti menghilangkan atau melebur perbedaan untuk menguatkan. lo kalau perbedaan dihapus bagaimana dengan “Bineka tunggal ika”. Apa semboyan itu sudah tidak berfungsi lagi? Atau ada semboyan lain? Bukankah dengan peebedaan itu Indonesia justru menjadi kuat?
Sebagai seorang muslim “Assalamu’alaikum” adalah salam yang paling sempurna. Selain sapaan, salam ini juga mengandung sebuah doa. Yang mengucap salam dan yang mejawab semua kebagian pahala.
Salam yang sering kita ucapkan adalah salam yang diajarkan langsung oleh Allah Swt kepada nabi Adam as. Bisa dikatakan tidak ada cacat pada salam ini.
Kalau “salam Pancasila” mohon maaf, yang sejahtera hanya Pancasilanya saja. Yang mengucap belum tentu sejahtera dong. Padahal kalau “assalamu’alikum” yang mengucap dan yang menjawab sama-sama sejahtera. Kemudian kalau orang-orangnya sejahtera, Pancasila juga sejahtera. Tetapi kalau yang sejahtera Pancasila tapi orang-orangnya sengsara, bagaimana?
Kalau yang sejahtera hanya Pancasila, apa kita bisa hidup aman, nyaman dan adil. Masih kata Sujiwo Tejo. Pancasila itu tidak ada, bagaimana kita akan percaya pada ideologi itu. Wong ideologi itu tidak ada.
Ada yang tanya bagaimana Pancasila tidak ada? jelas-jelas Pancasila sebagai ideologi bangsa dan diatur oleh Undang-undang. Wah ini “nglindurr” lagi. Secara konstitusional memang ada, apalagi di gedung-gedung pemerintahan, banyak ditempel burung garuda lengkap dengan pancasila, tetapi itu ” antara ada dan tiada”.
Pancasila itu hanya fisik atau wujudnya saja, namun ruhnya sudah tidak ada lagi. Kalau memang Pancasila ada, tidak ada yang namanya kelompok-kelompok ekstrem. Kalau memang ada Pancasila, tidak mungkin ada rakyat yang kelaparan. Kalau memang ada pancasila, tidak ada pejabat-pejabat yang korupsi. Bagaimana kita akan percaya pada apa yang tidak ada?
Mau “Salam Pancasila”,mau “assalamu’alikum” anggap saja sama, yang penting keduanya bisa mengembalikan ruh dari Pancasila. Sehigga tidak ada rasa takut meski Pancasila banyak yang merong-rong, tidak ada yang ribut-ribut masalah rebutan jabatan dan satu lagi yang tidak kalah penting, tidak ada yang memperkosa hak-hak rakyat. Ruh Pancasila kembali, hak dan kewajiban berjalan sesuai dengan kodrat sang Ilahi.
Akhir kata “Salam Pancasila”.