Oleh Anisa Rachma Agustina
Judul Buku: Riwayat Para Penuntun
Penulis: Tim Penulis
- Iklan -
Penerbit: CV Asna Pustaka
Cetakan: I, 2019
Tebal: 13 x 19 cm, xiv+110 Halaman
Kiai ibarat cahaya penerang bagi sekitarnya, seorang kiai menuntut ilmu agama lalu beliau siarkan kepada umat. Setiap perjalanan hidup sang kiai selalu diperuntukan di jalur agama. Beliau rela mondok bertahun-tahun jauh dari keluarga untuk menuntut ilmu agama. Hidup mereka diabdikan di jalur Allah, semua dikorbankan untuk berdakwah. Dari mengajar ngaji hingga mendirikan sekolahan dan juga pondok pesantren. Dalam buku riwayat para penuntun ini diceritakan sebagai dalam bentuk cerita sehingga pembaca merasa masuk kedalam cerita.
Sebenarnya buku ini lahir dalam rangkaian perlombaan dalam Pekan Olah Raga Dan Seni Ma’arif (PORSEMA) XI LP Ma’arif PWNU Jateng 2019. Ini merupakan sebuah buku yang sangat inspiratif di mana kita sebagai pembaca lebih luas dalam belajar sejarah dan biografi para kiai lokal, yang notabenya biografi kiai lokal jarang dibukukan, kita hanya mendengar kisah-kisahnya dari cerita. Namun buku ini menjadi jawaban dari cerita-cerita itu. Bahkan sebagian kiai belum kita kenal namun perjuangan dalam menyiarkan agama Islam sangat mengagumkan.
Harapan dari direktur CV. Asna Pustaka Hamidulloh Ibda menuturkan semoga buku ini menjadi awal untuk mendalami lautan ilmu para kiai kita. Untuk ke depannya, perlu diadakan riset mendalam untuk menaikan gengsi para kiai di kancah nasional bahkan internasional. Sebab, kiai bukan segalanya, namun ingat, segalanya bisa berawal dari sana.(Hlm. 3).
Setiap daerah seharusnya mencatat nama-nama kiai atau pemuka agama di daerahnya ditulis lalu dibukukan karena kiai-kiai tersebut juga sebagai pahlawan yang mengajarkan agama Islam yang layak dikenang dan selalu mendapat kiriman doa. Hal ini juga dilakukan supaya generasi penerus tau asal usul siapa pejuang yang meyebarkan Islam di daerahnya.
Adanya lomba yang diadakan LP Ma’arif PWNU Jateng ini meningkatkan semangat berliterasi para peserta yang notabennya siswa sekolah menenggah atas. Tata bahasa dan padupadan tulisan mereka epik dan bisa menjadi awal untuk memupuk untuk mencintai kegiatan berliterasi, tidak hanya membaca, menulis namun juga mengarsipkan.
Buku, sesuatu yang kini kan terasa melankolik karena orang sudah beralih pada bacaan. Namun dengan sarana semacam ini, pengenalan tokoh-tokoh keagamaan akan lebih bermanfaat sebab media yang digunakan berupa wujud fisik; sesuatu yang dapat digenggam berupa jilidan kertas tertata rapi yang disebut buku. Pengenalan akan riwayat para tokoh akan lebih mengena bila ditulis diabadikan dalam kertas. (Hlm.5).
Buku ini berisi kumpulan biografi para kiai NU dari Jawa Tenggah yang dikumpulkan menjadi satu dan dibukukan. Buku ini disajikan sangat menarik dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Buku ini layak dibaca oleh semua kalangan karena di dalamnya berisi biografi kiai lokal yang mempunyai kisah-kisah yang amat menarik dan sayang untuk dilewatkan.
Salah satunya biografi sang kiai dari Kabupaten Banjarnegara sosok yang amat inspiratif yang lahir di pertenggahan abad ke 19 tepatnya pada tahun 1860 di Dukuh Sawangan, Selagara, Madukara, Banjarnegara, Jawa Tenggah. Bernama KH. Abdul Fatah. Beliau mondok ke gunung Tawang, Wonosobo. Beliau belajar ilmu nahwu shorof, ilmu fiqh, tauhid, dan tasawuf. Hal yang dapat diteladani selama beliau mondok ialah beliau senantiasa memperbanyak riyadhoh, tirakat, puasa dan amalan lainnya sebagai media taqarrupp pada Allah. Beliau mengkonsumsi pace yang pahit selama dua tahun, dan menanak nasi yang dicampur dengan kerikil ini dilakukan agar beliau tidak banyak makan karena, harus memilah-milih kerikil terlebih dahulu.
Beliau juga mondok di Jawa Timur antara lain, Pondok Pesantren di Mangunsari, Pondok pesantren di Cempoko, dan Pondok Pesantren di Mojosari. Perjalanan dari Jawa Tenggah ke Jawa Timur beeliau lalui dengan berjalan kaki dengan jarak kurang lebih 350 kilometer. Di sanalah K.H. Abdul Fatah bertemu dengan temannya yang juga menjadi pelopor terbentuknya Nahdlatul Ulama salah satunya Abdul Wahab Chasbullah (pengasuh PP. Tambakberas Jombang Jawa Timur). Setelah itu beliau pindah mondok ke Surabaya tepatnya di Pondok Pesantren di Josremo, Surabaya. Pada tahun 1901 beliau mendirikan Pondok Pesantren Al-Fatah. Pada hari Rabu, tanggal 20 Robi’ul Akhir 1361 H (1941 M), Eyang Guru Romo kh. Abdul Fatah wafat pada usia kurang lebih 81 tahun.
Sebuah biografi singkat seorang pemuka agama dari Banjarnegara yang sangat terkenang hingga saat ini karena perjuangan beliau dan banyak sekali sifat-sifat yang bisa kita contoh dan teladani. Kewajiban kita adalah meneruskan perjuangan beliau untuk meyiarkan agama Islam ke seluruh pelosok negeri.
Kisah inspiratif yang lainnya berasal dari Kabupaten Banyumas. Seorang kiai yang lahir pada 12 Juli 1900, di Desa Sirau, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tenggah. Yang bernama KH. Mohammad Muqri putra ketiga dari lima bersaudara. Beliau pernah mondok di PP Njosermo Jawa Timur, setelah pulang mondok beliau mendakwahkan ilmunya tanpa menggunakan kekerasan. Menggunakan pendekatan dengan warga melalui silaturahmi. Semakin hari semakin banyak jama’ah yang berniat mengaji dengan beliau, karena saking banyaknya jama’ah yang ingin menimba ilmu, maka tahun 1925 beliau membuat kombongan (kamar-kamar kecil) untuk menampung para jama’ah. Kemudian kelak berdirilah pusat pendidikan Islam yang kelak diberi nama Pondok Pesantren Raudlootur Nur.
Kemudian berkembanglah menjadi yayasan Al-Huda yang menjadi jalan utama berdirinya sekolah di Desa Sirau, seperti MI Fathul Ulum Sirau, MTs Ma’arif NU 1 Kemranjen, MA Ma’arif NU 1 Kemranjen, RA Masyitoh 02 Sirau, SMA Ma’arif NU 1 Kemranjen. Sekolah atau madrasah ini bernaung di bawah lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) Kabupaten Banyumas.(Hlm. 41).
Perjuangan sang kiai harus kita lanjutkan dengan cara apa? Salah satunya ialah menyekolahkan anak-anak kita di sekolah Ma’arif semakin banyak siswanya pasti juga akan semakin berkembang pesat. Selalu sisipkan doa untuk para kiai-kiai yang mengawal negeri ini. Segera miliki buku ini agar anda mengenal riwayat para penuntun khususnya di Jawa Tenggah.
Itu hanya dua kisah dari beberapa kisah inspiratif bagaimana seorang kiai menyiarkan agama Islam di daerah masing-masing. Masih banyak kisah lainnya yang akan anda jumpai di buku ini maka segeralah miliki buku ini sebagai salah satu koleksi di rak buku Anda.
Kelebihan buku ini berisi biografi para kiai dari penjuru Jawa Tenggah, sangat menedukasi pembaca. Seharusnya setiap daerah mempunyai buku untuk mengumpulkan biografi para kiai supaya generasi muda mengenal sosok penyebar agama di daerahnya. Kekurangan buku ada sedikit kesalahan dalam pengetikan atau “typo”.
-Diresensi Pengiat Kajian Pena Aswaja STAINU Temanggung.