Oleh Taufiq
Mentari sore terlihat cerah kuning keemasan menerobos di sela sela dedaunan pohon yang berdiri tegak di pojok terminal sawangan. Terlihat beberapa pedagang asongan yang sedang menjajakkan dagangannya
” Dom kancing kapur barus lem tekus sepulu ewu” terdengar salah satu suara khas terminal yang menggelitik telinga. Suaranya keras lantang mengingatkanku saat masih hobi orasi di depan gedung para wakil rakyat. Kulangkahkan kaki menuju salah satu agen bus Sinar Jaya. Dari balik loket berdiri petugas agen dengan senyum ramah bertanya
” Tujuan mana mas?”
“Banten mbak, dua tiket ya”
Kali ini ada yang beda, yang biasanya saya hanya pergi sendirian dengan tas besar di punggung dan beberapa kardus yang berisi oleh-oleh. Kini sudah ada istri yang menemani duduk di samping kursi bus untuk sekedar menjadi teman ngobrol. Benar sore ini saya mengajak istri sowan ke Mbah yai. Sosok Kyai nyentrik yang tinggal di daerah Banten. Pertama yang membuat saya mengenalnya adalah Mbah yai dulu menemui dalam mimpi dan meminta saya untuk berkunjung ke pondoknya di daerah Banten. Sejak pertemuan itu setiap tahun sudah menjadi agenda untuk sowan ke Mbah Yai. Dan sore ini merupakan hari dimana saya harus sowan ke Banten. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 06:30 dimana matahari sudah bersembunyi dan siap terbit di belahan bumi yang lain.
” Tot tot bess” suara bus terdengar
” Banten Banten penumpang jurusan Banten segera masuk ke dalam bus dan menempati tempat duduk sesuai nomor tiket” dengan suara lantang kondektur bus memanggil penumpang.
” Ayo mas kita segera naik ” ajak istri sambil menggandeng tangan saya.
Perjalanan ke Banten di tempuh kurang lebih dua belas jam. Di dalam bus saya dan istri menghabiskan malam dengan ngobrol ditemani musik klasik yang terdengar di pojok bus dan dinginya AC yang menghembus keluar dari sela-sela lubang di atas kepala.
” Mbah yai itu sosoknya seperti apa mas” tanya istri penasaran karena baru kali ini saya ajak sowan ke sana”
” Besok adik akan tau sendiri ketika bertemu Mbah Yai” jawabku. Malam semakin larut kelopak mata ini terasa semakin berat untuk terbuka, yang menyebabkan kami masuk ke alam mimpi menikmati dinginnya malam di dalam bus.
Perjalanan ke Banten terasa sangat lama dan melelahkan. Sekitar pukul 06.00 pagi bus baru sampai di terminal
“Banten turun” suara kondektur membangunkan sebagian penumpang yang masih tertidur. Dari terminal ke pondok Mbah yai perjalanan masih sekitar tiga puluh menit dan ditempuh menggunakan ojek karena tempatnya yang tersembunyi dari keramaian dengan jalan yang sedikit rusak. Sesampai di depan gerbang pondok salah seorang santri membukakan gerbang dan mempersilahkan saya dan istri masuk lingkungan pondok.
“Ini benar pondok” bisik istri di telinga. Pastinya istri saya terkejut karena keadaan tidak seperti yang dibayangkan istri. Karena di pondok Mbah Yai siapapun boleh masuk, tidak hanya dari kalangan santri tapi kebanyakan mantan preman, seniman dan orang-orang aneh lainya diterima dengan baik oleh Mbah Yai. Selain itu Mbah Yai juga memelihara berbagai macam hewan dari burung, kelinci, kuda, bahkan harimau juga ada. Pernah ada tamu yang bertanya memelihara hewan sebanyak itu mau di beri makan apa bahkan semua santri makan dengan gratis setiap harinya.
” Ya kalau kuda ya dikasih makan rumput kalau tumbuhan dikasih makan pupuk kalau manusia ya makan nasi”
Mbah Yai menjawab dengan santai. Setibanya di Pondok Mbah Yai keluar dari pintu rumah menyapa kami
” Teko kapan le istirahat dulu ya”
Kalau dengan saya Mbah Yai biasa menggunakan bahasa jawa, walau sekarang tinggal di Banten aslinya Mbah yai berasal dari Malang Jawa Timur.
” Jim ambilkan makanan sama teh hangat” perintah Mbah Yai kepada salah satu santrinya
“Dhahar dulu geh” Mbah yai menyuruh kami untuk makan dulu.
“Allahu Akbar Allahu Akbar” adzan dhuhur sudah berkumandang semua santri menjalankan sholat berjamaah. Setelah selesai sholat Mbah Yai menemui kami.
” Pie kabare le keluarga sehat?” Mbah Yai membuka percakapan.
” Alhamdulillah sehat” jawabku dengan kepala tertunduk.
” Le aku pengen koe Karo bojomu gawe pesantren nang Wonosobo” Mbah Yai menyuruh kami untuk membuat pesantren sesuatu yang ada di angan-angan kamipun tidak. Dalam hati kami muncul keraguan, jangankan uang untuk membangun pesantren rumah saja kami masih menempati rumah orang tua dan tinggal bersama mereka.
“Ora ini seng ora mungkin nek Gusti Pengeran wes kerso” sahut Mbah yai seakan tau keraguan dalam hati kami. Kemudian Mbah Yai menyuruh santrinya untuk mengambil sebuah sapu lidi. Sebuah sapu yang tergeletak di pojok pesantren yang terlihat sudah sangat usang.
“Le Iki sapu gawanen bali amben isuk koe kudu nyapu nang lokasi seng pan nggo gawe pesantren” perintah Mbah Yai sambil memberikan sapu lidi kepada kami. Setelah ngobrol kurang lebih selama satu jam Mbah Yai masuk kedalam rumah. Pada kesempatan itu kami juga sekalian pamit pulang ke Wonosobo. Dan di sore yang cerah kami kembali bersiap untuk menikmati perjalanan jauh dari Banten ke Wonosobo.
Sesampainya di rumah kami melaksanakan perintah Mbah Yai. Tiap hari kami menyapu di sebuah kebun di pinggir jalan dengan luas sekitar seribu meter yang kami beli dari hasil tabungan kami selama kurang lebih satu tahun setelah menikah. Hari demi hari perintah itu kami jalani. Tetangga mulai mencemooh melihat kami tiap hari menyapu di kebun.
“Ora ono kerjaan yo kang kebon di sapu saben dina” ejekan tetangga kepada kami.
Sampai ada yang tega membuang berbagai sampah mulai dari sampah dapur bahkan sampai pempes. Pagi hari ketika kami mau menyapu juga kerap menjumpai botol bekas minuman keras sudah berserakan di kebun kami, sampai istri sudah sempat mau berhenti menjalankan perintah Mbah Yai. Hingga suatu hari selepas sholat dhuhur di mana matahari sedang panas-panasnya saya tertidur di kursi ruang tamu.
” Assalamualaikum” mata ini terbuka mendengar orang mengucapkan salam diluar pintu.
” Wa’alaikum salam silahkan masuk” dua orang dengan pakaian rapi masuk ke rumah setelah saya persilahkan masuk.
” Dik tolong buatkan minum”
“Iya mas” jawab istri.
Setelah ngobrol beberapa saat, tiba-tiba salah satu dari tamu membuka tas” ini ada sedikit rezeki saya denger mas mau buat pesantren”. Seakan tak percaya bagai mimpi di siang bolong. Tamu tersebut memberikan sebuah tas yang mereka bawa yang berisi tumpukkan uang kepada kami untuk membuat pesantren. Tanpa mau menyebutkan namanya kedua tamu tersebut langsung pamit pulang. Dengan uang tersebut kami membangun pesantren yang diamanatkan Mbah Yai kepada kami. Alhamdulillah walau belum selesai seratus persen pesantren yang berdiri di lahan yang yang setiap hari kami sapu sudah bisa ditinggali. Pembangunan pesantren berlangsung kurang lebih selama tiga bulan.
Setelah tiga bulan pembangunan selesai saya dan istri kembali sowan ke pondok Mbah Yai yang ada di Banten. Sesampainya di Pondok Mbah Yai kami bermaksud menceritakan apa yang telah terjadi lantaran dari sapu lidi pemberian Mbah Yai, namun sebelum kami sempat bercerita Mbah Yai langsung bicara
” Dudu sapune seng ampuh le” Mbah Yai membuka pembicaraan.
” Kue sapu biasa, koe tak gawani sapu agar sangkamu mareng Gusti Pengeran dadi yaqin” lanjut Mbah Yai berbicara kepada kami.
” Gusti Pengeran wes ngendika ono hadist qudsi yen Gusti Pengeran iku nginda dhonni ngabdi” lanjut Mbah Yai menerangkan kepada kami bahwasanya Allah itu sebagaimana prasangka hambanya.
” Yen koe yakin pesantrenmu bakal jadi pasti Gusti Pengeran bakal ijabahi”.
Mbah yai juga berpesan bahwasanya ketika kita membangun pesantren, kita harus siap menjadi tempat sampah, maksudnya kita harus siap menampung siapa saja yang mau belajar tidak pandang apa latar belakangnya. Berbeda dengan kenyataan di lapangan yang terjadi. Banyak pesantren yang ketika menerima santri baru menggunakan sistem seleksi. Mereka yang baik dan cerdas pasti akan diterima, sebaliknya mereka yang kurang cerdas dan berkelakuan tidak baik pasti tidak akan diterima. Jika demikian lantas apa fungsinya pesantren, bukanya pesantren dibangun untuk memperbaiki mereka yang berkelakuan buruk menjadi baik dan yang sudah baik menjadi lebih baik.
Alhamdulillah pondok yang berdiri lantaran sebuah sapu lidi dari sosok Kyai Nyentrik sudah mulai untuk kegiatan belajar agama. Semoga kelak tempat ini menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang sedang belajar mencintai Allah dan Rasulnya, karena tingkat tertinggi sebagai seorang hamba adalah maqam mencintai. Kalau sudah mencintai tentu akan menjalankan apa-apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh yang dicintainya.
Biodata Penulis :
Taufiq penulis yang lahir di Wonosobo pada tanggal 12 Mei 1991 merupakan seorang guru SMK Andalusia 3 Sukoharjo Wonosobo. Sebuah sekolah yang berdiri jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota.