GAMELAN, GENDHING MASA LALU
1/
Pernah ku taruh rasa benci pada seperangkat gamelan itu, ibu. Lantaran selalu mengalun suaramu, menyembah kelangenan. Bonang, siter, kenong pula kendhang adalah saksi pongah. Saat kehadiranmu melengkapi kegenitan para wiyogo yang tak kenal lelah.
Dulu, di jauh remajaku. Segala cibir kuterima, semenjak sinden kau pilih sebagai jalan cerita.
Pernah ku simpan dendam itu, ibu. Di saku rok abu-abu. Dan memusuhimu diam-diam, setiap pulang tanggapan. Lalu mengharap segala terhenti. Menyetop amarah bapak juga desir angin sengak.
Masa itu, aku baru 17 — saat ego berangas
Sedang usiamu 40, dengan emosi belum teduh
Sementara waktu berdenyut semena-mena
Tak menyisakan bahagia apalagi mesra di antara kita
Gamelan terus dibunyikan, mengiringi pertengkaran demi pertengkaran
2/
Sepurane, ibu. Sekarang aku tahu, nggerongmu serupa wasilah. Agar anak-anakmu tumbuh mamah. Tak melolong lapar, meski langkahmu sendiri sempoyongan. Menahan tatapan caci, melawan sindiran keji
Sepurane, ibu. Bila sempat ku durhagai titi laras bawamu
Solo, 2018
ETALASE PATAH
1.
Cium jauh untukmu menjadi amunisi pungkasan, yang kumiliki di sisa kehormatan. Aku memilih mundur dari mimpi merah jambu
Begitu pernikahan kau tapaki diam-diam. Menandai mutlak perpisahan sekaligus rujukan perang diam-diam. Bagi seluruh perasaan
Cium jauh untukmu. Aku menepi. Membebaskan diri, dari amuk bernama patah hati
2.
Tentang sepasang jejak yang tertinggal di ujung senja, barangkali tak lebih kenangan. Kita hanya musyafir pada setapak waktu. Sesaat singgah menitip risalah. Kau meneruskan langkah, aku berdiam meratapi kalah. Sejak lajangmu menutup kisah
Solo, 2019
- Iklan -
SUNDA KELAPA 2014
Adakah yang lebih menggelikan dari luka
Di sudut Cikini
Rinduku adalah mural
Menghias tembok-tembok malam dengan warna mimpi kaum urban
: pedagang asongan, buruh pabrik dan seniman jalan
Tak lelah memainkan peran sebagai bohemian
Di sudut Cikini
Senja pucat pasi
Bertakzim menyalami tenung waktu
Serupa peron- peron tunggu
Pada stasiun entah
Mirip pejabat elit saat di sumpah serapah
Maaf, sayang
Kota ini terlalu arogan, bagi perempuan marginal
Maka undur diri menjadi pilihan
Aku tak ingin menetap, karena di sini terlalu pengap
Aku tak mungkin bertahan dalam penantian sempal
Cukup, aku tak ingin semakin jalang
Menjajakan takwil cinta
Pada uang yang semakin di Tuhan kan
Di sudut Cikini
Aku memunguti kekalahan diri
Solo, 2019
NDIE
Di cingkrang waktu, aku sempat kasmaran. Pada rambut sebahu juga tubuh jungkismu. Lalu dengan jinak merpati, kerap ku curi perhatian. Agar surat cintamu berlanjut kencan. Pada sebuah malam dimana kita adalah kekasih sepasang
Di cingkrang waktu, kau namai aku matahari. Hingga jantung sejenak henti. Menikmati 21 dengan hati merdu
Sudut bibis wetan memergoki kita saling, menghayati rindu dalam pekat hening. Mengharapkan sekaligus mematahkan
Di cingkrang waktu, secuwil mimpi pelan-pelan layu
Sebelum pagi dan dhuha bercumbu
Solo, 2019
KANGEN
Sunyi masih menggeliat di sini, kang
Lebur dalam sajak
Lalu menggelantung di udara
Dan menyergapku
Pada dimensi tanpa imaji
Kosong
Hanya pena
Menyongsong bayangmu di titik koma
Solo, 2019
Tentang Penyair
Seruni Unie, penikmat puisi asal solo. Beberapa sajaknya pernah terbit di media. Baik cetak maupun on line. Pula termaktup dalam 60an antologi berjamaah. Sempat terpilih UWRF 2017. Bergiat di sastra pawon.