Oleh Fery Taufiq
Tepat 22 Oktober 2019, Yogyakarta memperingati Hari Santri Nasional dengan membawakan tema Gerbang Praja (Gerakan Bangsa Penggunaan Aksara Jawa). Hal ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan kita semua terhadap pemuda Indonesia yang terkesan “enggan” menunjukkan identitas sosial dalam berinteraksi. Ini merupakan dampak keterbukaan interaksi sosial yang tidak memiliki pondasi dasar, sehingga nilai-nilai budaya lokal akan terdistorsi oleh nilai-nilai baru yang tidak kita pahami asal usul dan tujuannya.
Untuk melahirkan generasi Jawa modern yang siap bersaing di era globalisasi, tentu hal tepat apabila pemuda mampu membuka pikiran mengenai pentingnya literasi dan filosofi budaya Jawa. Di dalam budaya Jawa, kita tahu tersimpan nilai-nilai, konsepi etika dan moral yang mampu mewariskan nilai luhur kepada generasi muda saat ini. Sebagai pijakan dalam proses restorasi sosial yang hakikatnya merefleksikan sebuah sikap teposliro (dalam kehidupan sehari-hari menyebutnya sithik eding), sudah saatnya kita semua menggali karakter budaya Jawa yang sudah lama diabaikan.
Sithik eding adalah seseorang yang peduli terhadap sesama, bisa berbagi ruang dan berbagi rasa. Sithik eding tidak diartikan seperti “makanan” yang sama rata sama rasa, tapi bentuk proporsional yang mampu memberikan suatu kesempatan kepada orang lemah agar bisa menikmati kondisi. Sithik eding pada zaman dahulu sering diungkapkan oleh orang tua seperti misalnya “sithik eding mbok kancane di bagehi, sithek eding mbok le lunguh sithikan”. Tetapi dengan kodisi sekarang, jiwa sithik eding hampir sudah hilang.
- Iklan -
Oleh sebab itu, pesantren menjadi garda terdepan untuk menggali ke masa dahulu dengan memunculkan kembali jiwa sithik eding. Jika sithik eding tertanam setiap jiwa personal maka tidak ada lagi pertengkaran, perselisihan, dan permasalahan sosial yang disebabkan kekuasaan sistem. Jargon sithik eding yang sudah lama hilang ini akan kita bangun kembali melalui aksara Jawa.
Filosofi aksara Jawa memiliki sifat satu strata. Ada aksara ada pasti ada bahasa tetapi ada bangsa belum tentu ada aksara. Aksara Jawa yang ada bahasa Jawanya ini merupakan wujud kelebihan yang ada dimiliki orang Jawa. Penggunaan aksara Jawa dan bahasa Jawa bukan bentuk strata tetapi bentuk tata bahasa yang mengedepankan tata krama dan adat istiadat luhur. Hal ini dibuktikan dengan seorang anak ketika memanggil seumuran ada sebutannya (sampeyan) dan anak memanggil ke orang lebih tua ada sebutan sendiri (jenengan), diksi ini dalam bahasa Jawa ada bertingkat-tingkat. Sehingga setiap orang berkomunikasi ada rasa menghormati terhadap orang yan lebih tua.
Di saat bangsa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun, masyarakat pribumi tidak diperbolehkan menggunakan aksara Jawa. Akhirnya alternatif lain yang digunakan pemuka-pemuka agama yakni dengan menggunakan aksara Pegon (bahasa Jawa namun ditulis menggunakan aksara Arab). Sebab, aksara Jawa jika diajarkan kepada rakyat pribumi dan tidak ada larangan dari penjajah Belanda, maka kita akan kuat. Indonesia akan berdiri tegak dan menjadi negara yang besar.
Melansir dari situs United Nations (UN) bahwa Hari Aksara Internasional di peringati pada tanggal 8 September. Sebagimana konferensi umum UNESCO saat sesi ke-14 pada tanggal 26 Oktober 1966 menyatakan bahwa tujuan pencanangan ini adalah bentuk mengingatkan masyarakat internasional akan pentingnya melek aksara bagi individu, komunitas dan masyarakat. Serta mengingatkan perlunya upaya yang intensif dalam pemberantasan buta huruf.
Maka dari itu, ini adalah kesempatan yang tepat bahwa Aksara Jawa hadir sebagai alat pemersatu perdamaian dan pembinaan karakter. Negara Jepang kuat karena aksara, negara Arab kuat karena aksara, dan Korea mereka tidak akan mau menggunakan aksara latin sebelum aksaranya sendiri. Tetapi kita mempunyai aksara Jawa tidak pernah digunakan. Bahkan diri kita tidak pernah bangga memilikinya. Hal inilah yang menjadikan negara Indonesia lemah dan mudah dicerai beraikan. Padahal jika kita mudah dicerai beraikan, dampak ketika menghadapi globalisasi yakni akan terombang-ambing.
Restorasi sosial membangun negerasi modern dan njawani. Inilah tugas seorang santri untuk mengemban sethek eding. Sebab, seorang jika sudah nyantri maka paling sedikit akan diberi pegangan 3 pondasi, yakni cerdas intelektual (sekolah), cerdas spiritual (mengaji), cerdas sosial (implementasi dari intelektual dan spiritual). Akan memunculkan nasionalisme lebih tinggi dari pada yang sekarang. Sedangkan sithik eding bukan hanya sekadar dihapalkan tetapi perlu diamalkan. Agar tatanan nasionalisme menyatu dalam jiwa setiap pemuda Indonesia.
Implementasi dari cerdas sosial yang paling hakiki untuk berbagi rasa dan berbagi ruang yakni bisa disebut sethik eding. Tentu kita tahu bahwa sithik eding hal sederhana tetapi jika diterapkan dalam tatanan masyarakat maka tidak akan ada lagi permusuhan. Terlebih Nnegara Indonesia memiliki jati diri kuat, bangsa lain mengenal Indonesia karena memiliki berbudi pekerti luhur dan ramah terhadap siapa saja.
-Penulis adalah santri asrama IR Krapyak Yogyakarta dan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga tingkat akhir.