Oleh Muhammad Ulfi Fadli
Mendengar berita seorang akademisi, salah satu dosen menjadi tersangka radikalisme yang menyimpan puluhan bom molotov yang siap diledakkan pada saat unjukrasa aksi Mujahid 212 di Jakarta membuat rasa prihatin masyarakat Indonesia. Keresahan masayarakat adalah faham radaikalisme yang bisa masuk dalam perguruan tinggi. Jika faham terorisme bisa masuk dalam suatu perguruan tinggi, maka bukan tidak mungkin akan lebih mudah masuk dalam kalangan masyarakat pada umumnya.
Salah satu dosen yang ditangkap tentu bukan satu-satunya dosen yang berfaham keras, tentu masih banyak dan belum diketahui baik dari penegak hukum maupun masyarakat. Hal ini menyebabkan kekhawatiran juga bagi para orang tua yang mempunyai anak yang bersatus mahasiswa, karena bisa saja bagi para dosen yang lain yang berfaham radikalisme menyebarkan fahamnya kepada mahasiswanya.
Kelompok-kelompok radikal yang beragama identik dengan ketidaksejutuan dengan adanya pancasila dan akan mengganti dengan sistem negara dengan sistem agamanya, sehingga jika ingin mengganti sistem sama saja dengan ingin membubarkan negara. Padahal sebenarnya Agama dan Pancasila sudah berjalan beriringan, karena agama dan Pancasila sama-sama mengajarkan hidup toleran dengan antar agama, etnis, dan suku lain.
- Iklan -
Pancasila sebagai ideologi negara sudah menjadi kesepakatan dan keputusan seluruh elemen bangsa yang menjadi benteng atas masalah-masalah yang terjadi di Indonesia, maka Pancasila harus diamalkan oleh semua kalangan bagi warga negara Indonesia.
Ironisnya, menurut salah satu survei menyebutkan sekitar 19,4 persen ASN tidak setuju dengan ideologi negara yang berasas Pancasila. Hal tersebut sangat tidak etis karena ASN sebagai pegawai negara seharusnya patuh dan tunduk kepada negara bahkan dapat menyumbangkan wawasan kenegaraan sebagai penguatan ideologi bangsa. Selain itu, menurut survei tersebut sebayak 23,4 persen mahasiswa sepakat dengan jihad mengakkan negara Islam.
Hasil survei tersebut mungkin saja dapat berkembang tambah banyak. Mahasiswa sebagai agen perubahan nampaknya mudah dipengaruhi oleh kelompok-kelompok tertentu perusak bangsa. Jika sudah kembali dalam hidup bermasyarakat maka yang terjadi adalah ketidaksepakatan juga dengan hukum masyarakat secara kultural.
Faham radikalisme yang membuat pendangkalan dan penciutan wawasan kehidupan bernegara dan beragama menjadi contoh bahwa agama mengalami kemunduran, bukan kemajuan. Sebab, faham tersebut pasti berasal dari pemahaman agama yang keliru. Secara logika manusia mempunyai nalar pikir yang luas dan tidak mau dibatasi, sehingga dengan adanya radikalisme membuat cara berfikir yang pendek yang instan dan tidak mau berpikir secara luas.
Apa akibat dari faham radikalisme? apakah membuat masyarakat kuat dan negara lemah, atau masyarakat lemah dan negara kuat? Sama saja, pada akhirnya jika tidak ada keluasan waawasan maka yang terjadi adalah rakyat dan negara akan lemah. Sedang yang dibutuhkan oleh negara sekarang adalah masyarakat yang kuat sehingga negara Indonesia juga akan menjadi kuat.
Menangkal Radikalisme
Yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana cara menangkal radikalisme? Mari flasback kebelakang. Pada awal mula agama Islam di Nusantara, ada tokoh Walisongo yang mengajarkan hidup saling menyayangi dan mengasihi sesama manusia, atau yang kita sebut dengan mempratekkan hidup bertoleransi, tanpa memandang status manusia itu sendiri, sehingga Islam mendapat substansinya yaitu Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Dalam menyebarkan agama Islam, Walisongo menggunakan cara-cara yang elegan tanpa menghilangkan substansi Islam. Walisongo menyebarkan Islam tanpa menghilangkan budaya-budaya yang ada di Indonesia. Salah satu cara yang dilakukan adalah menyisipi agama dalam budaya-budaya yang sudah ada secara sedikit demi sedikit, sehingga bisa dikatakan bahwa misi penyebaran agama Islam di Nusantara berhasil. Hal ini membuktikkan bahwa cara yang dilakukan oleh Walisongo dalam rangka menyebarkan agama yang benar, agama yang menyukai perdamaian.
Sebagai pewaris dan pelaku agama seharuskan dapat meneruskan perjuangan dari tokoh-tokoh Islam terdahulu. Butuh wawasan dan idealisme sebagai Islam yang menyeluruh, bukan islam yang mempunyai pemahaman sempit, sehingga agama Islam tidak dipandang keras dan ekstrim bagi masayarakat dunia.
Selain itu sebagai pewaris dan pelaku budaya, masyarakat secara umum harus mempertahankan sebagai wahana perdamaian di Indonesia. Dengan banyaknya budaya yang ada di Indonesia maka sebenarnya tidaklah sulit untuk menangkal faham radikalisme. Dengan memahami dan mengamalkan budaya yang ada di daerah sudah menjadi bagian dari menagkal faham keras.
Di Indonesia, ada organisasi yang telah dibubarkan karena menyebarkan faham-faham radikalime, namun bukan berarti fahamnya telah musnah. Karena para pelakunya masih aktif walalaupun tidak menggunakan nama organisasi, akan tetapi bisa saja berubah menjadi kelompok-kelompok ilegal dengan nama yang lain dan terus berkembang di Indonesia.
Maka yang dibutuhkan sekarang adalah negara dan para pemimpin, baik dari pemimpin daerah secara formal maupun pemimpin-pemimpin yang lain, termasuk pemimpin agama juga harus hadir dan sebagai penentu dalam rangka menangkal faham-faham yang berbau radikalisme.
Tidak ada satu agama resmi di Indonesia yang mengajarkan faham terosisme dan radikalisme. Maka para pemimpin formal daerah dan pemimpin agama harus saling bersinergi untuk meyakinkan kepada umat atau masyarakat secara luas bahwa agama itu indah, agama itu menjadi solusi masalah kehidupan, dan tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan.
Selain itu dalam dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi juga harus ikut andil dengan penguatan mata kuliah agama yang berkualitas dan jauh dari faham keras sehingga mahasiswa dapat berfikir kritis, kreatif, dan inovatif secara sehat. Karena dalam perguruan tinggi inilah awal pintu masuknya faham-faham keras. (*)
-Penulis adalah mahasiswa Prodi PAI STAINU Temanggung.