Oleh Syaiful Mustaqim
Terorisme, radikalisme, ektrimisme harus dihadapi tanpa kompromi. Jangan sampai ada ada kompromi dengan hal-hal yang berkaitan dengan terorisme. Negara harus menang (Joko Widodo).
Quote Jokowi di atas bukan sekadar kata-kata yang layak kita baca saja melainkan pekerjaan rumah (PR) negara yang tak kunjung usai. Mengapa demikian? Karena ketiga hal tersebut sasaran atau targetnya adalah generasi muda, usia antara 19-35 tahun.
Apa sebab? Generasi muda terus “diincar” secara postur, usia, dan masih panjangnya perjalanan hidupnya. Jika mereka sudah kadung dicuci otaknya maka mara bahaya akan tiba. M. Syarif contohnya anak muda ini berhasil melakukan aksi bom bunuh diri di Mapolsek Cirebon di saat para jemaah tengah menunaikan shalat Jum’at. Ironis!
- Iklan -
Hal ironis lain jika kita mengingat tragedi ledakan di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton tahun 2009 silam, ternyata salah satu pelakunya merupakan anak muda berusia 18 tahun yang baru saja lulus SMA. Dua potret anak muda yang penulis tulis di atas merupakan gambaran sebagian kecil aksi terorisme, radikalisme, serta ektrimisme yang termaktub dalam buku berjudul “Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme” yang diterbitkan Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2015.
Melalui buku setebal 58 halaman tersebut BNPT hendak mengabarkan kepada seluruh elemen bangsa utamanya generasi muda agar senantiasa berhati-hati dari ketiga virus berbahaya tersebut. Jika anak muda sudah berhasil dicuci otaknya maka yang ada di pikirannya adalah mati syahid, masuk surga, dan ditemani bidadari yang cantik. Dalam bahasa kerennya mereka adalah “pengantin-pengantin” yang dijadikan “tumbal” untuk aksi terorisme.
Sebuah data menunjukkan bahwa sekitar 80 persen dari 600 terduga teroris yang ditangkap adalah remaja berusia 18-30 tahun. Hal itu jadi bukti bahwa anak muda menjadi sasaran perekrutan jihad instan yang sangat mencederai bangsa.
Mereka (anak muda, red.) sebenarnya merupakan korban dari perekrutan dan indoktrinasi konsep jihad yang kebablasan atau salah kaprah. Anak muda yang sedang mencari identitas diri itu terpikat janji oleh janji surga untuk orang-orang yang berjihad tetapi oleh mentornya tidak dijelaskan makna jihad yang sebenarnya. Mereka tidak mengerti apa yang menjadi sasaran jihad, syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, dalam kondisi apa perintah jihad itu dilaksanakan. Akhirnya, korbannya justru diri mereka sendiri dan orang lain yang tidak berdosa. (hlm. 4)
Teror Berbasis Teknologi
Di zaman serba modern seperti sekarang ini teknologi yang terus berkembang tentu memiliki dua sisi baik sisi positif maupun negatif. Ngomong kebaikan teknologi maka untuk generasi muda sendiri media tersebut bisa dimanfaatkan untuk sarana edukasi, wahana belajar maupun menambah wawasan keilmuan.
Sedangkan teknologi dari sisi negatifnya bisa dijadikan untuk perekrutan anggota teroris baru. Jika dulu untuk merekrut anggota baru teroris harus bertatap muka. Namun, sekarang dengan adanya situs atau laman internet yang menyerukan ajakan jihad, pada pemuda dengan sendirinya tergoda untuk bergabung. Melalui teknologi masa kini Abu Bakar Ba’asyir yang berada di Nusakambangan bisa melakukan bai’at melalui situsnya. (hlm. 46)
Berdasarkan contoh itu banyak cara yang teroris lakukan untuk melakukan aksinya. Karena itu menjadi perhatian serius pihak keamanan dan juga masyarakat yaitu penyerangan paham terorisme melalui media internet. Teror Hi-Tech.
Bahwasanya internet saat ini menjadi media dari para teroris untuk menyebarkan paham-paham kebencian kepada masyarakat. Internet dijadikan ladang penyebaran paham dan ajaran teroris. Akun-akun yang digunakan anonim (tak dikenal). Mereka terus menyebarkan propaganda terorisme secara massif. Tak hanya berhasil di Indonesia di luar negeri misalnya anak muda di beberapa negara di Wilayah Eropa bergabung dengan ISIS tidak lain dari media sosial atau situs-situs radikal.
Lagi, yang patut diwaspadai soal generasi muda yang rentan terkontaminasi situs radikal lantaran mereka mempunyai kemampuan mengakses internet dengan baik. Mereka mudah terpengaruh ketika ada masalah.
Beberapa kasus yang sempat terungkap oleh pihak kepolisian kelompok radikal memperlihatkan bagaimana website yang isinya kebencian terhadap negara Indonesia yang menurut mereka sebagai negara kafir. Polisi sebagai pelindung negara kafir serta masyarakat yang tidak mau memerangi pemerintah Indonesia dianggap sebagai pengikut negara kafir (hlm. 50)
Tips Mencegah Terorisme
Ada tiga hal yang bisa dilakukan generasi muda untuk menghindari pengaruh terorisme. Pertama, back to (kembali kepada) Pancasila. Bahwa terorisme di Indonesia menggunakan isu agama untuk memuluskan pengaruh mereka. Islam sendiri merupakan agama terbuka tidak menutup diri kepada agama maupun kelompok lain.
Sedangkan para teroris menganggap kelompok lain yang tidak sejalan dengan ajaran mereka adalah salah. Padahal Nabi Muhammad SAW sangat menghargai keberadaan umat Nasrani dan Yahudi saat memimpin Madinah. Suku-suku kecil di luar kelompok Nabi Muhammad pun dihormati.
Begitu juga di Indonesia semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-berbeda tetapi tetap satu mengandung makna untuk menghargai kelompok yang berlainan. Sebab itu negara kita yang salah satu pilarnya Bhinneka Tunggal Ika jika kita menemukan kelompok yang mengajarkan kebencian terhadap kelompok lain maka sebaiknya tinggalkan kelompok tersebut karena tidak sesuai dengan dasar negara kita dan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Kedua, belajarlah pada guru dan ustaz yang mengajarkan perdamaian, toleransi, dan aksi kekerasan. Ini penting. Kenapa? Karena problem agama di Indonesia merupakan hal yang sensitif. Dari ujung Aceh hingga Papua tata cara beribadah atau perilaku beragama saja berbeda-beda. Makanya, jika kita hanya berguru pada satu guru/ ustaz kita akan susah untuk menerima perbedaan pendapat atau pandangan orang lain. Sehingga belajar dari guru yang berbeda merupakan nilai plus agar ilmu yang kita peroleh bisa dikembangkan atau dibandingkan dengan ilmu lainnya.
Terakhir yang ketiga, penggunaan internet sehat. Point internet sehat berarti memanfaatkan internet sebagai sumber ilmu positif. Jika generasi muda menemukan konten negatif, Anda (anak muda) boleh membacanya namun setelah itu carilah sumber lain. Apakah konten itu dibenarkan diterapkan di Indonesia? Apakah konten itu sejalan dengan ajaran agama kita? Pandai memilah dan memilih konten itu sudah merupakan bagian dari internet sehat. (*)
Penulis: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Judul : Anak Muda Cerdas Mencegah Terorisme
Penerbit : Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Tebal : 58 halaman
Cetakan : Pertama
Terbit : September 2015
-Peresensi adalah Guru SMK Az Zahra Mlonggo Jepara