Oleh Niam At-Majha
Bau ampau masih terasa setelah semalam di guyur hujan. Baunya khas, tak bisa dinarasikan dalam bentuk ungkapan kalimat. Sebab bau harum ampau tersebut hanya bisa kita rasakan setelah hujan pertama datang. Setelah berbulan-bulan dilanda kemarau panjang. Bau tersebut selalu di tunggu dengan sabar. Sesabar menunggu rintik hujan pertama datang. Seperti halnya Mbah Mul bertahun-tahun menjaga waktu, tepat waktu; tak peduli dengan musim, baik hujan panas; bagi Mbah Mul waktu tetap sama. Ia harus menjaga waktu sehari semalam lima waktu.
Mbah Mul tak terkenal di luar desa Karan. Tetangga desa saja jarang yang tahu. Namanya tak mashur seperti para orang akan pergi haji dan pulang berhaji. Mbah Mul menerima titahnya untuk menjaga waktu sejak tahun 80 an hingga saat ini. Ikhlas tak menuntut apa-apa. Jerih payahnya sebagai merbot masjid di bayar satu tahun sekali yaitu ketika menjelang idul fitri. Tugas mulia sebagai penjaga waktu lebih akrabnya sebagai marbot masjid yang selama lima waktu siap siaga ketika waktu adzan tiba. Ia sebagai orang pertama yang datang ke masjid dan pulang paling akhir.
“Mbah…..mampir ngopi dulu”
- Iklan -
Saban hari Mbah Mul selalu lewat depan rumah, sudah dipastikan saya mengajaknya untuk ngopi. Istirahat sejenak setelah perjalanan satu kilo untuk mengambil dedaunan buat makan kambing ternaknya.
“Punya ternak kambing berapa Mbah?” “Hanya dua ekor saja mas,”
“Apa tak capek Mbah, sudah setua ini masih ternak kambing segala. Padahal Mbah punya tanggung jawab menjadi merbot masjid, harus tepat waktu, subuh harus bangun terlebih dahulu, apa tak takut jika kecapean nanti telat adzannya Mbah,?”
Sambil menyeruput kopi dan sesekali mencomot ketela goreng. Mbah Mul membenarkan tempat duduknya, sambil menerawang. Gurat-gurat keriput pada wajahnya memberi isyarat apabila ia sudah kenyang makan garam kehidupan.
“Menjadi merbot masjid itu tanggung jawab saya mas, fardhu ain sedangkan ternak kambing adalah sampingan, saya lebih memprioritaskan menjadi marbot masjid, bersih-bersih, mengajari anak-anak mengenal huruf hijaiyyah alif, ba, tha di beranda masjid”
“Hampir 30 an tahun menjadi penjaga waktu, tanpa di gaji pasti; bahkan bisyaroh ucapan terima kasih pun ketika hari raya kemenangan tiba, itu pun tak seberapa,”
“Mas…mas kalau di kalkulasi finansial ekonomi manusia tak akan cukup, apalagi jika berbicara dengan kebutuhan harian. Akan tetapi saya percaya apabila Allah menciptakan manusia semua kebutuhan akan di cukupi-Nya dan alhamdulillah sayai sekelurga hingga saat ini ketika ada kebutuhan selalu ada. Maka dari itu, jika kita tawakal dan ikhtiar dengan ikhlas tentu kebutuhan kita akan dicukupi oleh Allah Pencipta manusia,”
Kemantapan setiap orang berbeda-beda. Bisa di katakan apabila keyakinan seseorang bisa di ukur dengan tingkat keimanannya. Semakin iman kepada Allah tentu tingkat keyakinan akan bertambah. Mbah Mul contohnya ia sangat yakin apabila menjadi dan merawat dan meramaikan rumah Allah yaitu masjid, maka segala kebutuhan harian akan tercukupi melalui jalan jalan tak terduga, karena pintu rejeki datangnya dari segala penjuru, tergantung Kun dari-Nya.
Banyak pelajaran dan ilmu setiap kali ngopi dan bersenda gurau dengan Mbah Mul, manusia sederhana yang tak mempunyai banyak kepentingan. Menerima ing pandum; menjalani titah sebagai hamba-Nya yang di berikan padanya. Meskipun ia hanya terkenal di desa Karan saja, desa kecil terletak di Lereng Muria. Sebuah desa salah satu penghasil kopi terbanyak di daerah Jawa Tengah. Keseharian penduduknya kebanyakan berkebun kopi.
Di daerah Karan para buruh tak ada yang berkerja seharian penuh. Setengah hari saja. Ketika suara Mbah Mul terdengar di Masjid Falah, maka semua pekerjaan harus berhenti. Baik di sawah, di kebun harus berhenti dan pulang kerumah untuk menjalani kewajiban seorang hamba-Nya yaitu sholat.
Kehidupan di desa memang sederhana. Keinginannya pun sederhana. Jauh berbeda dengan kehidupan di kota-kota besar. Semua di tuntut dengan cepat, orang-orang kota bekerja pergi pagi pulang malam. Setiap hari seperti itu, tak ubahnya robot. Karena manusia kota di tuntut serba cepat dan tepat. Tanpa memperdulikan sosial bermasyarakat. Tak ada kumpulan, njagong bareng, santai-santai sambil menertawakan kehidupan; karena bagi orang desa kehidupan tak perlu di pikirkan secara serius. Cukup dijalani saja, dinikmati. Karena di dunia ini tak ubahnya panggung sandiwara.
Keputusan yang diambil oleh Mbah Mul bukan keputusan sederhana, akan tetapi sebuah pilihan yang orang lain belum tentu bisa untuk menirunya; sebab tenaga dan waktunya sudah di hibahkan untuk merawat dan menjaga rumah Allah, Masjid. Pengorbann yang sungguh luar biasa. Hanya orang-orang yang hatinya bersih dan imannya kuat saja bisa menjalaninya secara istiqomah.
“Mbah dimakan ketelahnya, ke asyikan ngobrol lupa ada ketela goreng; mumpung masih hangat,”
“Iya Mas.. saya jadi sungkan setiap lewat di depan rumah, selalu diajak ngopi dan lainnya,”
“Ah…biasa saja Mbah, apa yang saya berikan tak seberapa dengan ilmu yang saya dapatkan dari obrolan kita setiap kali bertemu Mbah, “
“Ilmu apa toh mas, saya tak ngasih apa-apa, lha wong kita selama ini hanya ngobrol biasa saja, bahkan tak ada nasihat atau dalil-dalil tertentu yang saya utarakan,”
Kebanyakan orang itu, lebih banyak berbicara dari pada pratik dengan apa yang di utarakan. Mbah Mul menjalani apa yang ia tahu, meskipun pengetahuannya tak seberapa akan tetapi ia menjalani dengan sungguh sungguh dengan penuh khidmah dan ke ikhlasan.
Lain halnya dengan zaman sekarang yaitu kebanyakan banyak nasihat nasihat kebaikan yang dilontarkan dengan iming-iming pahala. Akan tetapi orang yang mengutarakan tersebut jarang menjalani dan memberikan suritauladan. Sungguh ironis memang.
“Mbah kok bisa istiqomah menjaga sholat jamaah sudah berpuluh-puluh tahun resepnya apa Mbah, tentu setiap orang tak mungkin sehat terus, pasti adakalanya sakit dan malas, lha solusinya untuk mengatasi hal tersebut bagaimana?”
Rasa penasaran saya untuk selalu bertanya banyak hal kepada Mbah Mul, orang unik yang bisa istiqomah sejak tahun 80 an hingga saat ini. Buat saya orang tersebut adalah kiai tanpa santri. Keistiqomahannya dalam menjaga sholat lima waktu, mengajak masyarakat desa Karan untuk pergi ke masjid menunaikan sholat berjamaah, bukanlah hal yang sangat mudah, melainkan membutuhkan keikhlasan dan pengorbanan yang amat banyak.
“Wah kalau tanya tentang resep dan tips saya tak bisa menjawabnya mas, soalnya saya hanya menjalani apa yang sudah menjadi tugas saya, yaitu hamba yang selalu menyembah kepada-Nya, salah satunya yang mampu saya jalani yaitu tadi menjadi merbot masjid, sebuah pekerjaan yang di pandang sebelah oleh kebanyakan orang dan tak menghasilkan laba/profit, akan tetapi setidaknya saya bisa menjaga sholat saya agar tepat waktu, sebenarnya itu saja mas, niat karena Allah itu resep saya menjalani merbot selama bertahun-tahun dan bisa bertahan hingga sekarang,”
“Sesederhana itukah Mbah, tak ada niat lain?”
“Ya tak ada mas, bagaimana saya mau niat aneh-aneh pendidikan saya hanya lulusan SR bisa membaca dan mengaji sudah alhmdullilah, wawasan sedikit pendidikan rendah menjadi motivasi saya untuk mengabdi, itu saja,”
“Keluarga mendukung Mbah?”
“Sangat mendukung sekali mas, menjadi merbot kan lahan pahala, kita punya ladang yang sangat luas tanpa modal tinggal niat yang kuat dan istiqomah saja, mau beramal seperti yang lain saya tak punya cukup harta benda, yang saya punyai dan saya mampu yaitu semangat saja, dan berani mengabdi sepenuh jiwa raga mas,”
“Wah…modal yang Mbah punyai tersebut bisa mengalahkan semuanya, pengabdian yang tak seorang pun mampu Mbah. Merbot masjid bukan perkara mudah, sebab harus mewakafkan jiwa raganya untuk menjaga masjid mengesampingkan pekerjaan lain, mencari nafkah untuk keluarga bukan lagi perihal utama melainkan buat sampingan saja,”
“Jangan begitu mas, saya tetap biasa saja jangan terlalu di puji nanti bisa besar kepala saya. Saya mau menjadi merbot masjid sebab hanya itu yang bisa saya lakukan. Meskipun banyak yang bilang jika menjadi merbot masjid pahalanya banyak di jamin masuk surga, saya tak menghiraukan semua itu, sebab surga dan neraka adalah milik Allah, mau memasukkan hamba-Nya ke surga atau neraka tanpa perlu alasan,”
“Uhuk..uhuk…”
“Pelan-pelan mas minum kopinya, tak perlu tergesa-gera; minum kopi apabila tergesa-gera tak akan terasa nikmat mas. Sebab meskipun kopi sudah di kasih gula kita juga harus merasakan cecapan pahitnya, satu sruputan saja kita bisa menikmati rasa manis sekaligus pahit,”
“Benar sekali Mbah, “
Setiap obrolan dengan Mbah Mul, selalu mendapatkan pencerah, nasihat dan sindiran satir. Saya sendiri merasa tak mampu apa-apa, hanya bisa mengagumi jalan kehidupan yang di pilih Mbah Mul. Sebab setiap pengabdian adalah pilihan, apabila pengabdian di dasari oleh keterpaksaan maka yang ada bukanlah keikhlasan, ke tawadlu’an melainkan sebuah kedengkian, ke munafikan.
Saban hari ketika Mbah Mul lewat depan rumah, selalu saya ajak ngopi ngangsu kaweruh dan menikmati cerita-cerita saripati kehidupan.
“Mbah selama menjadi merbot masjid adakah orang yang dengki atau tak suka dengan profesi yang Mbah jalani, “
“Tentu ada mas, sebab kehidupan di dunia ini berpasang-pasangan, siang dengan malam, pria dengan wanita, baik dengan buruk dan sedih dengan bahagia,”
“Jika ada orang yang tak suka dengan Mbah, tentu ada alasan kenapa tak suka dengan Mbah,?”
“Kalau soal itu saya tak bisa menjawab mas, pernah saya menanam rumput ada orang yang merusaknya, serusak rusaknya. Memang saya menanam bukan di lahan saya melainkan menyewa ke ladang tetangga, ternyata ada juga yang jail mas,”
“Mbah tak berusaha mencari tahu siapa yang merusaknya?”
“Buat apa mas?”
“Ya setidaknya Mbah tahu tujuan orang tersebut merusaknya, tentu merusak tanaman yang tak bersalah ada alasan tersendiri. Apakah orang tersebut pernah sakit hati dengan Mbah atau pernah tersinggung dengan perkataan Mbah, sebab piring di rak saja meskipun tertata rapi seringkali bisa saling berbenturan, apalagi kita bertetangga dan bermasyarakat sudah pasti ada Mbah,”
“Mas…bukannya saya tak ingin mencari tahu, akan tetapi jika sudah tahu orangnya kita menemuinya dan menanyainya bukan menambah kebaikan dalam hati saya, melainkan bisa jadi memupuk bibit bibit kedengkian hati saya, biarlah orang tersebut mendapatkan kebaikan dari Allah yang maha kuasa mas. Saya tak mau mencari tahu anggap saja saya lagi diberi cobaan oleh Allah agar saya terus bersabar. Itu saja mas,”
“Apa Mbah Mul tak sakit hati, rumput yang ditanam dengan jerih payah, mengeluarkan biaya pula, sedangkan belum saatnya di panen sudah dirusak orang, apa Mbah Mul tak mengingat jerih payah yang sudah Mbah jalani, “
“Kalau sakit hati tentu ada, akan tetapi tak terlalu saya hiraukan mas, apabila di ganggu sedikit saja kita sakit hati, tentu akan buang-buang energi saja mas. Selain itu akan memberikan kesempatan tunas-tunas penyakit hati tumbuh dalam diri kita. Saya kira mas lebih paham tentang hal tersebut,”
Ketika mendengar apa yang barusan di ungkapkan oleh Mbah Mul, saya menjadi malu sendiri; di pelosok desa Karan ada orang yang sudah tua, dengan pekerjaan utamnya menjadi marbot masjid dan usaha sampingannya berternak kambing. Ia memaknai kehidupan dengan penuh kesederhanaan; tak ada rencana masa depan. Ia hanya menjalani hidup apa adanya. Bahkan jika besok belum ada untuk di tanak buat keluarga ia tak terlalu pusing. Sebab Mbah Mul mempunyai keyakinan apabila Allah telah menenumi segala kebutuhan hamba-Nya.
“Makasih mas, saya tak pulang dulu, kasihan kambing-kambing saya belum pada makan, kapan-kapan saya tak mampir jika pas lewat rumah mas, “
“Dengan senang hati Mbah Mul, “
Cabean, Bulu, Rembang, 2019.