Oleh Efen Nurfiana
Saya tidak lupa tulisan Carl Gustav Jung, yang berbicara mengenai hakikat dan fungsi jiwa ketika manusia modern meraba-raba kondisi keterasingan dalam buku Mencari Kedamaian Jiwa (Jung, 2022). Manifestasi ini perlu dibahas sebagai bentuk kesadaran di tengah banyaknya pergunjingan di era kepraktisan teknologi. Tak perlu ditegaskan bahwa kini banyak referensi dari berbagai sumber berbicara mengenai pergeseran minat yang terus meningkat. Teknologi memiliki kekuatan untuk memengaruhi kita menentukan nilai-nilai kehidupan. Manusia berbondong-bondong mempertunjukkan iman, pencitraan, kerusuhan, bahkan perang emosional di media sosial. Sementara, orang-orang di luar “kelompok” mudah saja disebut ketinggalan zaman, tidak modernis.
Pada gilirannya, manusia menyadari bahwa teknologi membawa arah doktrin yang sedikit berjarak dengan konsentrasi untuk menilai kehidupan. Tidak ada penilaian yang tak bisa dipengaruhi. Lagi pula, tidak sulit untuk menyadari betapa kita terpedaya oleh teknologi. Kita tidak lagi perlu menelisik jauh untuk membaca buku tentang teori behavioristik dan kepribadian.
- Iklan -
Reaksi Kaum Modernis Memahami Budaya
Sebut saja, untuk memahami reaksi dalam menyingkap sudut pandang tentang beberapa persoalan yang baru-baru ini bermunculan di fyp media sosial pada pertengahan tahun 2025. Konten S Line sebagai proyeksi atas hubungan “intens” manusia. Warga TikTok, sebagai sebutan para user pengguna media TikTok tengah menghadapi sugesti untuk mengikuti tren S Line. Gaya mutakhir ini muncul seiring dengan tayangnya sebuah Drama Korea berjudul S Line, yang dirilis pada 11 Juli 2025. Drama ini mengeksplorasi premis provokatif, di mana garis merah yang disebut “S Line” muncul di kepala orang-orang untuk memproyeksikan mereka pernah memiliki hubungan seksual. Tidak hanya banyak diikuti oleh Gen Z, tren ini bahkan menyentuh reaksi Gen Milenial (1981-1996) dan Gen X (1965-1980).
Barangkali saya akan terlalu tertinggal apabila berupaya membandingkan konteks reaksi kalangan anak muda dalam menghadapi persoalan tren TikTok dengan reaksi membaca berita di koran. Lantas dengan ini, laman yang lebih modern seperti NU Online haruslah terbentang luas untuk menanggapi fenomena sosial dan memposisikannya pada arus modernitas. Bukan untuk memerangi, namun mengadopsinya untuk mengambil konteks kemaslahatan.
Di samping itu, saya tergoda untuk mengaitkan reaksi manusia modern yang didominasi oleh Gen Z ini sebagai konsep situasi alam bawah sadar untuk mencetuskan perilaku. Apabila kesadaran sepenuhnya dilumpuhkan, maka tidak ada dari reaksi yang dapat ditegaskan untuk menentukan sebuah nilai.
Simbol seksual dalam tren S Line ini diciptakan untuk mewakili alam bawah sadar mereka dalam mengeksploitasi seksualitas. Ambil, semisalnya ada yang memaknai simbol S Line sebagai reaksi kejantanan, maka amat disesalkan apabila saya melepaskan prasangka untuk memahami kondisi ini sebagai reaksi alam bawah sadar. Sekalipun, tindakan yang mengisi energi ini seakan-akan belum ditetapkan, karena masihlah terdapat kemungkinan “terbawa arus tren.” Jika demikian, betapa reaksi manusia modern mudah untuk dipengaruhi oleh teknologi.
Celah dari modernitas ini merujuk pada gagasan pemeriksaan terhadap detail reaksi yang mengilustrasikan hubungan seksualitas sebagai materi ilusi tren. Mestilah, wawasan ini perlu untuk lebih menjelaskan dan menunjuk berbagai perspektif untuk memahami euforia bermedia sosial.
Memahami Pengendalian Diri
Ketika kita dapati aneka persoalan yang meresepkan kemajuan teknologi, maka tak satupun arus itu dikatakan gagal mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Lagi pula, wajar apabila perilaku masyarakat didominasi oleh opini yang membingungkan. Sulitnya mengakses kedamaian jiwa di tengah derasnya perkembangan teknologi pastilah semakin mempersulit kondisi ini.
Di balik banyaknya anak muda yang dibuat kebingungan oleh opini-opini psikologis yang bertebaran di media sosial. Praktik konsultasi dokter tidak dipahami sebagai bahasa analitis. Faktanya, psikologi modern bersifat empiris dan berkaitan dengan alam, sementara studi ini lebih didasarkan pada fungsi intelek. Apabila praktik modern yang didasarkan melalui berbagai tren media sosial menjadi cikal bakal terpisahnya kita dari kedamaian jiwa. Maka perlu adanya edukasi dan transformasi.
Pasalnya sekarang menahan diri untuk tidak mengikuti tren bagi kebanyakan Gen Z, sama halnya seperti menahan sesuatu yang biasa berupa emosi. Letak pengendalian diri menjadi lebih menyehatkan dan berguna daripada menyerukan masa untuk tidak terjerumus persoalan tren. Menanggapi kaum modern, seakan-akan mereka terperosok ke dalam ketergantungan media, di mana mereka tidak sanggup melindungi diri. Bagaimana jadinya, jika pada kondisi ini mereka tidak mampu berurusan dengan gejala dan corak ketergantungan media?
Aksen perasaan yang ditransfer melalui konten media sosial kini banyak menyeruak ke permukaan. Tak heran, jika saya mencurigai bahwa Gen Z kesulitan mendapatkan kedamaian jiwa. Sebab persoalan yang timbul akibat ketergantungan ini membuka kemungkinan arus interaksi dan perasaan teknis yang tak lazim. Mereka sulit beranjak lebih jauh melakukan aktivitas tanpa menimbulkan keterikatan dengan media sosial.
Pengalaman lebih lanjut menunjukkan bahwa hasrat, emosi, reaksi, lebih banyak disalurkan melalui fantasi bermedia dengan keterlibatan aktif pada media sosial. Dalam hal ini, kita sulit untuk tidak mengatakan bahwa situasi ini menyudutkan kita memahami adanya dunia lain yang tak lazim; dunia media sosial.
Keterikatan Teknologi: Fantasi atau Kebutuhan?
Tiba saat pada akhirnya kita terpedaya oleh keterikatan teknologi, kita kerap mendapati diri hidup di dalamnya. Secara tidak sadar, kita mengidentifikasi bahwa kita terlampau aktif dalam media sosial dan memasang privasi di kehidupan nyata. Kengerian ini berdampak pada masalah yang perlu dihadapi yakni kesediaan diri untuk dididik sebagai makhluk sosial.
Tanpa dorongan kebutuhan, wawasan, dan moral, kondisi ini menyulitkan sekalipun mereka sangat yakin. Rata-rata, mereka begitu gampang menjalani kehidupan di media sosial ketimbang beradaptasi dengan posisi sosial, baik ditinjau dari prinsip kesenangan maupun kecenderungan alam bawah sadar. Katakanlah seorang pekerja yang muak dengan kesewenang-wenangan atasan. Ia akan mudah mencibir di media sosial ketimbang berdiskusi dan beradaptasi dengan kesenjangan sosialnya. Kesenangan dan kepuasan sepihak yang diproyeksikan melalui cibiran di media sosial lebih menarik ketimbang harus mempersulit keadaan dan kehilangan pekerjaan.
Hanya segelintir orang yang mampu beradaptasi secara normal. Sebab, media sosial dianggap mampu menampung segala wujud rupa ketidakberdayaan dan endapan reaksi. Dunia kita dipenuhi delusi dan fantasi sehingga pembicaraan yang tulus tidak dapat mengalahkan kelas sosial.
Kendati begitu, kita tidak dapat menampik kenyataan bahwa media sosial dapat memberikan kekuatan untuk orang-orang yang dapat mengambil dan melanjutkannya. Kebutuhan finansial di zaman kita menyebabkan jutaan orang memilih media sosial sebagai sumber penghasilan. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud kelebihan itu, kita perlu menepikan sebagian besar asumsi terkait berbagai isu negatif yang dapat ditimbulkan media sosial dari sebuah keterikatan.
Menjadi makhluk yang dapat beradaptasi dengan kemajuan teknologi dapat begitu menggairahkan, sebab media sosial menjadi ruang yang nyaris tak menyentuh kebosanan. Di lain sisi, mudahnya mendapat keuntungan finansial dari kemajuan teknologi berkemampuan menyingkirkan isu yang ikut menyeruak di dalamnya. Sistem belanja online, live TikTok, bahkan menjadi bagian dari TikTok Affiliate yakni program monetisasi, di mana pengguna dapat memperoleh komisi dengan mempromosikan produk dari TikTok Shop melalui konten video atau siaran langsung, dipandang sebagai tahap-tahap melegalkan media sosial pada konteks kebutuhan.
Aksen kesadaran bermedia sosial yang demikian yang kemudian menggambarkan kebutuhan. Dalam keterikatan ini, kebutuhan finansial menjadi alasan yang paling tipikal untuk menyebutkan keterikatan teknologi berada dalam hubungan mutualisme. Namun bukan berarti itu tak disertai pengaruh negatif pada keterikatan teknologi. Hanya apabila kita mampu mengendalikan diri dari gangguan, atau bahkan cedera yang menjauhkan diri dari kedamaian jiwa, yang dapat menyelamatkan kita.
-Efen Nurfiana. Karyanya terdokumentasi dalam kumpulan sajak Dadamu Serumpun Pohon (Wadas Kelir Publisher, 2023), Gus Mus dan Simbolisme Feminin (Wadas Kelir Publisher, 2023). Instagram Efennu.



