Oleh: Muhammad Nur Faizi
Fenomena deepfake dan hoaks kini menjadi ancaman yang semakin nyata di era digital. Dengan teknologi kecerdasan buatan, sebuah video, gambar, atau audio dapat direkayasa sedemikian rupa hingga tampak begitu meyakinkan. Bagi banyak orang, konten manipulatif ini nyaris mustahil dibedakan dengan konten asli. Inilah yang menjadikan deepfake berpotensi merusak kepercayaan publik pada media, lembaga negara, bahkan tokoh agama yang menjadi panutan masyarakat.
Di Indonesia, fenomena ini sudah mulai terlihat dengan jelas. Kasus-kasus penipuan menggunakan deepfake meningkat secara signifikan. Menurut laporan VIDA, sebuah perusahaan keamanan digital, jumlah kasus penipuan berbasis deepfake melonjak hingga 1.550 persen antara tahun 2022 hingga 2023. Angka ini menggambarkan percepatan luar biasa dalam adopsi teknologi manipulatif tersebut. Tidak berhenti di situ, pada kuartal pertama 2025 saja, sudah tercatat 179 insiden deepfake, melebihi total kasus sepanjang tahun 2024 sebesar 19 persen. Angka ini menunjukkan bahwa dalam beberapa bulan saja, penyebaran deepfake telah menembus rekor tahunan sebelumnya.
Secara global, ancaman ini semakin mengkhawatirkan. Data internasional memperlihatkan bahwa 60 persen konsumen mengaku pernah menemukan video deepfake dalam satu tahun terakhir, sementara hanya 15 persen yang belum pernah bersinggungan dengannya. Dengan kata lain, mayoritas masyarakat dunia kini sudah terpapar konten rekayasa digital. Di sisi lain, laporan Surfshark memperkirakan bahwa tren ini akan terus meningkat seiring kemudahan pembuatan konten palsu dengan aplikasi generatif yang tersedia gratis di internet.
- Iklan -
Bahaya Deepfake dan Hoaks
Bahaya yang ditimbulkan deepfake dan hoaks tidak bisa diremehkan. Pertama, fenomena ini bisa mengikis kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran informasi. Ketika publik semakin sulit membedakan mana yang asli dan palsu, potensi munculnya sikap skeptis berlebihan akan meningkat. Dalam situasi seperti ini, masyarakat bisa saja tidak lagi percaya pada media arus utama, institusi resmi, bahkan pemerintah. Kedua, deepfake bisa digunakan sebagai senjata politik yang merusak reputasi seseorang. Bayangkan sebuah video tokoh politik yang direkayasa seolah-olah mengucapkan pernyataan provokatif—dampaknya bisa berupa kegaduhan politik, polarisasi sosial, hingga kerusuhan.
Ketiga, kelompok radikal dan teroris dapat memanfaatkan deepfake untuk propaganda ekstremisme. Kasus penggunaan teknologi digital oleh jaringan teroris sudah bukan hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok ini menggeser aktivitas indoktrinasi dan rekrutmen ke ranah daring karena pengawasan aparat yang semakin ketat di dunia nyata. Kini, dengan deepfake, mereka memiliki senjata baru untuk memproduksi konten seolah-olah tokoh agama tertentu mendukung narasi kebencian mereka. Bila hal ini terjadi, dampak sosialnya bisa sangat luas, terutama di kalangan generasi muda yang akrab dengan teknologi digital.
Cara Mengenali Deepfake dan Hoaks
Karena itu, mengenali deepfake dan hoaks dengan cara paling ilmiah menjadi kebutuhan mendesak. Secara teknis, para ahli telah mengembangkan sejumlah indikator untuk mendeteksi konten palsu ini. Analisis visual misalnya, mampu mengidentifikasi ketidakwajaran kecil dalam rekayasa wajah. Kedipan mata yang tidak sinkron, pergerakan bibir yang tidak sesuai suara, atau pencahayaan kulit yang berbeda dengan latar adalah beberapa contoh tanda yang bisa diperhatikan.
Selain itu, analisis audio juga berperan penting. Suara hasil rekayasa sering kali tidak bisa mereplikasi intonasi alami seseorang. Nada bicara terdengar datar, jeda tidak wajar, atau kecepatan yang terlalu seragam. Analisis ilmiah terhadap pola suara ini mampu mengungkap ketidaksesuaian antara ekspresi visual dengan audio yang terdengar.
Metode deteksi berbasis fisiologis kini berkembang pesat. Salah satu pendekatan terbaru adalah remote photoplethysmography (rPPG), yaitu teknologi yang menganalisis aliran darah mikro pada wajah seseorang. Karena video asli menangkap perubahan cahaya akibat aliran darah di kulit, sedangkan deepfake gagal mereplikasinya, metode ini mampu mencapai akurasi lebih dari 98 persen dalam mendeteksi manipulasi wajah. Pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa deepfake, meski canggih, tetap menyisakan jejak biologis yang sulit ditiru.
Di samping itu, berbagai platform berbasis AI dikembangkan khusus untuk deteksi deepfake. Salah satunya adalah Vastav AI, yang memanfaatkan kombinasi machine learning, analisis metadata, dan teknik forensik digital untuk mengenali konten palsu secara real time. Platform semacam ini bahkan mulai digunakan secara gratis oleh lembaga penegak hukum di beberapa negara. Namun, hasil penelitian terbaru juga menunjukkan adanya keterbatasan. Dari lebih dari 500 ribu gambar deepfake yang diuji, kurang dari separuh detektor otomatis mampu mencapai skor akurasi 60 persen. Beberapa bahkan nyaris setara dengan menebak acak. Fakta ini menegaskan bahwa meski teknologi deteksi terus berkembang, ia tidak bisa sepenuhnya diandalkan.
Ironisnya, manusia justru sering kali lebih unggul dalam mengenali konten palsu. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan publik untuk mengidentifikasi deepfake bisa mencapai 69–72 persen, lebih tinggi daripada model AI terbaik yang hanya sekitar 65 persen. Bahkan, studi lain memperlihatkan bahwa dengan memberi tambahan waktu sekitar 10 detik untuk mengamati sebuah video, akurasi deteksi manusia bisa meningkat hingga 8 persen lebih tinggi. Artinya, literasi digital dan sikap kritis masyarakat tetap menjadi benteng paling penting dalam menghadapi gelombang disinformasi.
Dalam konteks inilah, peran literasi digital menjadi mutlak. Masyarakat perlu dibiasakan dengan budaya verifikasi. Cara sederhana seperti melakukan reverse image search untuk foto, membandingkan informasi dengan sumber resmi, hingga memperhatikan tanggal dan konteks unggahan adalah langkah-langkah kecil yang efektif. Pendidikan publik harus menanamkan prinsip bahwa tidak semua konten digital dapat dipercaya begitu saja. Sikap skeptis yang sehat adalah bagian dari kecerdasan bermedia.
Tentu saja, tanggung jawab ini tidak bisa dibebankan hanya pada individu. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyusun regulasi yang jelas. Di Amerika Serikat misalnya, telah disahkan TAKE IT DOWN Act pada Mei 2025, yang secara khusus mengatur pembuatan dan penyebaran deepfake intim tanpa izin. Di tingkat global, PBB melalui International Telecommunication Union (ITU) menyerukan penerapan standar internasional berupa watermarking dan alat verifikasi digital untuk memastikan keaslian konten multimedia. Indonesia pun perlu segera menempuh langkah serupa, baik dalam bentuk regulasi maupun kebijakan teknis, agar tidak tertinggal menghadapi ancaman baru ini.
Tidak kalah penting adalah peran perusahaan teknologi dan penyedia platform media sosial. Selama ini, banyak platform cenderung permisif terhadap penyebaran konten manipulatif. TikTok, YouTube, dan Instagram misalnya, masih sering menjadi ruang bagi hoaks dan video deepfake yang viral tanpa verifikasi. Padahal, dua pihak inilah yang memiliki tanggung jawab besar: penyedia aplikasi AI dan penyedia platform media sosial. Keduanya harus ikut menjaga agar teknologi yang mereka hasilkan tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Jika semua pihak berkolaborasi, benteng pertahanan masyarakat terhadap disinformasi akan semakin kokoh. Literasi digital masyarakat akan tumbuh, regulasi negara menjadi jelas, perusahaan teknologi ikut bertanggung jawab, dan tokoh masyarakat aktif mengedukasi. Kombinasi ini akan menjadikan teknologi AI, termasuk deepfake, diarahkan untuk tujuan konstruktif. AI bisa dipakai untuk pendidikan, dakwah, atau inovasi ekonomi, bukan untuk merusak kepercayaan sosial.



