*) oleh: Tjahjono Widarmanto
Pendahuluan
Sejak lama, pembelajaran apresiasi sastra Indonesia mengalami problematika yang beragam, salah satunya adalah problematika metode pembelajaran. Apresiasi sastra hanya sebatas diajarkan dengan cara tradisional, yakni guru aktif menerangkan tentang sastra tanpa pernah mengajak siswa bersastra secara langsung. Siswa berada dalam kondisi tabung kosong yang harus diisi materi-materi sastra tanpa pernah berhadapan langsung dengan karya sastra.
- Iklan -
Atmazaki (2005) menyebutkan bahwa masalah yang sering terjadi adalah bahwa mata pelajaran apresiasi sastra belum mampu membuka mata siswa terhadap daya tarik sastra. Kalau sekadar menghafal nama pengarang, judul karya, dan periodisasi sastra saja memang belum cukup menarik bagi siswa. Sekadar menentukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra, tanpa mengaitkannya dengan pengalaman siswa juga belum mampu membuka mata siswa. Sekadar membaca puisi dan menentukan rima juga belum mampu memunculkan kreativitas pada siswa. Duff dan Malay (1997:7) menyebutkan bahwa pembelajaran apresiasi sastra dapat mengatasi kesulitan bahasa, pemahaman teks yang panjang, pemahaman budaya, pemahaman acuan, konsep, dan penerimaan.
Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di sekolah disajikan secara integratif dengan pembelajaran bahasa Indonesia. Dampak yang muncul dari pengintegrasian tersebut (1) adalah ketidakseimbangan bobot materi dan cara penyajian bahasa dengan apresiasi sastra, (2) guru rata-rata lebih mengedepankan pembelajaran bahasa dari pada apresiasi sastra, (3) apresiasi sastra disajikan dengan gaya yang sama saat guru mengajarkan bahasa, dan (4) pembelajaran apresiasi sastra disajikan dengan cara kognitif akibat ketidaktersediaan waktu.
Dampak tersebut juga disebabkan oleh (1) pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan penyelenggara bukan untuk anak; (2) pembelajaran yang diselenggarakan bersifat pemindahan isi (content transmission). Tugas pengajar hanya sebagai penyampai pokok bahasan. Mutu pengajaran menjadi tidak jelas karena yang diukur hanya daya serap sesaat yang diungkap lewat proses penilaian hasil belajar yang artifisial. Pengajaran tidak diarahkan kepada partisipatori total dari anak yang pada akhirnya dapat melekat sepenuhnya dalam diri anak; (3) aspek afektif cenderung terabaikan; (4) diskriminasi penguasaan wawasan terjadi akibat anggapan bahwa yang di pusat mengetahui segalanya dibandingkan dengan yang di daerah, yang di daerah merasa mengetahui semuanya dibandingkan dengan yang di cabang, yang di cabang merasa lebih tahu dibandingkan dengan yang di ranting, begitu seterusnya. Jadi, diskriminasi sistematis terjadi akibat pola pembelajaran yang subjek-objek; dan (5) pengajar selalu mereduksi teks yang ada dengan harapan tidak salah melangkah. Teks atau buku acuan dianggap segalanya. Jika telah menyampaikan isi buku acuan, guru dengan bangganya menyatakan bahwa pembelajaran yang dijalaninya berhasil. Keberhasilan hanya diukur oleh kepuasan guru dalam menuntaskan materi dan tidak diukur dari kompetensi yang dikuasai siswa.
Ketidakberhasilan pembelajaran apresiasi sastra disebabkan oleh siswa yang terlalu dipatok pada kognisi. Siswa diminta untuk menghafalkan riwayat hidup pengarang, judul-judul buku pengarang, ciri-ciri angkatan, dan hal lain semacam itu. Kemudian, siswa diorientasikan secara praktis melalui ulangan, kenaikan kelas, dan ujian kelulusan. Padahal, sastra akan membuat siswa menjadi cerdas secara emosional, moral, sosial, dan sebagainya. Sebaliknya, siswa yang tidak pernah tersentuh oleh kegiatan bersastra akan menjadi tidak mempunyai kecerdasan emosional. Orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah biasanya (1) menyikapi kritik yang diberikan kepadanya sebagai serangan pribadi bukan sebagai keluhan yang harus dihadapi, (2) gampang mengkritik tetapi kikir memuji, (3) menganggap diri lebih dari diri orang lain atau egoistis, (4) tidak memperhatikan orang di sekelilingnya atau lingkungannya, dan (5) marah menjadi bagian manajemen dirinya.
Banyak orang gagal hanya karena tidak mampu mengelola emosinya. Kelemahan mengelola emosi itu karena kecerdasan emosinya tidak pernah diasah. Padahal, dalam diri manusia terdapat simpul-simpul kecerdasan yang kalau digesek atau diasah akan dapat tajam dan memiliki kekuatan dalam mengelola kecerdasan itu. Kegiatan bersastra dipandang mampu menggesek atau mengasah emosional siswa. Siswa melalui kegiatan bersastra mempunyai alternatif emosional karena mengenal berbagai macam realitas emosional seseorang.
Pembelajaran Apresiasi Sastra sebagai Bagian Integral Pembelajaran Bahasa
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Standar kompetensi ini dimaksudkan agar siswa siap mengakses situs dan perkembangan multiglobal dan lokal yang berorientasi pada keterbukaan dan kemasadepanan.
Standar kompetensi mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia berorientasi pada hakikat pembelajaran bahasa dan sastra, yaitu bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi dan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Pernyataan di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran apresiasi sastra tidak untuk memahami ‘pengetahuan tentang sastra’ melainkan untuk terampil menulis sastra sekaligus mengasah kepekaan siswa dalam menangkap persoalan-persoalan kemanusiaan.
Materi: Penataan Informasi untuk Pembelajaran
Penyiapan materi pembelajaran merupakan tantangan tersendiri bagi guru. Dalam menyiapkan materi pembelajaran, guru melakukan penataan dan pengemasan materi pembelajaran, sehingga ia tidak akan menuangkan semua informasi dan materi keilmuan yang ada di kepalanya sekaligus kepada peserta didiknya. Guru perlu memilih materi pembelajaran berdasarkan kompetensi yang akan dicapai, karakteristik dan pengetahuan awal siswa, serta sarana dan prasarana yang tersedia untuk proses pembelajaran.
Tiga permasalahan yang sering dijumpai berkenaan dengan materi pembelajaran, yaitu: (a) waktu, lingkup materi, dan proses belajar; (b) penyajian materi pembelajaran dan keterpaduan materi; (c) perkembangan dan kemajuan bidang ilmu, teknologi, dan seni.
Penyajian materi pembelajaran dan keterpaduan materi
Bagi guru yang berpegang teguh pada tradisi pembelajaran yang berorientasi pada materi (content-oriented) atau yang terfokus pada guru (teacher-oriented), seringkali materi pembelajaran disajikan tanpa konteks. Materi pembelajaran seolah-olah berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari, apalagi jika guru tergesa-gesa mengejar penyelesaian materi pembelajaran sesuai yang tertera dalam kurikulum. Dengan demikian, materi pembelajaran yang dipelajari siswa bukan menjadi wahana pencapaian kompetensi, namun lebih sebagai sesuatu yang harus diserap (dihafal, diingat) sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Hal ini menyebabkan pembelajaran menjadi tidak menarik bagi siswa, dan siswa menjadi tidak mampu menerapkan ilmu yang dipelajarinya untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Keterpaduan materi sebagaimana dilaksanakan dalam pembelajaran terpadu merupakan salah satu alternatif strategi pencapaian kompetensi dalam kurikulum berbasis kompetensi, karena untuk mencapai kompetensi tertentu diperlukan beberapa mata pelajaran yang terpadu menjadi satu kesatuan utuh. Pembelajaran terpadu mempersyaratkan keterkaitan antar bidang studi (antar topik) dalam tema-tema khusus (tematik). Pembelajaran terpadu juga dipersyaratkan dalam pembelajaran-pembelajaran pada jenjang pendidikan rendah – misalnya, pendidikan usia dini, taman kanak-kanak. Semakin tinggi usia siswa, semakin spesifik bentuk pembelajarannya. Namun, dengan kecenderungan pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran berbasis proyek (problem based learning, project based learning) yang menjadi populer akhir-akhir ini, pembelajaran terpadu menjadi landasan utama bagi bentuk-bentuk pembelajaran tersebut.
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran terpadu, diperlukan kerjasama antara beberapa guru, yang biasanya dalam bentuk team teaching, serta diperlukan juga pengetahuan guru yang relatif luas – lintas topik atau mata pelajaran untuk dapat mengemas materi pembelajaran berdasarkan beberapa perspektif secara terpadu. Masalah yang sering muncul dalam pembelajaran terpadu adalah guru yang kurang memiliki wawasan lintas topik atau mata pelajaran, dan atau team teaching yang menjadi turn teaching atau “giliran mengajar”, bukan pembelajaran terpadu. Karena berbagai kendala tersebut, seringkali pembelajaran terpadu menjadi tidak dapat dilaksanakan, bahkan cenderung terlupakan.
Kondisi yang Diharapkan
Proses pembelajaran yang ideal tentunya memiliki keseimbangan antara materi pembelajaran dari sisi keluasan dan kedalamannya dibandingkan dengan waktu yang tersedia, dan kompetensi yang harus dicapai. Begitu juga, waktu yang tersedia seyogyanya mampu mengakomodasikan penyajian materi pembelajaran yang sistematis dan kontekstual, serta mengakomodasi partisipasi aktif siswa secara maksimal. Di samping itu, proses pembelajaran yang ideal tentu akan dapat menarik manfaat yang optimal dari perkembangan dan kemajuan bidang ilmu, teknologi, dan seni, misalnya melalui pengintegrasian informasi-informasi terkini sebagai bagian dari materi pembelajaran.
Waktu, lingkup materi, dan proses belajar
Guru dapat menyiasati materi yang terlalu luas dan waktu yang sempit dengan memilih materi pembelajaran dan ruang lingkup informasi keilmuan secara selektif, sehingga dapat menjamin relevansi materi yang dipilih dengan tujuan pembelajaran dan kompetensi siswa yang harus dicapai. Materi pembelajaran berdasarkan kurikulum 2013 adalah berbasis kompetensi, yang dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu materi pembelajaran yang harus dipelajari siswa untuk mendukung pencapaian kompetensi utama (“must learn or must know”), yang perlu dipelajari siswa untuk mendukung pencapaian kompetensi pendukung (“should learn or shoud know”), serta yang perlu dipelajari siswa untuk mendukung pencapaian kompetensi tambahan lain (“could learn or could know”).
Menyiasati masalah waktu, yang perlu dilakukan guru ialah merancang kompetensi yang akan dicapai menggunakan materi esensial yang dipilih, yaitu materi yang rinci dan dapat dipelajari siswa secara mandiri dalam konteksnya. Dengan demikian, waktu yang diperlukan hanya untuk berdiskusi dengan siswa tentang materi esensial dan strategi belajar mandiri. Materi yang lainnya – yang luas dan dalam untuk mencapai kompetensi, dapat dipelajari siswa secara mandiri.
Penyajian materi pembelajaran dan keterpaduan materi
Guru juga dapat memilah materi pembelajaran menjadi topik-topik yang tidak terlalu luas atau terlalu dalam untuk dicerna oleh siswa per sesi pembelajaran, kemudian menyajikan materi berdasarkan urutan tertentu, misalnya dari yang umum ke yang khusus, dari yang mudah ke yang sukar. Kesederhanaan penyajian dapat menjadikan substansi keilmuan yang bersifat kompleks dan rumit menjadi mudah dan jelas bagi siswa.
Proses pembelajaran dari berbagai topik tersebut dapat dilakukan secara terpadu dengan memberikan penjelasan tentang keterkaitan antarbagian atau keterpaduan materi pembelajaran. Dengan demikian, siswa memperoleh kejelasan tentang ruang lingkup, tujuan pembahasan, serta apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dengan mempelajari materi pembelajaran tersebut.
Sementara itu, dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, dan banyaknya siswa yang mampu memperoleh lebih banyak akses kepada sumber informasi dibandingkan guru, guru dapat mengakses sumber informasi bersama-sama dengan siswa untuk kemudian menyusun dan mengemasnya sebagai materi pembelajaran. Dengan demikian, guru tidak harus selalu berupaya sendiri mencari sumber informasi, dan dapat terjadi hubungan timbal balik yang positif dan saling mengisi antara guru dan siswa.
Pemilahan materi pembelajaran berkaitan erat dengan pemilihan buku ajar sastra. Pemilihan buku ajar perlu dilakukan dengan cermat supaya tidak terjadi pengulangan-pengulangan dengan menyesuaikan tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa, sekaligus mempertimbangkan perkembangan kesusastraan Indonesia. Pemilihan materi diupayakan mencakup berbagai bentuk sastra, mulai sastra lama (dongeng, hikayat, dsb), cerpen, novel, dan puisi.
Untuk memilih materi pembelajaran yang berkaitan dengan buku bahan ajar sastra harus melihat lima fakor. Kelima faktor tersebut, ialah: (1) mutu sastra dan daya tarik keterbacaan, (2) keselarasan dengan kurikulum, (3) mempresentasikan perkembangan kesusastraan Indonesia, (4) kandungan budaya dan nilai moral dan (5) perkembangan psikologi dan tingkat kompetensi membaca siswa.
Pemilihan materi pembelajaran sastra harus melihat kualitas teks sastra yang harus memiliki kriteria sastrawi atau estetika yang sanggup mengundang minat siswa. Untuk itu perlu diutamakan kanon-kanon sastra atau yang dianggap sastra puncak dalam periode tertentu.
Pemilihan materi harus diselaraskan dengan kebutuhan kurikulum. Pencapaian kompetensi dasar pada kurikulum harus bisa diimplementasikan secara nyata melalui pemilihan materi. Misalnya, apabila dalam kurikulum ada tunjtutan agar siswa dapat melakukan pertunjukkan drama, maka harus dipilih materi teks-teks drama yang memungkinkan dipentaskan dengan durasi yang terbatas.
Materi pembelajaran sastra harus dapat memberikan gambaran perkembangan sejarah sastra Indonesia. Untuk itu perlu disediakan teks-teks sastra yang mewakili tiap periode kesusastraan Indonesia, sejak sastra lama hingga sastra terkini.
Pembelajaran sastra di SMA, selain diarahkan pada ketrampilan, juga disasarkan untuk mebentuk karakter siswa. Untuk itu harus dipilih materi sastra yang mengandung nilai-nilai susila, moral, kebersamaan dan peninggian harkat kemanusiaan. Setiap materi harus berorientasi mengajak siswa menghormati dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan.
Pemilihan materi pembelajaran harus mempertimbangkan pula perkembangan psikologi dan kemampuan membaca siswa. Materi harus disesuaikan dengan usia siswa sesuai jenjang kelas. Jikalau harus ada materi yang mengandung filsafat, guru harus mendampingi dan mendiskusikan materi tersebut dengan bahasa yang lebih mudah dan komunikatif.
Jika materi pembelajaran telah diperoleh, dipilah, dipilih, dan disusun sesuai dengan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang harus dicapai siswa, maka guru diharapkan melakukan refleksi terhadap sejauh mana materi pembelajaran yang telah dikemas memenuhi kriteria-kriteria berikut ini:
Kriteria filosofis
Kriteria filosofis mengukur asumsi-asumsi teoretis dan metodologis materi pembelajaran berdasarkan hakikat bidang ilmu tertentu. Materi pembelajaran harus menjadi alat dan sarana untuk perkembangan kompetensi siswa, materi pembelajaran bukanlah tujuan akhir dari proses pembelajan. Materi pembelajaran untuk pendidikan dasar perlu mengintegrasikan faktor moral dan pertimbangan etis, bukan hanya sekedar pengetahuan teknis saja. Materi pembelajaran harus membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang bidang ilmu, bukan sekedar pengetahuan yang “superficial” saja.
Kriteria profesional
Kriteria profesional mengintegrasikan faktor-faktor kesahihan (legalitas) dan persyaratan profesional suatu bidang. Misalnya dalam profesi guru, tentu ada perundangan dan aturan yang berlaku, serta persyaratan minimal sebagai guru sebelum seseorang dapat disebut guru dan bekerja sebagai guru. Oleh karena itu, materi pembelajaran di LPTK perlu: menjamin ruang lingkup teori dan praktik yang dipersyaratkan untuk menjadi guru, serta menjamin ruang lingkup etika profesi yang dipersyaratkan sebagai guru.
Kriteria psiko-pedagogis
Kriteria psikologis berhubungan erat dengan teori dan asumsi tentang bagaimana seseorang belajar. Sehubungan dengan itu, materi pembelajaran yang dipilih harus/perlu: dipilah dan disusun menjadi serangkaian materi pembelajaran yang memungkinkan siswa memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam terhadap bidang ilmu; merefleksikan keterkaitan dengan latar belakang dan karakteristik awal siswa , serta kebutuhan dan minat siswa; sesuai dengan jenjang intelektual dan kematangan siswa; dapat mengakomodasikan keterkaitan dengan beragam pengalaman awal siswa; mendukung pencapaian keterampilan belajar tingkat tinggi (higher order learning) dan kreativitas siswa; memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sikap dan tata nilai, serta; dapat mebekali siswa, agar dapat belajar seumur hidup.
Kriteria praktis
Kriteria praktis berhubungan dengan kelayakan pembelajaran – terutama dalam hal dukungan sumber daya pembelajaran (termasuk media, ruangan/tempat, sumber daya teknis lainnya): materi pembelajaran hendaknya disusun dari berbagai sumber informasi, untuk mengakomodasikan keanekaragaman perspektif yang dapat memperkaya wawasan siswa; materi pembelajaran dikembangkan dan disusun dalam konteks ketersediaan sumber daya pendukung, seperti sumber di perpustakaan, sumber-sumber yang berkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi, teknisi dan operator, lingkungan belajar, — misalnya sekolah, tempat praktik, dll.
Setelah melakukan refleksi dengan kriteria-kriteria di atas, selanjutnya guru harus selalu memberi motivasi yang terus-menerus agar siswa selalu mau membaca sastra. Boleh dengan alat bantu lainnya, misalnya CD pertunjukkan, film yang skenarionya diambil dari buku sastra, dan berbagai cara lainnya.
*)Penulis adalah guru SMA Negeri 2 ngawi dan penyair yang tinggal di Ngawi



