Oleh : Septi Rusdiyana
Hari ini Dr Abigael ribut dengan Dr Bas, satu-satunya rekan di timnya yang masih bertahan. Abigael kesal, dia merasa Bas tidak memiliki pendirian. Atau mungkin sebenarnya Bas tidak pernah ingin mereka berhasil menuntaskan riset tentang operasi otak sebagai alternatif penyembuhan penyakit mental akibat trauma.
“Kita masih perlu mengkaji ulang,” kata Bas datar.
“Kamu tahu ini sudah kita lakukan ratusan kali,” sahut Abigael.
- Iklan -
Bas menuju kandang berisi 10 ekor tikus. Masing-masing telah diberi tanda. Ada 3 ekor dengan penanda bulat warna biru, yang tampak berbeda dari tikus lainnya. Mereka lebih tenang, bahkan saat Bas mencoba memasukkan ular mainan ke dalam kandang, ketiganya sama sekali tidak terlihat takut. Seekor masih tetap melanjutkan makan, dua ekor lainnya justru mendekat ke arah ular mainan, sedang tujuh ekor tikus sisanya lari menjauh.
“Kita hanya perlu menyampaikan kabar baik ini ke Prof Haris, maka kita akan bisa melanjutkan riset,” desak Abigael.
“Kita tahu otak adalah bagian paling vital. Jika perlu, kita bisa mengulang ribuan kali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan risiko yang muncul,” sanggah Bas.
“Tikus itu buktinya, Bas. Kita tidak merusak amigdala. Kita hanya memanipulasi neuron sel piramida yang terhubung di dalam amigdala. Dan kamu bisa melihat sendiri bagaimana tikus itu bereaksi terhadap ancaman dan trauma.”
“Aku tidak tahu. Aku hanya merasa ini belum saatnya.”
Abigael keluar dari laboratorium dengan kesal, meninggalkan Bas sendirian di sana setelah menyampaikan rencananya untuk tetap melaporkan hasil riset terakhir kepada Prof Haris.
Bas duduk di kursi kerjanya. Ingatannya tertuju pada masa-masa ia dan Abigael kuliah dulu. Ketertarikan Abigael pada dunia kedokteran dan ambisinya untuk membuat semua orang di dunia bahagia, adalah alasan ia bertahan bersamanya hingga detik ini. Bas merasa, di balik ambisi Abigael yang terlihat indah, masih kehilangan beberapa puzzle untuk membuatnya sempurna. Dan menurut Bas, dia harus tetap membersamai Abigael agar bisa mengontrolnya.
Suatu pagi, Prof Haris mengunjungi laboratorium tempat Bas dan Abigael bekerja. Setelah mengajukan banyak pertanyaan dan melihat langsung tikus-tikus yang sudah dimanipulasi, Prof Haris belum merasa yakin terhadap risiko jangka panjang bila hal itu dilakukan pada manusia. Bas sepakat dengan pendapat Prof Haris dan bermaksud menindaklanjuti dengan melakukan beberapa tindakan dan pengamatan ulang pada tikus-tikus tersebut.
Tapi Abigael menyanggah. Ia menjelaskan bahwa semua itu tidak akan berguna jika tetap dilakukan pada obyek yang sama. Ia membutuhkan persetujuan agar risetnya dilanjutkan dengan obyek manusia. Prof Haris tetap tidak setuju, dan itu membuat Bas merasa tenang. Namun, tanpa diduga, Abigael membuat pernyataan yang pada akhirnya mengubah pendirian Prof Haris.
“Saya yang akan menjadi obyeknya, Prof. Dan Bas yang akan melakukannya. Seluruh prosedur sudah kami susun dalam dokumen ini,” jelas Abigael sembari menyerahkan dokumen berisi prosedur operasi manipulasi amigdala.
Prof Haris menerima dokumen itu. Setelah membaca keseluruhan isinya, ia kembali menyerahkannya pada Abigael.
“Baik, lanjutkan risetnya,” perintah Prof Haris.
Abigael tampak sangat senang mendengarnya. Spontan ia memeluk Bas dan merasa bahwa apa yang selama ini menjadi harapannya akan terwujud. Orang-orang yang mengalami depresi atau penyakit mental lainnya tidak perlu lagi mengonsumsi obat-obatan yang bisa meningkatkan risiko efek samping terhadap ketergantungan atau bahaya pada organ tubuh lainnya. Abigael yakin, dengan bedah otak yang hanya cukup dilakukan sekali saja, mereka akan bisa sembuh dari trauma buruk.
“Hanya kamu harapanku, Bas. Mari kita lanjutkan,” kata Abigael.
Bas yang sebenarnya masih terlihat kecewa dengan keputusan Prof Haris, tidak mampu melakukan apa-apa kecuali mendukung Abigael. Namun, ia menolak untuk melakukan prosedur.
“Akulah yang akan menjadi obyeknya. Lakukan apa yang menurutmu benar. Aku percaya padamu,” kata Bas kemudian.
Abigael terkejut. Awalnya ia ragu. Namun melihat kesungguhan pada wajah Bas, ia akhirnya mengangguk. Ia berjanji pada Bas untuk melakukan tindakan sesuai prosedur yang sudah mereka sempurnakan.
Di hari yang telah ditentukan, Abigael dibantu dengan beberapa asisten Prof Haris, melakukan tindakan pada Bas. Operasi berjalan baik tanpa menimbulkan komplikasi. Bas ditempatkan di ruang khusus selama beberapa waktu untuk diobservasi. Abigael mengunjungi Bas setiap hari dan mencatat perkembangan Bas.
Bas pulih dengan cepat. Setelah satu tahun, tidak ditemukan masalah pada memori, agresivitas dan masalah kesehatan tubuhnya. Abigael melaporkan hasil risetnya itu kepada Prof Haris. Meski cukup puas dengan hasilnya, namun Prof Haris merasa perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut oleh psikiater untuk memastikan benar-benar tidak ada masalah pada Bas.
Abigael terlihat agak kurang senang, namun karena dia tidak memiliki kuasa menolak keputusan Prof Haris, mau tidak mau dia harus setuju untuk bekerja sama dengan psikiater guna melanjutkan risetnya.
Dr Ema adalah orang yang ditunjuk Prof Haris untuk membantu Abigael melakukan pengamatan lanjutan pada Bas. Bas sudah tidak lagi berada di ruang observasi. Bas menjalani hidup seperti biasa, bahkan kembali bekerja di laboratorium bersama Abigael. Melakukan beberapa riset kecil, serta tetap melakukan pengawasan pada tikus-tikus mereka. Dan Ema selalu berada di antara Bas dan Abigael.
“Apa yang kamu rasakan sekarang?” tanya Ema pada Bas suatu sore.
“Biasa saja,” jawab Bas pendek.
“Apa kamu bahagia?”
“Tentu saja. Kuharap aku terus baik-baik saja. Aku harus berterima kasih pada Abigael. Riset kami berhasil. Kini aku sudah tidak takut lagi sendirian.”
Di saat Ema bangkit hendak keluar, kakinya kesandung kabel. Refleks Ema menarik jas Bas dan membuat keduanya akhirnya jatuh ke lantai.
Mendengar suara seperti benda jatuh, Abigael yang saat itu baru akan masuk laboratorium, gegas membuka pintu. Ia terkejut mendapati Bas dan Ema duduk di lantai. Terlebih saat Abigael melihat darah keluar dari pipi Bas. Rupanya sebelum terjatuh, wajah Bas sempat membentur ujung meja.
“Kamu berdarah,” ucap Ema dan Abigael hampir berbarengan.
“O ya?” sahut Bas biasa saja.
Ema dan Abigael saling pandang.
“Apa kamu tidak merasa sakit?” tanya Ema.
Bas menggeleng.
Prof Haris memutuskan menghentikan riset Abigael dan Bas. Rupanya, kecelakaan yang menimpa Bas waktu itu, adalah petunjuk bahwa prosedur operasi manipulasi amigdala memberikan efek samping yang lebih membahayakan. Bas kehilangan respons tubuhnya terhadap rasa sakit. Hal itu tentu bisa mengancam keselamatan Bas jika kecelakaan yang lebih buruk menimpanya.
Abigael merasa sangat terpuruk. Ambisinya untuk menghilangkan depresi dan ketergantungan obat pada penderita, justru telah mengantarkan sahabatnya pada ancaman baru yang lebih mengerikan. Bas memang sudah tidak lagi takut sendiri, tapi Bas tidak akan bisa ditinggalkan sendirian. Apa pun bisa saja terjadi.
Abigael berjalan mendekat pada kandang, mengamati tikus-tikus di dalamnya. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ketiga tikus dengan tanda warna biru, mati dengan tubuh yang sudah tidak lagi utuh akibat mereka lupa tidak memberi makan tikus-tikus itu selama 2 hari. “Aku adalah seorang monster,” gumam Abigael. Matanya telah basah.***
Septi Rudiyana, Ibu rumah tangga, yang tinggal di Yogya. Penyuka cerpen.