Oleh: Tjahjono Widarmanto
I
Persoalan tak hadirnya kritik sastra secara optimal dalam pertumbuhan sastra Indonesia merupakan permasalahan yang sudah menjadi klise. Sungguh pun demikian, persoalan tentang tidak optimalnya kritik dalam konstelasi sastra Indonesia harus selalu diungkit untuk selalu mengingatkan bahwa kritik sastra diperlukan dalam tatanan perkembangan sastra.
Seperti kita ketahui, ranah ilmu sastra atau dimensi studi sastra mencakup sejarah sastra, teori sastra, kritik sastra, dan perbandingan sastra. Empat ranah studi sastra tersebut menjadi elemen-elemen penting dalam tatanan dan pertumbuhan sastra. Elemen-elemen dari studi teori sastra, studi sejarah sastra, studi kritik sastra, dan studi perbandingan sastra tidak hanya membangun sebuah bangunan yang utuh pada perkembangan kesusastraan di suatu negara, tetapi juga menunjukkan adanya kesinambungan historika kesusastraan sejak masa tumbuhnya sampai pada situasi kontemporer yang menjadi bahan primer sebagai rujukan dalam mengontruksi perkembangannya di masa depan.
- Iklan -
Keterpautan ini berangkat dari realita, bahwa sastra di sebuah negara bukanlah merupakan koleksi-koleksi seni aksara atau seni tulisan personal, melainkan, meminjam istilah dari TS. Eliot, merupakan sebuah organic wholes atau keseluruhan organic yang merupakan sebuah sistem-sistem yang berpilin dan berkelindan satu dengan yang lain. Tulisan-tulisan atau teks-teks tersebut tidak lagi mewakili personal para pengarangnya tetapi menjadi sebuah sistem yang berkaitan untuk membentuk sebuah “struktur” yang disebut sebagai sastra nasional. Sehingga sebenarnya kalau disempitkan dalam ranah sastra Indonesia, maka yang disebut sebagai sastra Indonesia tidak lagi merujuk pada individual-individual, melainkan merujuk pada keseluruhan yang sudah menjadi bagian dari sastra Indonesia.
Siapakah yang berperan dalam mengontruksi struktur bangunan yang utuh, yang kita sebut sebagai sastra Indonesia itu?
Jawabannya tak lain adalah kritikus. Itu berarti kehadiran kritik sastra menjadi bagian sangat penting dalam menampilkan wajah sastra Indonesia secara utuh. Tanpa kehadiran kritik sastra, kita hanya akan melihat sastra Indonesia tidak secara utuh, hanya parsial belaka, sehingga sastra Indonesia hanya tampak sebagai bangunan yang compang-camping.
II
Kritik sastra menjadi penting karena dalam kritik tersebut selalu bermula dengan penafsiran. Penafsiran berarti merupakan penjelasan rinci yang menunjukkan bagian-bagian sastra yang tidak terpahami pada saat sastra itu muncul atau setelahnya. Teks-teks sastra karena merupakan bentuk seni dengan media aksara, seperti juga seni yang lain, memiliki peluang menjadi “komunikasi yang terputus” dengan para penikmatnya. Situasi “komunikasi yang terputus” ini merupakan sebuah kewajaran karena bagaimanapun sastra sebagai seni memiliki otoritas estetika yang otonom, yang tidak setiap penikmat mampu memahaminya. Sebagai seni yang personal, sastrawan juga memiliki sololukui atau cakapan batin yang subjektif saat menafsir konteks dan mewujudkannya dalam karya sastra. Cakapan batin dan tafsir konteks ini memungkinkan terciptanya jarak dengan penikmatnya. Dalam situasi keterputusan komunikasi inilah, maka peran kritik sastra menjadi vital.
Sastra seperti juga seni yang lain memang memiliki tujuan-tujuan yang berorientasi pada penikmatnya. Mustahil, seni tidak “menghamba” pada penikmat. Namun, takdirnya sebagai seni yang sangat personal, yang memiliki otoritas estetika yang otonom menjadikannya tak hanya melayani hasrat penikmatnya, tetapi pun memuaskan hasrat-hasrat subjektifnya sebagai seniman. Hasrat-hasrat subjektifnya inilah yang boleh jadi menjadikan jurang antara sastra dan penikmatnya. Peran kritik sastra adalah menunjukkan pertalian antara hasrat personal-subjektif dengan hasrat “melayani” pembacanya.
Tak hanya sebagai juru tafsir, kritik sastra harus mampu menunjukkan fungsi sastra yang memiliki kemanfaatan pada penikmatnya. Pada situsi inilah kritik sastra berfungsi menampilkan nilai-nilai tersembunyi dan tujuan-tujuan implisit yang disembunyikan dalam balutan-balutan estetika. Sehingga pada akhirnya tidak sekedar menafsir tetapi juga sebagai penyambung lidah dalam menyampaikan nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra.
Kritik sastra juga tidak sebatas bertugas tidak hanya mengurangi keterputusan komunikasi antara karya sastra dengan pembacanya. Kritik sastra juga berperan menjelaskan estetika-estetika yang terbangun dalam intrinsik karya sastra. Kritik sastra dalam posisi ini bisa menjustifikasi keberadaan estetika-estetika yang dibangun sastrawannya sekaligus mengoreksi. Kritik sastra harus menampilkan argumen-argumen yang kuat untuk menjustifikasi atau menunjukkan argumen-argumen yang bernas dalam mengevaluasi keunikan estetika yang terbangun.
Tak kalah pentingnya, kritik sastra membuka peluang adanya komparasi sekaligus keterkaitan sebuah karya sastra dengan karya sastra lain dalam tradisi penulisan sastra sebelumnya maupun dengan yang sezaman. Kritik sastra yang cemerlang harus mampu menunjukkan bahwa tradisi penulisan sastra saat ini merupakan rajutan dari tradisi sastra sebelumnya. Dari menampakkan keterpautan ini, maka kritik sastra tidak mustahil dapat memprediksi eksistensi sastra di masa mendatang. Kritik sastra yang melakukan komparasi sekaligus menautkan sebuah karya sastra dengan karya sastra lain yang sezaman atau lintasan zaman sebelumnya akan dapat memberikan sumbangsih yang besar dalam merekonstruksi sejarah sastra.
Kritik sastra tidak boleh terjebak hanya menyibukkan diri dalam kerja memuji atau menyingkap keburukan atau kelemahan sebuah karya sastra. Kritik sastra tidak boleh menjadi “tuhan” yang menghakimi secara mutlak “dosa-dosa” sebuah karya sastra. Penilaian memang menjadi salah satu instrument dalam kritik sastra, tetapi bukan sebuah otoritas yang mutlak dan tidak terbantahkan. Penilaian dalam kritik sastra tidaklah sebuah vonis, tetapi lebih menjadi sebuah penawaran yang berimbang.
Yang terpenting, kritik sastra harus menjadi pintu upaya dalam menunjukkan bagaimana kesusastraan memiliki keterikatan dan keterkaitan dengan konteks situasi kemasyarakatan sekaligus menampakkan ekspresi individu dalam gebalau sosialnya. Pada posisi paling penting inilah kritik sastra memiliki fungsi mempertautkan sastra dengan disiplin pengetahuan dan seni yang lain. Misalnya menunjukkan tautan sastra dengan sejarah, ekologi, ekonomi, dan sebagainya, sehingga mengukuhkan argument bahwa sastra tak sekadar rekreasi belaka.
III
Akhirnya, paparan di atas kembali mengingatkan betapa daruratnya perkembangan kesusastraan tanpa kritik sastra yang memadai. Situasi yang mencemaskan seperti sebuah kapal yang berlayar di samudera luas tanpa kompas dan peta! Karam menunggunya!
*) Penulis adalah sastrawan, guru SMA 2 Ngawi, dan esais.