Oleh S. Prasetyo Utomo
DUNIA pendidikan telah lama menjadi obsesi penciptaan penyair. Tentu saja para penyair menyingkap realitas perkembangan pendidikan kita dari berbagai sudut pandang, yang menjelma beberapa tafsir. Dari beberapa puisi yang berobsesi pada dunia pendidikan, saya memilih lima yang mewakili pandangan penyair dari kurun waktu berbeda. Lima puisi ini dicipta dengan intensitas perenungan untuk menyingkap hakikat pendidikan. Saya tertarik pada lima puisi yang mengekspresikan ketajaman visi penyair untuk menyingkap pergeseran spiritualitas pendidikan dalam dinamika budaya.
Kelima puisi itu adalah “Guru dan Murid” karya Sutrisno Martoatmojo, “Mata Pelajaran Sanu, Sang Guru” karya Motinggo Busye, “Pak Guru Acil” karya Saini K.M., “Pelajaran Tata Bahasa dan Mengarang” karya Taufiq Ismail, dan “Sajak Palsu” karya Agus R. Sarjono. Keunikan sudut pandang menjadi kekuatan para penyair untuk menyingkap persoalan pendidikan yang berhadapan dengan spiritualisme, transendesi, dan sekularisme. Kelima penyair ini memiliki ketajaman intuisi yang berbeda tentang pendidikan dan kepalsuan-kepalsuan yang menyelubunginya.
- Iklan -
Dengan kekuatan visi, kelima penyair ini mencipta keluhuran makna pembebasan pendidikan dari kungkungan kultur dan hegemoni kekuasaan. Berkembanglah tafsir penyair tentang kedok-kedok kepalsuan pendidikan. Saya terkesima dengan pandangan otentik penyair seperti Agus R. Sarjono untuk menemukan pengucapannya sendiri terhadap kedok kepalsuan dalam selubung dunia pendidikan.
***
DALAM puisi “Guru dan Murid” karya Sutrisno Martoatmodjo, pengabdian guru, secara transenden, menjadi pembebas murid dari jiwa budak dan perilaku munafik. Guru berperan sebagai pembebas jiwa murid. Guru menyerahkan jiwa raga untuk kebahagiaan murid di hadapan Sang Pencipta. Seutuh penuh, guru menghayati spiritualitas murid, dan segala kehidupannya dipertaruhkan untuk kebahagian para murid: Guru, pembebas murid dari jiwa budak dan munafik/ membuat murid bebas merdeka jiwa/ dengan taruhan “menyerahkan nyawa” tebusan/ demi kebahagiaan para muridNya// Guru, hidup menghayati murid, untuk murid/ Bersama sama murid “Hing madya mangun karsa//. Dalam larik puisi selanjutnya dikisahkan bahwa guru merupakan manusia yang mengabdi, memiliki jiwa pemimpin yang penuh tanggung jawab dan berprinsip kerakyatan sejati.
Berbeda dengan Sutrisno Martoatmodjo, Motinggo Busye lebih menekankan solilokui, dialog batin dalan diri siswa untuk menemukan kearifan hidup. Dalam puisi “Mata Pelajaran Sanu, Sang Guru” penyair menghadirkan solilokui batin siswa dengan meditasi, melupakan ruang dan waktu. Dialog batin itu diarahkan untuk menyingkap segala rahasia hati, untuk mengakui kedok-kedok yang menopengi perilaku manusia. Dusta-dusta yang mengendap dalam batin siswa menjelma menjadi penderitaan: O, Murid, sempurnakan dudukmu dalam sila/ pejamlah mata sesaat yang panjang/ lupakan waktu, keadaan dan ruang/ Kini tataplah siapa di hadapanmu/ Bukankah itu engkau sendiri?/ Kini bicaralah kepadanya/ Sesuka hati/ Dan tanyakan padanya segala rahasia/ Dan mengakulah/ Tentang dusta-dustamu yang sudah menahun/ sehingga ia menjadi Raja/ Raja ribuan penyakit di tubuhmu yang merana//.
Dengan norma yang lebih menyentuh realitas pendidikan, Saini K.M. menulis puisi “Pak Guru Acil”. Penyair mengangkat realitas bahwa kehidupan seorang guru mesti dijalani dengan pengorbanan. Meskipun gedung sekolah sederhana, guru dalam keadaan lapar, ia tetap bersemangat membuka cakrawala pengetahuan dan kesadaran masa depan murid-muridnya: Bagai pohon ranggas pada usia dua delapan/ Guru Acil tegar berdiri di depan kelas/ Dengan sabuknya ia kendalikan perut lapar/ yang sudah menggerutu pada pukul sebelas// “Anak-anak, buka mata dan lihat dunia!” serunya/ pada para siswa yang berjajar duduk/ di kelas berlantai dan beratap ijuk/ “Anak-anak, kuajar kalian menulis masa depanmu.”// .
Satire terhadap peran guru saat berhadapan dengan kekuasaan dilakukan Taufiq Ismail dengan puisi “Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang”. Kritik terhadap pemerintah menjadi sebuah tindakan yang ditabukan dalam hegemoni kekuasaan. Karena itu, penyair melakukan permainan konstruksi kalimat dan diksi untuk melakukan penyingkapan-penyingkapan ambiguitas, dusta, dan paradoks kritik terhadap kekuasaan: “Mengeritik itu boleh, asal membangun/ Membangun itu boleh, asal mengeritik/ Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun/ Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak/ Membangun mengeritik itu boleh asal/ Mengeritik membangun itu asal boleh/Mengeritik itu membangun/ Membangun itu mengeritik/.
Penyingkapan kedok-kedok, dusta, dan kepalsuan yang dilakukan pendidik dan murid, secara tajam ditulis Agus R. Sarjono dalam puisi “Sajak Palsu”. Dunia pendidikan telah menebar kultur dusta, perilaku palsu, dan kebahagiaan semu, justru melalui interaksi pembelajaran guru-murid di ruang kelas. Penyair mencipta satire yang tajam tentang para siswa yang diperlakukan sebagai komoditas pendidikan palsu dengan berlapis-lapis dusta: Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah/ dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar/ Sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah/ mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka/ yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah/ mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru/ untuk menyerahkan amplop berisi perhatian/ dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu/.
***
SATIRE yang diekspresikan Taufiq Ismail dan Agus R Sarjono membedakan pandangan mereka tentang dunia pendidikan yang disakralkan. Saya mengklasifikasikan empat pandangan penyair terhadap pendidikan. Pertama, pandangan penyair Sutrisno Martoatmodjo dan Motinggo Busye yang memanfaatkan diksi untuk menciptakan spritualitas, bahkan hal-hal yang transenden dalam dunia pendidikan. Kedua, penyair Saini K.M. yang melihat pengorbanan guru dalam melaksanakan dedikasinya sebagai pendidik. Ketiga, penyair Taufiq Ismail yang melihat guru tak sanggup menghayati peran sebagai agen pembaruan ketika berhadapan dengan hegemoni kekuasaan. Keempat, penyair Agus R. Sarjono yang mencipta satire tentang peran komoditas palsu dalam dunia pendidikan, yang merasuk dalam atmosfir budaya konsumeris sehari-hari.
Kelima penyair ini menyampaikan tafsir tentang pendidikan untuk mencipta dialog batin tentang pembebasan jiwa yang merdeka dalam pendidikan. Puisi mereka mengekspresikan sudut pandang penyair tentang pergeseran pendidikan dari sesuatu yang bersifat spiritual ke arah komoditas sekuler. Kelima penyair ini sedang menarik kita – dengan kekuatan diksi masing-masing – untuk berdialog batin, dan menemukan kearifan pendidikan. Hanya saja, puisi Agus R. Sarjono menghujat kita betapa rapuh kaum pendidik mutakhir berhadapan dengan komoditas sekuler yang terselubung dusta dan kepalsuan.
***
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.