Oleh : Iis Narahmalia
Dalam proses perjalanan waktu yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi, momentum signifikan yang diperingati setiap 2 Mei pada hari Pendidikan Nasional tak lain adalah merujuk saat kelahiran Bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Peringatan tersebut bukan hanya sekadar seremonial, namun ekspetasinya dapat memberikan ruang bagi segenap bangsa Indonesia untuk merefleksikan hakikat dan upaya kolektif hari bersejarah tersebut dalam tataran praksis.
Dalam hal ini, spirit keteladanan yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara sering dikenal dengan ajaran triloka. Apabila dikaji secara akuratif dalam ajaran triloka tersebut terdiri dari tiga unsur utama yang sangat elementer yaitu ing ngarsa sung tuladha (manakala di depan bisa memberi teladan), ing madya mangunkarsa (pada saat di tengah memberi bimbingan), dan tut wuri handayani (ketika di belakang memberi dorongan). Ajaran triloka yang dikenal sampai saat ini, mengandung pemahaman akan nilai keutamaan guru sebagai agen perubahan yang masih sangat relevan di tengah dinamika kehidupan, walaupun zaman sudah mengalami transformasi silih berganti (Faizin et al., 2023, p. 11).
Pada hakikatnya pendidikan akan terus berkembang sesuai dengan dinamika zaman. Elaborasi pendidikan tidak bisa lepas dari pengembangan kurikulum yang diterapkan. Saat ini berlangsung elaborasi kurikulum yang signifikan melalui program merdeka belajar yang digulirkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Anugrah, 2023). Sudah saatnya semua elemen pendidikan bergerak untuk menyesuaikan diri dengan program ini demi kemajuan pendidikan. Konsep pendidikan yang diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara memiliki ruh atau sesuai dengan perkembangna zaman. Konsep tersebut ialah : ajaran-ajaran Tamansiswa (sistem among, Tri-N, Tri-Nga, asah-asih-asuh, Ing-ing-Tut, tetep-mantep-antep, kodrat alam, ngandel-kendel-bandel-kandel. Konsep tersebut dapat dijadikan filter atau pegangan dalam membangun karakter pesertadidik dengan kondisi perkembangan zaman yang terjadi.
- Iklan -
Dalam kurikulum merdeka, peran guru dapat lebih kreatif untuk berinovasi dalam memberikan materi pembelajaran yang tidak terbelenggu oleh regulasi kaku. Para guru sekarang banyak memanfaatkan platftorm Merdeka Mengajar untuk berbagi dan berkarya dengan gagasan-gagasan inovatif. Sedangkan para peserta didik dapat belajar dengan nyaman karena dinilai secara holistik sesuai potensinya baik itu intelektual, emosional, fisik, sosial, estetika, maupun spiritual.
Sistem Among, Kiblat Konsep dalam Merdeka Belajar
Konsep dalam Merdeka Belajar tersebut juga terinspirasi oleh ajaran triloka yang digagas Ki Hadjar Dewantara. Di sini Merdeka Belajar disebut Sistem Among dengan menitikberatkan pada potensi dan bakat peserta didik. Berdasarkan etimologinya, Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang mengandung maksud mengasuh atau membimbing. Dalam Sistem Among ini, unsur asah, asih, asuh amat kuat untuk mengantarkan agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang jiwa kemerdekaannya.
Hal tersebut sejalan dengan konsep pendidikan yang menumbuhkan cipta (logika), rasa (seni, filsafat, sastra), dan karsa (perbuatan) (Fajri & Trisuryanti, 2021, p. 9). Dalam implementasi Sistem Among, setelah peserta didik mampu menguasai ilmu pengetahuan, mereka didorong untuk menerapkan dalam kehidupan bermasyarakat dengan berpedoman pada prinsip cipta, rasa, dan karsa.
Dalam Sistem Among ini, guru juga perlu memiliki pemikiran untuk selalu bertumbuh dan belajar sepanjang hayat. Guru juga perlu untuk selalu menyegarkan dan mengelaborasikan pengetahuan yang dimiliki. Sudah dapat dipastikan akan ketinggalan kereta kalau guru hanya terpaku pada pengetahuan yang dimiliki ketika masih kuliah. Dinamika ilmu pengetahuan dalam hitungan hari melaju pesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Pengetahuan saat ini mudah didapatkan hanya dalam genggaman gawai. Kalau guru tidak segera menyesuaikan diri, tentu nantinya dalam tataran praksis saat mengajar akan kerepotan sendiri.
Wejangan Ki Hajar Dewantara, Sebagai Konsep Penanaman Pendidikan Karakter
Dalam pengembangan kebudayaan, instansi pendidikan diharapakan menggunakan teori TRIKON yang merupakan kependekan dari istilah kontinyu, konvergen dan konsentris. Teori TRIKON disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia.
Pertama, kontinu artinya dalam melestarikan kebudayaan asli Indonesia kita harus terus menerus dan berkesinambungan. Di sisi lain kebudayaan juga dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan jaman.
Kedua, konvergen artinya dalam upaya mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia kita dapat memadukan dengan kebudayaan asing yang dipandang dapat memajukan bangsa Indonesia. Dalam memadukan itu (konvergensi) dilakukan dengan memilih dan memilah kebudayaan yang sesuai dengan kepribadian Pancasila (selektif) dan pemaduannya harus secara alami dan tidak dipaksakan (adaptatif).
Ketiga, konsentris artinya dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia kita harus berusaha menyatukan kebudayaan nasional kita dengan kebudayaan dunia (global) dengan catatan harus tetap berpegang pada ciri khas kepribadian bangsa Indonesia (berdasarkan Pancasila)(Witasari, 2022, p. 10).
Selain menerapkan konsep di atas, pendidikan harus berjalan dengan konsep Tri N (Niteni, Niroke, Nambahi). Niteni dapat berarti menelaah atau memahami yaitu mahasiswa harus dapat melaksakan pembelajaran tersebut, Niroke berarti menirukan yaitu mahasiswa harus dapat melaksanakan pembelajaran seperti yang diajarkan, nambahi berarti menambahkan siswa/mahasiswa harus mampu kreatif dalam hal pembelajaran dan kreatifitas lainya.
Dengan Bebas dari Segala Ikatan dan Suci Hati Berhambalah kepada Sang Anak. Penghambaan kepada Sang Anak (siswa/mahasiswa) tidak lain daripada penghambaan kita sendiri dengan meningkatkan kualitas diri (dosen/pamong). Sungguhpun pengorbanan kita itu kita tujukan kepada siswa/mahasiswa, tetapi yang memerintahkan kita sendiri.
Tetep, Mantep Antep. Tetep ati tekun belajar dan bekerja, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Kita harus mantep setia dan taat pada asas, teguh iman hingga tak ada yang dapat menahan gerak atau membelokkan(Faizin et al., 2023, p. 8). Antep berat berisi atau berkualitas dan berharga, tidak dapat dihambat, ditahan dan dilawan oleh orang lain. Menerapkan konsep Tri Sakti Jiwa – Cipta, Rasa, dan Karsa – bahwa pembelajaran diharuskan mengembangkan kreativitas siswa/mahasiswa yang merefleksikan keseimbangan antara kognitif, afektif dan psikomotorik.
Selain itu, konsept Tri Pantangan, meliputi pantang menyalahgunakan keuangan, jabatan dan pantang melanggar kesusilaan. (tahan banting/tidak mudah putus asa, kandel (tebal imanya/religius). Suci Tata Ngesti Tunggal – dengan suci hati ikhlas dan tidak disertai pamrih pribadi, secara tertib dan berdisiplin, untuk mencapai persatuan dan kebahagian yang sempurna. Konsep tersebut menjadi landasan jiwa kepemimpinan yang baik untuk mengemban amanah yang didapat. Sehingga siswa/mahasiswa mempunyai budi pekerti luhur dan menjadi pribadi yang tertib damai, salam(keselamatan) dan bahagia.
-Alumni Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung