Oleh Hamidulloh Ibda
Saat ini kita patut prihatin jika melihat fenomena umpatan dan kesantunan berbahasa pada anak-anak yang kian menurun. Berbagai macam argumen menyatakan bahwa ini semuanya adalah efek media sosial. Hemat saya tidak sepenuhnya, karena karakter anak pada dasarnya adalah imitasi (meniru). Nah, bergantung apa yang ditiru. Jika tidak pernah mengonsumsi media sosial, namun dalam berbahasa yang ditiru adalah komunitas atau orang-orang yang berbahasa kasar ya bisa jadi seorang anak yang kasar.
Selain soal kesantunan dalam kacamata sosiolinguistik, kita melihat kerusakan bahasa pada anak dalam kacamata psikolinguistik atau linguistik. Banyak sekali problem pada anak yang tidak kita sadari bahwa mereka mengalami gangguan atau masalah dalam berbahasa setiap hari. Namun, apakah dari kita semua paham akan hal itu? Belum lagi soal umpatan yang tiap hari kita selintas mendengar dengan jelas dan tidak jelas dari anak-anak.
Umpatan dalam Komunikasi
- Iklan -
Soal umpatan, ini menjadi bagian dari fokus riset saya sejak 2017. Umpatan pada intinya merupakan kata-kata atau ungkapan yang digunakan untuk mengeluarkan kekesalan, frustasi, atau amarah terhadap seseorang atau situasi tertentu. Umpatan sering kali berisi kata-kata kasar, tidak sopan, atau menghina. Umpatan bisa digunakan sebagai bentuk ekspresi emosi negatif, tetapi juga dapat dianggap sebagai perilaku yang tidak pantas atau tidak sopan dalam banyak konteks sosial.
Umpatan sering kali diucapkan dalam keadaan marah atau tidak puas dengan seseorang atau sesuatu. Meskipun beberapa orang mungkin menggunakan umpatan secara spontan atau sebagai bagian dari percakapan sehari-hari, penting untuk diingat bahwa penggunaan kata-kata yang kasar atau tidak pantas bisa melukai perasaan orang lain dan merusak hubungan interpersonal.
Penting untuk menjaga sikap yang sopan dan menghindari menggunakan umpatan dalam komunikasi sehari-hari. Sebagai gantinya, ada banyak cara yang lebih konstruktif untuk mengungkapkan ketidakpuasan atau frustasi kita terhadap sesuatu tanpa melibatkan umpatan atau kata-kata yang tidak pantas. Contoh umpatan khas Semarang ya “ndes, celeng, asu,” dan lainnya. Begitu pula umpatan khas daerah lain juga beragama.
Kerusakan Berbahasa
Secara konseptual, kerusakan dalam berbahasa erat berkaitan dengan masalah atau kecacatan dalam komunikasi verbal. Pertama, masalah semantic. Hal ini terjadi ketika ada kesalahpahaman dalam arti kata atau frasa yang digunakan. Orang tersebut mungkin menggunakan kata atau frasa dengan makna yang salah atau tidak sesuai konteks. Semisal dengan menggunakan kata “sensitif” untuk menggambarkan seseorang yang merasa terhina, padahal sebenarnya “sensitive” berarti mudah terpengaruh oleh perasaan atau perubahan.
Kedua, kekeliruan pragmatik. Hal ini terjadi ketika ada kesenjangan antara apa yang sebenarnya dikatakan dengan apa yang dimaksudkan atau dipahami oleh lawan bicara. Kekeliruan pragmatik sering kali terjadi karena perbedaan dalam latar belakang budaya, pengetahuan, atau pemahaman konteks sosial. Seperti contoh, menjawab “boten napa-napa” atau dalam Bahasa Indonesia ya “tidak apa-apa” ketika sebenarnya merasa tidak nyaman dengan situasi yang sedang terjadi.
Ketiga, kekurangan kosakata. Hal ini terjadi ketika seseorang memiliki keterbatasan dalam penggunaan kata-kata atau padanan kata dalam bahasa. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengungkapkan ide atau gagasan secara tepat. Semisal menggunakan kata-kata umum dan sederhana untuk menggambarkan konsep yang kompleks atau abstrak.
Keempat, kekeliruan gramatikal: Ini terjadi ketika seseorang membuat kesalahan dalam struktur atau tata bahasa. Contohnya, penggunaan kata benda jamak sebagai kata tunggal atau penggunaan bentuk kata kerja yang salah. Misal anak mengucapkan “tujuh ekor sapi menendang keranjang”, seharusnya “tujuh ekor sapi menendang keranjang-keranjang”.
Kelima, ini kesalahan umum yaitu kesalahan pengucapan. Hal ini terjadi ketika seseorang salah dalam mengucapkan kata-kata atau bunyi-bunyi tertentu dalam bahasa. Hal ini dapat disebabkan oleh kekurangan dalam kemampuan fonetik atau ketidakfamiliaran dengan suara-suara dalam bahasa tertentu. Seperti contoh anak mengucapkan “mana” sebagai “ana”, “papa” menjadi “apa”, “zombie” menjadi “ombi”, “baju” menjadi “aju” dan yang lain. Ini contoh pada anak saya sendiri.
Kerusakan dalam berbahasa dapat mempengaruhi pemahaman dan kesempatan seseorang dalam berkomunikasi dengan efektif. Akan tetapi dengan latihan dan upaya yang tepat, sebagian besar kerusakan dalam berbahasa dapat diperbaiki.
Kesantunan Berbahasa Anak
Umpatan dan kerusahakan berbahasa, banyak pakar bahasa menyebut bahwa solusinya dibutuhkan kesantunan berbahasa. Dalam konteks ini, kesantunan berbahasa adalah hal penting yang harus diajarkan kepada anak-anak. Terdapat sejumlah prinsip kesantunan berbahasa yang dapat diterapkan kepada anak. Pertama, menggunakan bahasa halus, sesuai usia dan perkembangannya. Kedua, mengucapkan salam. Ajarkan anak untuk selalu mengucapkan salam saat berbicara dengan orang lain. Ini adalah tanda penghormatan dan sopan santun dalam budaya kita.
Ketiga, menggunakan kata-kata sopan. Dorong anak untuk menggunakan kata-kata sopan dalam percakapan sehari-hari. Ajarkan mereka untuk menggunakan kata-kata seperti “tolong,” “terima kasih,” “maaf,” dan “permisi” dengan tepat. Keempat, menghormati pendapat orang lain. Kita harus mengajarkan anak untuk menghormati pendapat orang lain, meskipun mereka tidak setuju. Dorong mereka untuk berbicara dengan sopan dan mengemukakan pendapat dengan cara yang tidak menyinggung perasaan orang lain.
Kelima, menghindari kata-kata kasar dan menghina. Jelaskan kepada anak tentang pentingnya menghindari penggunaan kata-kata kasar dan menghina orang lain. Ajarkan mereka untuk mengungkapkan pendapat dengan cara yang membangun dan tidak menyakiti perasaan orang lain. Keenam, menjaga volume suara. Ajarkan anak untuk menjaga volume suara mereka agar tidak terlalu keras atau terlalu lemah saat berbicara. Dorong mereka untuk berbicara dengan suara yang cukup jelas agar orang lain dapat mendengar dengan baik.
Ketujuh, mendengarkan dengan baik. Ajarkan anak untuk mendengarkan dengan baik saat orang lain berbicara. Dorong mereka untuk tidak memotong pembicaraan orang lain dan memberikan perhatian penuh saat berinteraksi. Kedelapan, menggunakan bahasa tubuh yang sopan, Dorong anak untuk menggunakan bahasa tubuh yang sopan, seperti menjaga sikap tubuh yang tegap, menghadap orang yang sedang diajak bicara, dan menghindari gerakan yang mengganggu atau tidak pantas. Kesembilan, meminta izin dan menegaskan permisi. Ajarkan anak untuk meminta izin sebelum menggunakan barang milik orang lain atau sebelum melakukan sesuatu yang dapat memengaruhi orang lain. Ini termasuk meminta izin untuk meminjam mainan, memasuki ruangan seseorang, atau mengambil sesuatu.
Kesepuluh, menghargai privasi orang lain. Ajarkan anak untuk menghormati privasi orang lain. Jelaskan kepada mereka bahwa tidak semua pertanyaan harus diajukan dan beberapa hal mungkin lebih baik untuk tidak disinggung. Kesebelas, menghargai waktu orang lain. Ajarkan anak tentang pentingnya menghargai waktu orang lain. Dorong mereka untuk tidak membuat orang lain menunggu terlalu lama dan menghargai janji atau waktu yang telah disepakati.
Prinsip di atas hanya sekadar tawaran. Pembaca tentu memiliki banyak pengalaman yang bisa diterapkan. Dengan mengajarkan prinsip-prinsip ini kepada anak-anak, mereka akan belajar untuk berkomunikasi dengan sopan, menghargai orang lain, dan menciptakan hubungan yang baik dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana menurut Anda?
– Dosen Mata Kuliah Pembelajaran Sastra Anak Program Studi PGMI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan INISNU Temanggung