oleh Abdul Wachid B.S.
Jika ahli sastra Indonesia dari Jerman Berthold Damshauser mempertanyakan, puisi Indonesia kehilangan sajak? dan karenanya, puisi Indonesia miskin estetika sebagai sajak yang memperhitungkan irama bunyi di dalam berbahasa (Jurnal Sajak, No.2, Tahun 2011); jawabannya, boleh jadi iya, ataukah justru tidak.
- Iklan -
Di Hall Universitas Ahmad Dahlan Jalan Pramuka Yogyakarta Rabu malam 12-12-2012, didiskusikan buku puisi saya yang berjudul Kepayang. Boleh jadi, kritik dari sastrawan Joni Ariadinata juga dilandasi oleh spirit yang sama, bahwa “puisi ziarah” dan “puisi silaturrahmi” karya saya justru terjebak kepada persoalan “Kata-kata yang oleh Sapardi Damono harus dihindari jika karya itu akan layak disebut sebagai puisi”.
Saya berterimakasih kepada saudara saya, Joni Ariadinata, atas masukan-masukan tersebut, yang boleh jadi benar adanya.
Menyikapi Puisi dan Sajak
Puisi dan sajak dalam pemakaiannya pada akhirnya memang harus dibedakan. Jika kata “puisi” dan “sajak” diberi awalan dan akhiran “per” dan “an”, maka menjadi “perpuisian” dan “persajakan”. “Perpuisian” dapat dikatakan sebagai keseluruhan dari hal-ikhwal yang disampaikan oleh seorang penyair di dalam puisinya melalui kekhasan poetika yang dibangunnya. Sementara itu, “persajakan” merupakan irama bunyi di dalam puisi.
Memang, “persajakan” merupakan hal yang niscaya ada di dalam tiap perpuisian, yang membedakannya dengan “prosa”. Akan tetapi, di suatu bangsa bila dibandingkan dengan bangsa lain di dalam menyikapi “persajakan” tentu beda-berbeda antara satu dengan lainnya. Uniksitas “persajakan” dari sama-sama puisi klasik misalnya, “gurindam” dengan “pantun” saja, adalah dua hal yang berbeda, apalagi jika hal itu sudah menyangkut tentang selera irama bunyi suatu bangsa di dalam menyikapi poetika suatu puisi.
Memang, “persajakan” dan estetika yang dibangun melalui bahasa itu adalah hal yang penting di dalam puisi. Akan tetapi, setiap penyair memiliki bangunan sendiri-sendiri, yang hal itu pada akhirnya disebut sebagai masing-masing poetika keseorangan dari penyair tersebut. Hal itu menjadi penting, yang disebut sebagai karakter perpuisian dari seorang penyair. Sebab jika tidak demikian, maka perpuisian yang dibangun oleh seorang penyair itu menjadi tidak memiliki wajah yang khas.
Persoalannya adalah? menjadi runyam bila poetika itu saling ditabrakkan. Poetika Sapardi Djoko Damono apakah bisa untuk mengukur poetika yang dibangun oleh Rendra? Bila perpuisian yang baik dan menarik dan tidaklah menjadi epigon itu seharusnya diposisikan di suatu tempat, oleh A. Teeuw disebutnya sebagai “Berdiri di antara dua tegangan yang tarik-menarik di antara konvensi dan inovasi”, di antara hal-hal yang sudah disepakati sebagai “puisi”, dan hal-hal baru yang seharusnya dibangun dan ditawarkan sebagai poetika baru yang ditegakkannya.
Pada posisi inilah, “puisi” bagi saya adalah untuk menemukan wajah khas puisi masing-masing penyair, untuk menemukan wajah masing-masing persajakan seorang penyair. Bagi saya, puisi dan persajakan itu haruslah wajah yang berbeda dengan siapapun yang pernah menuliskannya, sekalipun konvensi atau tradisi itu tetaplah menjadi pola yang harus dilipat-lipat dan disimpan baik-baik.
Pada sudut pandang inilah, “persajakan” itu bisa muncul dari “keindahan batin” bahasa, bergantung kepada cara pandang yang melatarinya, kepada cara-cara mengucapnya, seumpama kata “matamu”, antara diucapkan dengan nada marah dan nada sopan, tentu mengandung efek kepada orang yang diajak berkomunikasi menjadi berbeda penerimaannya. Keindahan batin dalam sudut pandang seperti itu di dunia “Timur, karenanya memiliki ideologi khas ketika menyikapi “persajakan” dan “perpuisian”.
Hal itu, secara umum menjadi berbeda pula ketika memandang panorama yang sama, tetapi cara mengungkapkannya, dan cara berpandangan hidup terhadap panorama yang sama itu, menjadi berbeda, menjadi khas.
Puisi yang Tak Akan Memperindah Kata-Kata
Memang, persajakan dan sajak adalah dua hal yang berbeda. Persajakan lebih dimaksudkan sebagai irama bunyi, yang bisa saja muncul bukan di dalam sajak, melainkan irama bunyi dari ungkapan-ungkapan puitis. Ungkapan puitis, tentu saja, bukanlah puisi, karena puisi dan puitis adalah dua hal yang berbeda. Puitis hanyalah ungkapan-ungkapan yang indah dikarenakan adanya rima atau persajakan, sebagaimana ada di dalam lirik lagu pop. Ungkapan-ungkapan verbal, terlebih lagi berbeda dengan ungkapan puitis yang masih ada keindahan persamaan bunyi. Akan tetapi, puisi itu tidak selalu harus menghindari “kata-kata verbal”, dan puisi juga tidak harus menghindari “kata-kata busuk” (meminjam istilah Sapardi Djoko Damono, untuk memberi sebutan terhadap “ungkapan-ungkapan yang sudah usang”). Sebagaimana halnya pada “pamplet puisi” yang oleh Rendra sendiri dikatakannya sebagai “Potret Pembangunan dalam Puisi”. Rendra tidak menghindari kata-kata verbal dan kata-kata busuk, dan saya merasakannya bahwa yang ditulis oleh Rendra itu sebagai puisi yang mendayagunakan persajakan. Sebagaimana ungkapan verbal Jalaluddin Rumi ini: “Aku di sebuah taman/ Orang lalulalang/ Mereka mendekatiku/ Dan memintaku untuk berdoa/ Sampai-sampai seluruh diriku menjadi doa itu sendiri”. Ungkapan Rumi bisa saja dianggap sebagai sebuah ungkapan yang bersifat metaforik, tetapi jika kita mempunyai rujukan atas realitas pengalaman spiritual di dalam kehidupan seorang yang selalu dekat dan mendekatkan diri kepada Allah, maka ungkapan Rumi itu “hanyalah” ungkapan yang seada-adanya dan bukan metafora, jadi itu adalah ungkapan denotatif, untuk tidak mengatakan sebagai ungkapan verbal. Akan tetapi, mengapa ungkapan Rumi itu oleh pembaca tasawuf dikatakannya sebagai “puisi”? Hal itu karena, setiap pengalaman yang “benar” itu mengandung “keindahan”, dan pengalaman “keindahan” itu mengandung “kebenaran” (sebagaimana sajak K.H. A. Mustofa Bisri, berikut ini):
Aku Tak Akan Memperindah Kata-kata
Aku tak akan memperindah kata-kata
Karena aku hanya ingin menyatakan
Cinta dan kebenaran
Adakah yang lebih indah dari
Cinta dan kebenaran
Maka memerlukan kata-kata indah?”
1997
(dari Sajak-sajak Cinta, Gandrung, 2000:21)
Sebetulnya yang mendasari hal itu semua adalah? Saya hanya ingin mengatakan bahwa puisi itu “merupa” keindahan bahasa dan keindahan batin dari “isi” puisi itu sendiri. Dan, “keindahan” bisa saja dipancarkan dari kesederhanaan ungkapan, bahkan verbalitas ungkapan. Namun demikian, puisi tetaplah “puisi” yang memiliki keunikan-keunikan, baik dari segi bahasa sebagai badannya, maupun dari segi “isi”-nya sebagai jiwanya, dan kedua hal itu tetaplah dimaksudkan sebagai “keindahan”.
Sementara itu, yang dimaksudkan sebagai “keindahan” sangat tergantung kepada sudut-pandang berbudaya dan beruhani seseorang. Inilah pasalnya, yang disebut sebagai “cantik” di Jawa sangat dipengaruhi oleh kosmologi Jawa: alise nanggal sepisan, pipine mbawang sebungkul, matane ndamar kanginan, rambute ngandan-andan, janggute omah tawon, dst, dst, dst. Apakah hal yang sama juga bisa disebut “cantik” oleh Saudara kita di Papua, misalnya? Dalam penelitian Dian Sastrowardoyo “ada pergeseseran nilai kecantikan”, ungkapnya. Demikian pula di dalam menyikapi mana yang verbal dan tidak verbal, mana yang kata-kata busuk dan mana yang tidak kata-kata busuk. Mana yang denotatif dan mana yang konotatif. Mana yang puisi dan mana yang tidak puisi. Semuanya “Bagai embun di daun talas” (dulu ungkapan ini pun konotatif, namun ketika hal itu digunakan menjadi rutinitas, maka bergeser menjadi metafora usang yang sudah bukan konotatif lagi).
Ketika Gus Mus (K.H. A. Mustofa Bisri) memberi “Kata Pengantar” kepada buku sajak saya yang pertama, Rumah Cahaya (1995), beliau menulis bahwa sajak yang rumit itulah yang bagus, dan sajak-sajak Abdul Wachid B.S. itu rumit, dan karenanya bagus, penuh lambang-lambang… dan seterusnya.
Tetapi, saya menerima “Kata Pengantar” itu sebagai tarbiyah untuk saya (pribadi), dengan sebaliknya, bahwa sajak yang bagus itu sesungguhnya yang sederhana, yang tidak rumit dan memusingkan kepala pembaca. Untuk apa menulis sajak (karya sastra) jika cuma membuat pening kepala pembaca?
Pada hakikatnya menulis karya tulis, apapun, adalah upaya untuk berkomunikasi dengan pembaca, dengan cara indah dan bermakna sehingga makna itu tersampaikan kepada pembaca. Sementara itu, keindahan itu ada yang wujud, dan ada yang di sebalik wujud. Wujud komunikasi, tentu, melalui ungkapan bahasa sebab medium komunikasi pada umumnya ialah melalui bahasa. Oleh sebab itu, dalam hal ini, wujud keindahan komunikasi dapat dilihat dari keindahan bahasanya, keunikan bahasanya, tidak meniru-niru dari ungkapan bahasa yang sudah lazim digunakan oleh orang lain atau oleh penyair lain jika hal itu terjadi di dalam puisi.
Memang, ada juga keindahan itu “yang rumit”, tidak terkecuali ketika disampaikan melalui bahasa. Namun demikian, serumit apapapun keindahan itu disampaikan melalui bahasa, tetap saja bahwa si penulis masih ingin berkomunikasi kepada pembacanya. Di khazanah sastra Indonesia, ada sajak-sajak yang indah namun rumit itu, yaitu perpuisian Afrizal Malna (dalam buku puisi Abad Yang Berlari, 1984), sebagaimana contoh ungkapan ini.
DADA
sehari, waktu sama sekali tak ada, dada. bumi terbaring dalam tangan yang tidur, dada. sehari. ingin jadi manusia terbakar dalam mimpi, dada. semua terbaring dalam waktu tak ada dada. membaca, dada. membaca. orang-orang yang terbaring dalam tubuhnya sendiri, dada. tak ada yang berjalan. anjing terbaring dalam lolongannya sendiri. kota juga terbaring dalam dinding dinding beton yang dingin, dada. keinginan jadi manusia terkubur dalam daging sendiri. mengaji, dada. mengaji. keganasan yang aku tanam di ujung-ujung jemariku sendiri, begitu inginkan manusia.
Tetapi, keindahan yang wujud melalui bahasa itu bisa dimunculkan tidak harus dari kerumitan-kerumitan ungkapan yang penuh lambang, yang terjalin menjadi metafora abstrak, sebagaimana sajak di atas. Ibarat memandang seorang gadis sajalah. Sajak karya Afrizal Malna itu bagaikan gadis metropolis yang penuh make-up: cantik, memang. Ada lelaki yang suka dengan gadis yang penuh make-up seperti itu.
Tetapi, ada keindahan gadis dusun, yang kita memandangnya dia sedang berjalan menuju mushala, akan shalat ashar lalu mengaji kepada kiainya. Wajah gadis dusun itu tanpa polesan make-up. Tetapi, dari dirinya terpancar keindahan, dari kepribadiannya, dari tutur-katanya yang penuh makna. Di kemudian hari kita mengenal nama gadis dusun itu sebagai “Hanien” (Sajak K.H. A. Mustofa Bisri, dalam buku puisi Gandrung, 2000).
HANIEN
mestinya malam ini
bisa sangat istimewa
seperti dalam mimpi-mimpiku
selama ini
kekasih, jemputlah aku
kekasih, sambutlah aku
aku akan menceritakan kerinduanku
dengan kata-kata biasa
dan kau cukup tersenyum memahami deritaku
lalu kuletakkan kepalaku yang penat
di haribaanmu yang hangat
kekasih, tetaplah di sisiku
kekasih, tataplah mataku
tapi seperti biasa
sekian banyak yang ingin kukatakan tak terkatakan
sekian banyak yang ingin kuadukan
diambilalih oleh airmataku
kekasih, dengarlah dadaku
kekasih, bacalah airmataku
malam ini belum juga
seperti mimpi-mimpiku
selama ini
malam ini
lagi-lagi kau biarkan sepi
mewakilimu
Rembang, 1999
Anda pilih yang mana? Keduanya bernama keindahan. Keduanya adalah “gadis” yang indah, keduanya adalah “puisi yang indah”.***
– Penulis adalah penyair, dan menjadi dosen di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu), Purwokerto.