Oleh Dian Marta Wijayanti
Dulu, saya ragu ketika hendak mendaftarkan diri sebagai kepala sekolah. Namun, berkat dorongan suami dan pesan almarhum bapak saya menjadikan saya bisa membuktikan bahwa perempuan layak dan bisa menjadi pemimpin. Pesan merekan berdua menegaskan bahwa sudah saatnya perempuan mengisi jabatan publik. Saya menafsirkan bahwa jabatan publik yang dimaksud tidak hanya sebagai kepala rumah tangga, namun juga di bidang pendidikan, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Refleksi ini tentu bertepatan di bulan Maret 2023 ini. Maret bisa disebut bulan perempuan. Sebab, ada tiga perayaan penting yang meneguhkan eksistensi dan esensi kaum hawa, yaitu 8 Maret diperingati sebagai Hari Wanita/Perempuan Internasional, 9 Maret sebagai Hari Wanita Indonesia, dan 27 Maret sebagai Hari Klub Wanita Internasional. Tujuan peringatan-peringatan itu bukan untuk melawan kodrat, namun mendudukkan harkat dan martabat perempuan sesuai potensinya. Namun, apakah hanya berhenti pada sebatas ritus dan perayaan? Tentu tidak. Kita harus mendorong perempuan berkiprah dalam pendidikan.
Budaya Patriarki
- Iklan -
Budaya patriarki dalam pendidikan dinilai dikotomir, sebab menguntungkan laki-laki sementara merugikan perempuan dalam konteks pendidikan. Fenomena ini masih banyak terjadi di berbagai belahan dunia meskipun upaya-upaya telah dilakukan untuk merubahnya. Budaya patriarki dalam pendidikan dapat terlihat dalam beberapa aspek, seperti peran gender yang stereotip, akses terbatas terhadap pendidikan, serta kurikulum yang tidak inklusif.
Pertama, akses terbatas terhadap pendidikan masih menjadi masalah di beberapa daerah, terutama di masyarakat yang lebih konservatif. Dalam budaya patriarki, seringkali perempuan dianggap lebih pantas menjalankan peran domestik daripada mengejar pendidikan formal. Akibatnya, banyak perempuan yang dihalangi untuk mengakses peluang pendidikan yang setara dengan laki-laki. Ini menghasilkan ketidaksetaraan dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan peluang pekerjaan.
Kedua, kurikulum yang tidak inklusif juga merupakan aspek dari budaya patriarki dalam pendidikan. Banyak kurikulum yang lebih menekankan pada pencapaian laki-laki dalam sejarah, ilmu pengetahuan, dan prestasi lainnya, sementara sumbangan perempuan sering diabaikan atau dilebih-lebihkan. Hal ini mengirimkan pesan bahwa kontribusi perempuan kurang berharga atau tidak layak diperhatikan.
Ketiga, peran gender yang stereotip mengajarkan anak-anak sejak dini tentang perbedaan yang tegas antara laki-laki dan perempuan. Bias ini tercermin dalam pemilihan mainan dan aktivitas yang dianggap cocok untuk masing-masing jenis kelamin. Misalnya, mainan boneka untuk perempuan sering dihubungkan dengan tugas rumah tangga dan perawatan, sementara mainan truk untuk laki-laki sering dihubungkan dengan aktivitas yang dianggap maskulin. Hal ini dapat membentuk persepsi anak-anak tentang peran dan kemampuan yang diharapkan dari masing-masing jenis kelamin.
Untuk mengatasi budaya patriarki dalam pendidikan, perlu dilakukan tindakan konkret. Pertama, diperlukan upaya untuk menghilangkan stereotip gender dalam kurikulum dan pengajaran. Materi pembelajaran haruslah inklusif, menyoroti pencapaian baik laki-laki maupun perempuan dalam berbagai bidang. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa akses pendidikan diberikan secara merata tanpa memandang jenis kelamin.
Kedua, masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya kesetaraan gender dalam pendidikan. Kampanye sosial dan program pelatihan dapat membantu mengubah pandangan masyarakat terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam konteks pendidikan. Ini akan membantu menciptakan lingkungan di mana semua individu memiliki peluang yang sama untuk tumbuh dan berkembang.
Ketiga, perlu adanya dukungan dari pemerintah dan lembaga pendidikan dalam mendorong reformasi pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan gender. Kebijakan yang mendukung peningkatan akses pendidikan untuk semua, tanpa memandang jenis kelamin, serta mengintegrasikan pemahaman tentang gender dalam kurikulum, akan membantu mengubah budaya patriarki dalam pendidikan.
Secara keseluruhan, mengatasi budaya patriarki dalam pendidikan adalah langkah krusial menuju masyarakat yang lebih setara dan adil. Dengan menghilangkan stereotip gender, memastikan akses pendidikan yang merata, dan mengubah kurikulum menjadi lebih inklusif, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang memberdayakan semua individu, tanpa memandang jenis kelamin.
Pemimpin Perempuan dalam Pendidikan
Peran perempuan dalam dunia pendidikan telah berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir. Mereka bukan hanya sebagai pendidik, tetapi juga sebagai pemimpin yang menginspirasi dan membawa inovasi dalam sistem pendidikan. Pemimpin perempuan dalam pendidikan memiliki dampak yang mendalam, mendorong perubahan positif dalam lingkungan belajar dan masyarakat secara luas.
Pemimpin perempuan sering kali mempraktikkan kepemimpinan berbasis empati dan kepedulian. Mereka cenderung lebih peka terhadap kebutuhan individu dalam lingkungan pendidikan. Hal ini berdampak pada menciptakan budaya inklusif di sekolah, di mana semua siswa merasa diterima dan dihargai. Kemampuan perempuan untuk mendengarkan dengan empati juga mendukung proses belajar-mengajar yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Selain itu, pemimpin perempuan dalam pendidikan sering kali mempraktikkan kolaborasi yang kuat. Mereka cenderung membangun tim yang kuat dan bekerja sama untuk merancang strategi pembelajaran yang inovatif. Kolaborasi ini melibatkan berbagi gagasan dan pengalaman, yang mendorong pengembangan ide-ide baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Pemimpin perempuan juga dikenal sebagai penggerak perubahan. Mereka berani mengambil risiko untuk memperkenalkan metode pembelajaran baru, teknologi canggih, dan pendekatan yang lebih inklusif. Dengan fokus pada pembelajaran yang relevan dan adaptif, pemimpin perempuan membantu siswa mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan di era modern.
Tidak hanya dalam lingkup sekolah, pemimpin perempuan juga memainkan peran penting dalam reformasi pendidikan di tingkat nasional dan global. Mereka berkontribusi dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang berpihak pada kesetaraan gender dan peningkatan akses pendidikan bagi semua. Keberagaman pandangan dan pengalaman yang mereka bawa mendorong adopsi solusi yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Penting untuk mengakui bahwa pemimpin perempuan dalam pendidikan masih menghadapi tantangan, termasuk kesenjangan gender dalam kesempatan kepemimpinan dan persepsi budaya terhadap peran perempuan. Namun, perubahan positif terus terjadi, dan semakin banyak perempuan yang mengambil peran penting dalam membentuk masa depan pendidikan.
Pemimpin perempuan memiliki dampak luar biasa dalam dunia pendidikan. Kepemimpinan berbasis empati, kolaborasi, dan inovasi membantu menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan relevan. Pemimpin perempuan juga berperan dalam membentuk arah kebijakan pendidikan yang lebih adil dan berkeadilan. Melalui usaha-usaha ini, mereka memainkan peran kunci dalam memajukan sistem pendidikan menuju masa depan yang lebih cerah.
-Kepala SD Negeri 3 Gajahmungkur Kota Semarang, Juara I Kepala Sekolah Dasar Berprestasi Kota Semarang Tahun 2023