Oleh Hamidulloh Ibda
Saya amati sejak diberlakukannya Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka, pengarusutamaan sastra anak di jenjang pendidikan dasar belum bahkan tidak maksimal. Hal itu dapat dilihat melalui telaah kurikulum, pemberian porsi sastra anak dan Bahasa Indonesia, maupun muatan literasi. Fenomena inilah yang selalu luput, tak diperhatikan, bahkan diabaikan. Sebab, sangat sedikit sekali akademisi bahkan guru di Indonesia peduli dengan sastra anak.
Pada Kurikulum 2013, antara KI dan KD aspek sastra anak hanya “ditebengkan” mata pelajaran Bahasa Indonesia dari kelas dasar (1, 2, 3) dan kelas tinggi (4, 5, 6) jenjang SD/MI. Pada Kurikulum Merdeka pun sama, meski ada perubahan struktur seperti capaian pembelajaran dan adanya fase-fase, namun substansinya sama, hanya berubah struktur, namun secara komprehensif tidak berubah karena sastra anak tetap satu mapel yaitu digabungkan dengan Bahasa Indonesia.
Disrupsi Literasi
- Iklan -
Problematika lainnya adalah lahirnya disrupsi literasi yang menjadikan adanya pergeseran literasi yang luar biasa. Dalam konteks ini, disrupsi literasi merujuk pada perubahan signifikan dalam literasi (kemampuan membaca, menulis, dan pemahaman) dipraktikkan dan diakses sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Maka lahirnya disrupsi literasi yang di dalamnya terdapat sastra anak, baik secara konsep maupun karya.
Di era digital, terjadi pergeseran besar dalam cara orang mengakses informasi dan berinteraksi dengan teks. Anak-anak termasuk di dalamnya karena hari ini sudah dekat dan bergantung pada gawai. Disrupsi literasi mencakup beberapa aspek. Pertama, media digital. Munculnya platform online dan media sosial telah mengubah cara orang membaca dan memperoleh informasi. Buku dan media cetak tradisional sering digantikan oleh e-book, artikel online, dan blog. Penggunaan media sosial juga telah mengubah cara orang berbagi dan mendiskusikan ide-ide.
Kedua, kekhawatiran terhadap keterampilan membaca mendalam. Di era informasi yang berlimpah, kemampuan untuk menganalisis dan memahami teks secara kritis menjadi semakin penting. Disrupsi literasi menyoroti perlunya mengembangkan keterampilan membaca yang mendalam di tengah fluktuasi informasi yang cepat dan luas.
Ketiga, kurangnya keterampilan literasi digital. Literasi digital mengacu pada kemampuan menggunakan teknologi informasi untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif. Banyak orang menghadapi kesulitan dalam memilah dan memverifikasi informasi yang mereka temui di internet, serta memahami implikasi etis dan privasi yang terkait dengan penggunaan teknologi.
Keempat, akses kesenjangan. Disrupsi literasi juga dapat menghasilkan kesenjangan akses terhadap informasi. Orang yang tidak memiliki akses atau keterampilan menggunakan teknologi digital mungkin terisolasi dari sumber daya literasi yang tersedia secara online.
Dalam menghadapi disrupsi literasi, penting untuk mendorong pengembangan keterampilan literasi yang komprehensif, termasuk literasi digital. Hal ini melibatkan pengajaran keterampilan membaca kritis, penilaian sumber informasi, dan pemahaman media, sehingga individu dapat berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat informasi yang terus berubah.
Budaya Digital, Sastra Siber, dan ChatGPT
Budaya digital merujuk pada cara individu dan masyarakat berinteraksi, berkomunikasi, dan mengonsumsi informasi dalam era digital. Sejak bangun tidur sampai tidur lagi, anak-anak sudah bergantung dan super kecanduan gawai. Mereka hidup dalam ekosistem digital yang sangat luar biasa. Apakah sastra anak masih bisa tersampaikan ketika mereka berkiblat dan mengonsumsi tontonan, materi, dan semua informasi melalui teknologi digital?
Untuk porsi sastra siber pun tidak tersentuh. Meski sastra dapat diakses melalui peranti-peranti siber, namun tidak semua anak mengonsumsi sastra siber. Ditambah lagi, mereka justru semakin dimanjakan dengan teknologi AI yang justru berkiblat pada ChatGPT. Hal inilah yang menjadi keprihatinan sendiri bagi kami yang menekuni sastra anak. Anak-anak, saat ini mulai banyak bertanya, berdiskusi, dan belajar melalui ChatGPT. Ketika ada pekerjaan rumah, misalnya, mereka tidak tanya atau diskusi kepada orangtua, namun justru diam-diam bertanya kepada ChatGPT. Duh, pancen serba repot!
Budaya digital mencakup berbagai aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh teknologi digital, seperti internet, perangkat mobile, media sosial, dan platform online lainnya. Ada beberapa ciri dan contoh budaya digital. Pertama, koneksi dan interaksi sosial. Budaya digital telah mengubah cara orang berinteraksi dan terhubung satu sama lain. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Snapchat memberikan platform bagi orang-orang untuk berbagi pemikiran, pengalaman, dan informasi secara online. Lebih dari itu, aplikasi pesan instan seperti WhatsApp dan Telegram memungkinkan orang untuk berkomunikasi secara real-time, terlepas dari jarak geografis.
Kedua, konsumsi konten digital. Masyarakat modern cenderung mengandalkan konten digital sebagai sumber hiburan, informasi, dan pendidikan. Streaming musik dan video melalui layanan seperti Spotify, Netflix, dan YouTube telah menjadi populer. Selain itu, podcast dan e-book juga semakin banyak diminati sebagai bentuk konsumsi konten digital.
Ketiga, pembelajaran dan pendidikan online. Budaya digital telah mengubah cara orang belajar dan mendapatkan pendidikan. Platform pembelajaran online seperti Coursera, Udemy, dan Khan Academy memungkinkan akses ke kursus dan materi pembelajaran dari institusi pendidikan terkemuka di seluruh dunia. Selain itu, webinar dan kelas online menjadi semakin umum dalam menyediakan kesempatan belajar jarak jauh.
Keempat, partisipasi dan aktivisme digital. Budaya digital juga mencakup partisipasi aktif individu dalam berbagai isu sosial, politik, dan lingkungan melalui media sosial dan platform online lainnya. Kampanye, petisi, dan gerakan online sering kali digunakan untuk menyebarkan kesadaran dan menggalang dukungan untuk perubahan sosial.
Kelima, kreasi dan kolaborasi digital. Budaya digital mendorong kreativitas dan kolaborasi. Berbagai alat dan aplikasi kreatif seperti Adobe Creative Suite, Canva, dan Procreate memungkinkan orang untuk menciptakan dan berbagi karya seni digital, desain grafis, dan konten visual lainnya. Kolaborasi online juga semakin umum dengan menggunakan alat kolaboratif seperti Google Docs, Trello, dan Slack.
Kelima jenis di atas, hanyalah beberapa contoh dari berbagai aspek budaya digital. Budaya digital terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi, dan memberikan dampak yang signifikan pada cara kita hidup, berinteraksi, dan berpartisipasi dalam masyarakat modern. Masalahnya, budaya digital tersebut tidak diimbangi dengan pengarusutamaan sastra anak.
Saya pernah membayangkan, coba sekali-kali ada lomba menulis puisi anak untuk peserta didik MI/SD melalui Zoom. Lomba menulis legenda sesuai kearifan lokal masing-masing tempat tinggal peserta didik yang dilaksanakan melalui grup WA. Nyaris tidak ada. Bahkan, anak-anak pun mulai tidak mengenal sastra anak itu apa. Padahal, hal itu adalah kebutuhannya, dunianya, mereka tahunya hanya tontonan-tontonan iseng, hiburan, dan tontonan nyampah tidak jelas yang dikonsumsi tiap detik.
Hal ini diperparah lagi, secara konten kurikulum dan kebijakan pendidikan belum seratus persen mendukung penguatan sastra anak. Padahal, disrupsi literasi, budaya digital, sasta siber, dan munculnya fenomena ChatGPT harusnya ditangkap oleh pemerintah sebagai bahan merumuskan kebijakan.
–Hamidulloh Ibda, Pengajar Mata Kuliah Bahasa Indonesia MI/SD dan Pembelajaran Sastra Anak Prodi PGMI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan INISNU Temanggung.
Baca juga: Penguatan Sastra Anak (Bagian 2)