OlehTjahjono Widarmanto
/Prawacana/
Dalam konteks makro atau konteks sosial, setiap lembaga pendidikan bertugas membina manusia yang pantas dan berkelayakan terjun ke dalam masyarakat (Oemarjati, 1979:199). Istilah ‘membina’ di sini berarti menanamkan bibit pengetahuan, memelihara, mengarahkan, dan menumbuhkan. Jadi merupakan sebuah proses yang panjang dan berkesinambungan, bukan berupa kursus kilat, pelatihan, atau model-model yang serba instan lainnya. Di sisi lain, dalam konteks mikro atau personal, pendidikan bertujuan mengembangkan potensi individu atau anak didi sesuai dengan kemampuannya ke arah pertumbuhannya menjadi manusia yang dapat bermasyarakat dengan baik. Berkait dengan ini, maka tugas pendidik adalah membina dan mengembangkan kecerdasan dan ketrampilan, kejujuran, kedisiplinan, mengembangkan kreativitas, pengenalan atas kemampuan dan batas kemampuan sendiri, menanamkan nilai-nilai positif, dan mengembangkan kepribadian anak didik. Dengan kata lain, tujuan pendidikan dalam konteks mikro adalah pembinaan watak (Santoso:1990; Oemarjati:1992). Salah satu komponen pendidikan yang berkait dengan pembinaan watak adalah pengajaran sastra.
Pengajaran sastra di sekolah menitikberatkan pada pengembangan kompetensi afektif, bukan kognitif semata. Pembelajaran sastra berorientasi pada penanaman nilai, memeperkaya pengalaman siswa terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, menjadikan siswa lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa manusiawi, pengenalan dan penghormatan terhadap nilai, dan bersimpati sekaligus berempati pada manusia lain. Pengajaran sastra haruslah dimuarakan pada apresiasi sastra yang pada hakikatnya mengenalkan, mengakrabkan siswa dengan berbagai macam karya sastra sebanyak mungkin. Dengan mengenalkan dan mengakrabkan siswa terhadap sebanyak mungkin karya sastra akan menjadikan siswa memiliki pengalaman bersastra yang luas. Saat mengapresiasi sastra berarti siswa merespon dengan kemampuan afektifnya segala nilai-nilai yang ada dalam karya sastra. Yang pada gilirannya nanti akan menjadikan siswa peka akan segala nilai-nilai.
- Iklan -
Keberhasilan pengajaran sastra sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya komunikasi dibangun oleh guru dan siswanya. Keakraban guru dengan karya sastra, keakraban guru dengan perjalanan kreatif pengarang, dan keakraban guru kepada siswanya akan menjadi jembatan yang kokoh untuk mempertemukan siswa dengan karya sastra.
/Drama Sebagai Salah Satu Bagian Pengajaran Sastra/
Pengajaran sastra di sekolah menengah atas bertumpu pada tujuan aprisatif yaitu bermuara pada kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra. Kemampuan mengapresiasi karya sastra ini dapat mewujud dalam setidaknya tiga bentuk kegiatan yaitu (1) kegiatan memahami karya sastra, (2) kegiatan kreativitas dalam penciptaan, penikmatan, dan pertunjukkan sastra, dan (3) kegiatan dokumentasi karya sastra.
Kegiatan memahami karya sastra berfokus pada kemampuan siswa dalam menelaah dan memahami berbagai ragam teks sastra. Dalam kegiatan ini, siswa menerapkan pengetahuannya tentang teori sastra untuk menganalisis dan menafsir berbagai teks sastra. Proses ini tak bisa berjalan kalau siswa tak terlebih dulu memiliki informasi dan pengetahuan tentang prinsip, konsep dan teori sastra.
Kegiatan kedua, yaitu kegiatan berkreativitas dalam penciptaan dan penikmatan karya sastra mengarah pada kemampuan mengembangkan kreativitas dengan jalan para siswa belajar mencipta karya sastra, baik berupa teks puisi, prosa (cerpen), maupun drama. Di samping belajar mencipta sastra, kegiatan ini juga diarahkan pada penikmatan karya sastra, baik berupa penikmatan secara individual maupun kelompok. Pada kegiatan penikmatan karya sastra ini, siswa dapat menampilkan pertunjukkan sastra dalam berbagai bentuk, misalnya pembacaan puisi secara individual, secara kelompok, teatrikalisasi puisi, musikalisasi atau pertunjukkan drama.
Selanjutnya adalah kegiatan ketiga, yaitu kegiatan dokumentasi sastra. Kegiatan ini acap kali dilupakan, walau sebenarnya penting untuk dilakukan. Bentuk paling sederhana kegiatan dokumentasi sastra ini adalah mengarahkan siswa untuk membuat kliping berbagai karya sastra dalam berbagai genre. Misalnya, siswa membuat kliping puisi, cerpen, atau esai sastra. Guru mengarahkan sumber-sumber apa yang bisa dirujuk siswa atau pada awalnya mengakomodasikan nama-nama sastrawan atau judul karya yang harus dikliping. Kegiatan dokumentatif ini kelihatan sederhana, namun sebenarnya memiliki kemanfaatan yang luas karena siswa akan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi terhadap teks sastra, baik kuantitas maupun kualitas.
Kurikulum SMA menunjukkan ada beberapa genre sastra yang harus dikenal dan dipahami siswa. Genre itu adalah puisi, prosa, esai dan drama. Tulisan ini akan memusatkan pada genre drama yang harus diajarkan pada siswa SMA.
Seperti juga pengajaran genre sastra yang lain, pengajaran drama juga melibatkan aspek kognitif, apresiatif dan evaluatif. Dalam aspek kognitif, siswa mempelajari hakikat dan definisi drama, berbagai kaidah, unsur drama, jenis drama, unsur intrinsik dan ekstrinsik drama, baik yang berupa teks maupun pementasan.. Aspek apresiatif melibatkan siswa dalam penikmatan drama dengan mempertunjukkan drama atau setidaknya memainkan drama pendek. Adapun aspek evaluatif, siswa dapat menilai, menganalisis, menafsir teks/naskah drama atau menilai, menafsir serta menganalisis pertunjukkan drama.
Drama dalam kurikulum SMA dikategorikan sebagai dua hal. Yang pertama drama sebagai sebuah teks atau naskah sastra. Yang kedua, drama sebagai salah satu bentuk pertunjukkan. Kedua-duanya menuntut perlakuan yang berbeda dalam memahami dan menelaahnya.
Drama sebagai sebuah teks sastra atau naskah dimaknai sebagai bentuk sastra yang didominasi oleh dialog yang menggambarkan peristiwa yang dialami pelaku atau tokoh dalam menghadapi konfliknya. Karena didominasi oleh dialog maka secara visual naskah drama tidak berbentuk paragraf seperti cerpen, tidak pula berbait-bait dan berirama, namun berbentuk dialog atau percakapan-percakapan dengan sedikit narasi.
Secara etimologi, drama berasal dari bahasa Yunani yaitu dromai yang berarti berbuat, berlaku, beraksi atau bertindak (Harymawan, 1988; Waluyo, 2002). Dalam bahasa Inggris diartikan sebagai action yang berarti gerak, lakuan, perbuatan atau tindakan. Dari etimologis ini drama dapat diartikan sebagai bentuk seni yang mengungkapkan perihal kehidupan manusia melaku gerak, lakuan (akting) yang dipadukan dengan dialog atau cakapan (Widarmanto, 2011). Moulton (dalam Hasnudin, 2009) meyebutnya sebagai perlukisan kehidupan melalui ekspresi gerak dan dialog secara langsung.
/Drama Sebagai Teks Sastra/
Drama sebagai teks digolongkan sebagai salah satu genre sastra di samping prosa dan puisi. Teks drama memiliki unsur intrinsik penting sebagai karakteristiknya yang membedakannya dengan teks sastra lainnya.Selain sebagai penanda karakteristik, unsur intrinsik drama menjadi batu loncatan dalam memahami dan menganalisis teks drama.
Unsur inrinsik dalam teks drama adalah penokohan, karakter (perwatakan), lattar, plot, dan konflik. Penokohan adalah unsur terpenting dalam drama. Penokohan adalah cara menghadirkan tokoh atau pelaku. Drama tanpa tokoh tak akan berjalan, bahkan mustahil drama tanpa tokoh. Ada dua macam tokoh dalam teks drama yaitu tokoh utama dan tokoh sampingan.
Tokoh utama dalam drama merupakan pelaku atau tokoh sentral yang paling banyak memegang peranan penting dalam peristiwa. Karena merupakan tokoh yang memegang peran utama dalam drama, makatokoh utama ini lebih sering muncul dan lebih banyak dibicarakan oleh tokoh-tokoh lain. Tokoh utama mengalami konflik yang lebih rumit dan berat dibandingkan para tokoh sampingan.
Tokoh dalam drama tak akan bisa menghidupkan cerita dalam dra bila tidak memiliki karakter. Karakter adalah sifat, watak dan perilaku para tokoh. Sifat, watak, dan perilaku tokoh ini dalam drama diperlihatkan dalam dialog dan akting. Secara garis besar watak tokoh dalam drama dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh antogonis.Tokoh protagonis.merupakan watak positif atau tokoh yang memiliki watak mulia atau berkarakter positif misalnya jujur, ksatria, setia kawan, tabah, dan sebagainya. Tokoh yang berwatak protagonis menarik simpati para pembaca atau penonton bahkan menjadi hero.
Sebaliknya, tokoh antagonis adalah tokoh yang berwatak negatif dan berkarakter buruk, misalnya dengki, iri hati, pendendam, licik, khianat, kejam, angkuh, dan sebagainya. Tokoh antagonis mengundang antipati pembaca atau penonton.
Di samping watak protagonis dan antagonis ada satu watak lagi yang biasanya merupakan watak dari tokoh sampingan, yaitu tokoh tritagonis. Dalam pertunjukkan dan naskah dra, tokoh tritagonis ini biasanya berperan sebagai pelerai dari tokoh protagonis dan antagonis.
Watak-watak tokoh dalam drama, baik dalam naskah maupun pertunjukkan, bisa diamati dari dialog dan akting. Dialog-dialog dalam teks drama selain berfungsi mewadahi peristiwa dan pengembang konflik, juga berfungsi penting untuk menunjukkan karakter tokoh.
Plot atau jalannya peristiwa menjadi bagian penting daalam drama. Demikian pentingnya keberadaan plot, maka plot acap kali disebut sebagai struktur penceritaan. Melalui plotlah, peristiwa dalam drama bergerak. Secara garis besar plot dalam drama memiliki beberapa tahapan yaitu eksposisi (perkenalan), konflik, perumitan, klimaks dan penyelesaian. Semua tahapan-tahapan tersebut bisa diamati melalui dialog dan akting.
Tak hanya berfungsi sebagai struktur penceritaan, plot juga memiliki fungsi penting lainnya yaitu mewadahi koflik para pelaku atau tokoh dalam drama.Secara sederhana konflik bisa dimakna sebagai pertikaian yang dialami oleh para tokoh dalam drama. Konflik dalam drama secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu konflik antar tokoh dan konflik batin. Konflik antar tokoh adalah pertikaian atau pertentangan antar tokoh. Pertikaian ini disebabkan oleh perwatakan tokoh yang berbeda satu dengan yang lain, beda kepentingan antar tokoh atau perbedaan akibat keingianan yang saling bertolak belakang. Adapun koflik batin merupakan persoalan batiniah atau persoalan jiwani/psikis yang terjadi dalam diri para tokoh. Drama yang banyak menghadirkan konflik batin cenderung lebih bersifat psikologis.
Untuk menghidupkan cerita, mengembangkan konflik, dan menjadikan drama seolah-olah terjadi dengan nyata diperlukan adannya latar atau setting. Latar atau setting dalam naskah drama sama dengan latar atau setting dalam prosa yaitu meliputi latar tempat, latar waktu, latar sosial, dan latar suasana. Dalam praktek pementasan naskah drama ke wujud drama panggung, latar atau setting ini diwujudkan dalam kostum, properti, make up, atau ltar panggung yang didukung penataan cahaya dan tata musik.
/Drama Sebagai Seni Pertunjukkan/
Drama sebagai seni pertunjukkan merupakan bentuk pemanggungan darinaskah atau teks drama. Naskah drama yang pada awalnya berupa teks diubah menjadi bentuk pemanggungan yang bertumpu pada akting dan dialog para pelaku di atas panggung pertunjukkan yang didukung berbagai unsur pementasan lain seperti kostum, properti, latar panggung, tata lampu dan tata musik
Drama sebagai bentuk pementasan di panggung memiliki unsur-unsur penting yaitu (1) sutradara, (2) naskah, (3) aktor atau aktris,(4) dialog dan akting, (5) panggung, (6) kostum dan properti, (7) tata musik dan tata lampu/cahaya, dan (8) penonton.
Sutradara merupakan unsur penting dalam pertunjukkan drama. Sutradara bertugas memilih peran (casting), menafsirkan naskah, memilih aktor/aktris, mengatur jalannya pertunjukkan dan mengorganisis latihan sampai pelaksanaan pementasan. Sutradara ibaratnya adalah arsitektur yang bertanggung jawab atas bentuk pertunjukkan drama sekaligus bertanggung jawab kepada penonton untuk menyajikan sebuah pertunjukan yang berhasil.
Sutradara tidak bisa dlepaskan dari unsur naskah. Naskah dalam drama modern menjadi semacam peta atau petunjuk sekaligus pedoman dalam pertunjukkan drama. Berbasis pada naskah, sutradara memilih aktor/aktris, menentukan peran, serta mendesain bentuk pertunjukkan drama. Keberhasilan drama panggung sangat tergantung kepada kemampuan sutradara dalam menafsirkan naskah ke dalam bentuk pertunjukkan.
Aktor dan aktris merupakan kepanjangan tangan sutradara dalam mewujudkan pertunjukkan drama. Aktor dan aktris berperan sebagai tokoh-tokoh atau pelaku dalam naskah drama. Aktor harus mampu memindahkan karakter atau memerankan sifat tokoh melalui akting dan dialog.
Akting atau lakuan dan dialog menjadi jiwa dari pertunjukkan drama. Peristiwa dalam drama berjalan melalui dialong dan akting para aktor/aktris. Mereka harus mampu memindahkan karakter dan koflik ke dalam bentuk dialog dan akting. Keberhasilan drama dilihat dari kemampuan aktor dan aktrisnya dalam berakting dan berdialog.
Untuk mencapai kemampuan akting dan dialog dalam memerankan tokoh-tokoh drama, seorang aktor harus senantiasa melatih diri. Latihan-latihan yang harus dijalani aktor adalah olah vokal, olah tubuh, dan olah rasa (jiwa). Olah vokal berkaitan dengan kemampuan seorang aktor dalam mengembangkan kualitas suara yang pada gilirannya akan mewujud dalam kemampuannya mengekspresikan suaranya dalam dialog-dialog. Olah tubuh berkaitan dengan kemampuan aktor dalam mengoptimalkan tubuhnya sehingga memunculkan kualitas akting atau lakuan di atas panggung. Adapun olah rasa berkaitan dengan upaya melatih kepekaan dan penghayatan emosi sehingga mampu menampilkan ekspresi-ekspresi kejiwaan dalam pemanggungan.
Unsur pendukung pementasan drama yang tak kalah pentingnya adalah panggung atau tempat pentas. Tempat pentas yang dimaksud bukan hanya gedung namun bagaimana menata panggung sebagai perwujudan latar sekaligus memunculkan aspek-aspek artistik. Melalui penataan panggung bisa divisualkan latar dalam teks drama. Sebagai perwujudan latar, tata panggung dilengkapi unsur lainnya, yaitu tata kostum, properti, dan tata lampu. Semua unsur pendukung tersebut jika tepat dalam penataannya, tak hanya menyajikan keidahan atau artistik semata namun juga menghidupkan suasana seperti yang dikehandaki dalam naskah.
Unsur terakhir dari drama sebagai bentuk pemanggungan adalah penonton. Penonton merupakan target dari pementasan drama. Peran penonton sama dengan halnya peran pembaca dalam teks sastra. Sehebat apapun pertunjukkan drama kalau tidak adanya penontonya maka pesan dan keindahannya tak akan sampai pada publik. Untuk menghadirkan penonton diperlukan strategi dan menejemen yang bagus dari sutradara yang bisa dimulai dari pemilihan naskah, analisis penonton, jenis ekspresi hingga isi dan pesan yang akan disampaikan.
/Pengajaran Drama Bertujuan Utama Mengembangkan Karakter
Ki Hadjar Dewantara (1977:14) menyatakan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektualitas), jasmani anak didik selaras dengan alam dan masyarakatnya. Mengacu pendapat Ki Hadjar Dewantara ini, maka setiap materi pembelajaran dalam sistem pendidikan harus berorientasi pada pemajuan budi pekerti atau pengembangan karakter, pemajuan intelektualitas dan pemberdayaan setiap potensi anak didik. Pun dengan pengajaran drama sebagai salah satu sub pengajaran sastra di SMA harus berorientasi pada tiga hal di atas, utamanya pegembangan karakter siswa.
Pengajaran sastra, termasuk di dalamnya pengajaran drama, memiliki tautan erat dengan pendidikan karakter karena drama seperti genre sastra lainnya menyoal dan membicarakan nilai hidup dan kehidupan. Friedrich Schiller menegaskan bahwa pengajaran drama bisa menjadi penyeimbang segenap kemampuan mental manusia. Melalui drama, seseorang diasah kreativitasnya, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya.Pengajaran sastra termasuk di dalamnya drama, tak hanya berfungsi sebagai agen pendidikan namun juga memupuk kehalusan adab dan budi yang pada gilirannya akan membentuk masyarakat yang beradab.
Melihat pentingnya pengajaran drama sebagai pengembang dan penguat karakter siswa di SMA, maka perlu adanya reposisi dan revitalisasi pengajaran drama di SMA. Setidaknya pihak sekolah bisa membuat kebijakan dengan membuka ekstrakurikuler drama untuk melengkapi pengajaran apresiasi drama yang acap kali terkendala waktu.***
Penulis adalah guru SMAN 2 Ngawi dan penulis sastra.