Judul : Teruntuk Kamu yang Kusebut Perempuan
Penulis : Akhmad Idris
Penerbit : Noken Studio Nusantara
Terbit : 2023
Tebal : 80 Halaman
ISBN : 978-623-09-2351-7
Kita bisa membayangkan proses penciptaan puisi seperti penjelajahan atas segala kemungkinan. Ada begitu banyak kemungkinan bentuk dan makna, sebab penulis, dalam hal ini penyair, bekerja dalam dapur yang mempertimbangkan amatan dan permenungan. Dalam taraf tertentu, ragam kemungkinan itu bisa mengerucut ke sejumlah dimensi, dari dimensi horizontal (sosial) dan vertikal (transendental). Bagaimana penyair bermain-main dalam ragam kemungkinan ini? Bagaimana ia menjelajahi kedua dimensi tersebut? Tentu, setiap penyair memiliki coraknya tersendiri, dan apabila pertanyaan itu diarahkan ke Akhmad Idris, kita bisa melacak dimensi transendetal dalam puisi terbarunya yang terhimpun dalam buku Teruntuk Seseorang yang Kusebut Perempuan (Noken Studio Nusantara, 2023).
Sebagai mula, dimensi transendental dapat dipahami sebagai buah dari pengalaman penulis dengan Tuhannya atau Zat Yang Transenden. Pengalaman transendental itu bisa berupa ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal. Lebih jauh, pengalaman ini pun berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis (Hadi, 1999). Kita mengenal para penulis yang mengidentifikasi jalan kepenulisannya dalam sastra profetik atau transendental ini, mulai dari Jalaludin Rumi sampai Kuntowijoyo. Nama Akmad Idris tentu masih dihitung baru, tapi apakah jejak kepengarangannya begitu saja diabaikan dan kelak namanya tak bakal dicatat? Kemungkinan apa yang ia bentangkan di dimensi transendental ini? Jawaban atas pertanyaan ini kiranya bisa kita lacak dalam salah satu puisinya, yaitu Merindu-mu.
Kendati bukan satu-satunya puisi yang berdimensi transendental, puisi Merindu-mu mencolok sebab kesadaran penyairnya dalam menghubungkan diri dengan zat di luar diri. Objek puisi ini ditunjukkan pada satu bulan penting dalam kalender kaum Islam, yaitu bulan Ramadan. Penyair menjahit larik demi larik bernuansa kerinduan dalam tujuh bait puisi. Kekuatan puisi ini bukan terletak pada pemilihan diksi yang metafor, tetapi pada susunan kalimat yang dijahit dengan frasa-frasa pengagungan nan hiperbolik. Kita cerap bait pertama puisi: Di dalam gubuk penantian,/ aku menunggu lewat rinai penghabisan/ rintik hujan./ Kedatanganmu menjelma terang untuk diriku/ yang diselimuti gelap./ Sayangnya kau hanya sebentar,/ seperduabelas dalam hitungan bulan.//
- Iklan -
Aku-lirik memposisikan sebagai jiwa yang merindukan kedatangan bulan Ramadan. Kerinduan itu barangkali dibayangkan secara sederhana, tetapi aku-lirik mengekspresikannya penuh pengagungan: bahwa ia sedemikian menantikan kedatangannya kendati ia menunggu dalam keadaan penuh kesederhanaan. Pada larik kedua, kita pun bisa meraba jiwa yang sabar menanti di tengah hujan. Di sini, hujan bisa saja dipahami secara literal atau bukan: literal, mengingat bulan-bulan menjelang bulan Ramadan hampir selalu bertepatan dengan musim hujan; dan bukan literal, mengingat hujan menjadi sinyal alam yang mau tak mau membuat seseorang menunggu hingga reda. Adapun dalam larik keempat kelima, aku-lirik sadar dirinya masih bergelimang dosa, dangkal pengetahuan, dan membutuhkan pengampunan. Dan ia tahu bulan Ramadan memiliki cahaya untuk menyinari kegelapan yang menjelma ketiga tersebut.
Kesadaran terkait penyerahan diri dan keagungan bulan Ramadan pun tetap dilanjutkan dalam bait ketiga puisi ini: Kau awali dengan menabur kasih sayang,/ lalu menebar ampunan,/ dan kau tutup dengan pembebasan.// Tampak, ketiga larik itu secara jelas menunjukkan keagungan yang sarat, bahwa kasih sayang berlimpahan selama bulan Ramadan, bahwa ampunan atas dosa-dosa diberikan oleh Tuhan, dan bahwa kita seperti terlahir kembali dengan kesucian dan kebebasan diri ketika bulan Ramadan berakhir. Dengan segenap kebaikan itu, maka aku-lirik sedemikian menanti sekaligus merindu. Ada ketidaksabaran yang kental dalam diri aku-lirik sebagaimana tergambarkan dalam tiga larik pada bait keenam: Kini harum-mu kian semerbak,/ mencumbuiku yang memanggil-mu serak,/ berharap engkau datang lebih cepat.//
Harapan itu tentu tak terwujud seketika. Sebab, bagaimanapun, perputaran bulan Ramadan mengorbit di antara dua belas bulan dalam setahun dan penantian akan kedatangannya merupakan hal yang niscaya. Kita tak bisa membuat bulan ini datang lebih cepat, atau menunda kepergiannya. Bulan ini berada di titik niscaya dalam mengada, tetapi kita-manusia tak memiliki intervensi untuk menggelarnya kapan pun kita mau. Aku-lirik menyadari hal ini, maka pada bait terakhir ia memungkasi puisinya dengan empat larik yang bisa kita baca sebagai konklusi: Di dalam gubuk penantian,/ aku masih merindu-mu,/ menyiapkan sorak marhaban,/ dari balik saku bajuku.// Penantian itu menjadi hal yang pasti, aku-lirik hanya bisa mempersiapkan diri dan menyambut kedatangannya sembari menghitung waktu terus-menerus.
Ia tak bisa mempersingkat waktu, kerinduan mengada dalam masa penantiannya. Larik terakhir seolah menjadi penegas, bahwa hanya itulah yang bisa dilakukan, bahwa dari balik saku bajunya terdapat arloji. Arloji itu mengingatkannya tentang waktu yang senantiasa berderak, waktu yang mendekatkannya dengan Ramadan, waktu yang kelak meluruhkan kerinduannya. Kesadaran soal hal yang pasti kendati hanya bisa dinanti inilah yang mengarahkannya pada kesadaran transendental. Kesadaran ini mengarah secara vertikal, terhadap Zat yang Transenden yang diwakilkan salah satu kedirian-Nya: bulan Ramadan. Aku-lirik memang merindukan bulan Ramadan, tetapi hal-hal yang ia rindukan dari bulan itu sepenuhnya datang dari tuhannya: ampunan, cahaya, dan pengetahuan. Dari situ, apa yang dirasakan aku-lirik bisa kita telusuri merujuk pada kedirian penyair. Bentangan kemungkinan merindu zat yang tak nyata dan abstrak ini menjadi buah dari laku kesadaran dan amatannya. Penyair sadar terkait jati dirinya, keimanannya, dan ia mengamati keduanya berkelindan dengan perasaan-perasaannya. Perasaan itu barangkali sesaat, tetapi ia berhasil mengekalkannya menjadi sebuah tulisan.
Tentang Penulis
Wahid Kurniawan, penikmat buku. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.
Akun media sosial : IG; @karaage_wahid