Oleh Hamidulloh Ibda
Perjokian penulisan karya ilmiah di kalangan dosen sangat memprihatinkan. Kasus ini sebenarnya sudah lama terjadi, namun mendadak ramai karena Harian Kompas memuat lima laporan investigasi (Kompas, 10/02/2023) tentang praktik perjokian karya ilmiah di sejumlah kampus. Profesi dosen yang harusnya menjadi kiblat dan panglima dalam menyebarluaskan kebenaran dan pengetahuan tercoreng karena ulah oknum dosen yang menempuh jalan pintas. Mereka rela membayar demi memiliki karya ilmiah internasional bereputasi sebagai syarat kenaikan jabatan akademik guru besar. Impian menjadi guru besar pun bukan murni untuk tugas suci keilmuan, namun bertujuan mendapat tunjangan besar dan kelas sosial. Ironis!
Mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena cita-cita semua dosen adalah menjadi guru besar (profesor). Namun, ketika cara-cara yang ditempuh instan, tidak terpuji, bahkan menghalalkan segala cara, itulah yang harus dicegah, diluruskan dan diedukasi. Sebab, tidak semua dosen melakukan hal seperti itu melainkan hanya oknum. Selain karena malas, faktor dosen menyewa jasa joki atau membeli artikel dari joki karena tidak terbiasa menulis, dan tidak lihai dalam “memasak” data. Pasalnya, antara artikel ilmiah yang disubmit di jurnal internasional bereputasi, jurnal nasional, atau prosiding seminar sangat berbeda. Artikel ilmiah yang disubmit di jurnal internasional bereputasi melalui peer review, seleksi konten, bahasa, novelty (kebaruan) yang dinilai reviewer dari berbagai negara, melalui profreading, editing dan layout lama.
Sangat wajar ketika dosen tidak sabar dan tidak telaten akhirnya melalui jalur joki. Padahal, artikel di jurnal bereputasi terindeks Scopus, Web of Science (WoS), dan Thomson Reuters hanya sebagian dari syarat menjadi guru besar untuk mencapai kum 850 atau 1.050 poin. Dosen juga wajib mendapatkan hibah riset internasional, membimbing dan menguji calon doktor. Namun realitasnya, menulis artikel terindeks Scopus tetap dinilai paling berat, dan karena bersifat individual sehingga “aman” ketika menyewa jasa joki.
- Iklan -
Tak Bisa Memasak Data
Diterima atau ditolaknya artikel bergantung cara penulis memasak data. Meski punya data hasil riset dari populasi satu negara bahkan dua negara, namun masakan dan penyajian dalam artikel buruk, tentu ditolak editor jurnal internasional bereputasi. Resep dan bumbu dalam menulis tidak bisa murni didapatkan dari pendidikan dan pelatihan, namun juga berdasarkan pengalaman dan ketelatenan. Sebab, setiap jurnal bereputasi memiliki gaya selingkung (pedoman penulisan) yang unik dan berbeda. Maka semua penulis harus tunduk dan patuh terhadap gaya selingkung, kebijakan editor, dan masukan dari reviewer.
Meski sudah menjadi bagian dari tugas wajib Tri Dharma Perguruan Tinggi, realitasnya tidak semua dosen bisa dan rajin menulis. Akhirnya, kemalasan, nalar instan, dan ketidakmampuan memasak data pada dosen tersebut dimanfaatkan para joki untuk meraup keuntungan. Perjokian sebenarnya juga menjamur pada level mahasiswa ketika membuat skripsi, tesis, maupun disertasi. Buktinya, iklan joki berkedok “olah data” yang ditempel di jalanan dan bahkan di dalam kampus masih banyak ditemukan. Fenomena seperti ini tentu akan terus ada karena terjadi supply and demand (penawaran dan permintaan) tiap tahun dan menjadi pasar gelap jagat akademik.
Bagi sebagian akademisi, memasak data itu mudah. Tak perlu ikut les memasak, atau audisi MasterChef Indonesia, mereka bisa memasak karena memang menjadi tugas pokok. Memasak data laiknya memasak di dapur. Menyiapkan berbagai komposisi bahan mentah, mengolah, dan menyajikannya. Namun tidak semua dosen memiliki kemampuan dan kecerdasan memasak dengan benar, baik dan enak. Hal ini tentu paradoks, karena semua dosen minimal lulusan S2. Bahkan, sekarang banyak bergelar S3 lulusan dalam dan luar negeri yang sudah bergelut dengan skripsi, tesis, disertasi dan tugas akademik lainnya selama betahun-tahun. Mengapa mereka tak bisa memasak data? Mengapa artikel hasil masakan mereka ditolak di jurnal internasional bereputasi?
Editor dan reviewer jurnal tentu tak mau tahu ilmu masaknya didapat dari mana, resepnya dari mbah kakung atau dari mbah buyut, masaknya pakai kayu bakar atau kompor gas, yang penting artikel yang disubmit rasanya enak. Titik. Mereka tidak mau tahu prosesnya karena hanya ingin membaca hasilnya saja. Padahal bagi peneliti atau pemasak, proses dan hasil tidak bisa dipisahkan yang akhirnya melahirkan temuan riset sebagai sumbangsih perkembangan IPTEKS. Apakah sesimpel itu? Tidak.
Sebenarnya memasak bukan sekadar ilmu tampak yang bisa dipelajari. Memasak butuh kesabaran, pengalaman, resep, jiwa, dan kepekaan mengemas rasa. Jika sekadar masak, semua orang tentu bisa. Namun memasak yang penuh jiwa dan rasa tentu jarang. Terlalu banyak memberikan garam, misalnya, masakan tentu akan kacau dan tak enak. Jika tak enak, lalu siapa yang mau makan? Ketika dibuang mubazir dan ketika dimakan sendiri tentu terlalu berlebihan. Maka dibutuhkan kecerdasan memasak data sebagai ikhtiar menghentikan praktik perjokian karya ilmiah.
Menghentikan Praktik Perjokian
Perjokian bisa diputus ketika siklus supply and demand berhenti. Maka yang wajib diberi edukasi adalah semua dosen di negeri ini dengan penguatan kapasitas dan kecerdasan memasak data. Sebab, semua dosen pasti pernah meneliti dan mendapatkan data. Namun tidak semua data itu dipublikasikan dalam bentuk artikel ilmiah bereputasi internasional yang nilainya sangat tinggi untuk syarat menjadi profesor.
Jika hasil riset sekadar menjadi buku, secara proses dan mutu, buku tidak melalui proses peer review ketat. Asalkan penulis memenuhi syarat pengajuan ISBN, kemudian diedit dan dilayout, maka sudah bisa terbit sebuah buku. Berbeda dengan artikel ilmiah di jurnal yang secara jumlah halaman sangat sedikit sekira 8-10 halaman namun prosesnya panjang, bahkan bisa 1-4 tahun untuk terbit. Untuk itu, memasak data dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan yang strategis. Pertama, pemilihan angle artikel dengan judul yang menarik dari data mentah. Judul sangat menentukan kemasan sebuah artikel ketika disubmit. Abdullah (2022) menyebut artikel menarik ketika memenuhi unsur CCTE, yaitu controversy (kontroversi), change (perubahan), trend (tren dan viral), dan emergency (mendesak, urgensi, penting). Jika tidak memenuhi unsur CCTE, maka sebagus apapun data riset yang dimiliki akan tidak menarik bagi editor jurnal internasional.
Kedua, pola atau struktur kalimat harus memenuhi unsur IMRAD atau introduction (pendahuluan), method (metode), result and discussion (hasil dan pembahasan), ditambah referensi. Ketiga, setiap kalimat tidak asal menulis, namun harus disesuaikan dengan gaya selingkung masing-masing jurnal. Minimal, pola pada semua bagian bisa menggunakan PREC, yaitu point (inti), reason (alasan), example (contoh), dan conclusion (simpulan). Artinya, apa yang kita sajikan adalah “daging” bukan hal-hal, temuan, dan informasi yang tidak penting.
Keempat, novelty (kebaruan) yang laik dijual pada skala global. Meski artikel kita sampelnya hanya satu kecamatan, namun ketika kita kontekskan dengan isu global tentu akan menarik. Seperti pengalaman penulis yang kemarin menulis tentang pembelajaran digital melalui aplikasi Maktabah Syumila NU 1.0 yang dikontekskan dengan moderasi beragama dan tawaran baru di pesantren. Novelty ini menjadi prioritas utama dalam setiap masakan artikel.
Kelima, sentuhan pakar dan proofreading sebelum disubmit. Bagi pemula, artikel yang disubmit tentu harus dikonsultasikan. Pengalaman saya membuktikan artikel yang didiskusikan hampir 95 persen diterima di jurnal internasional bereputasi. Dari diskusi itu akan lahir masukan, kritik, dan pandangan lain yang melengkapi olahan naskah kita. Keenam, bahasa yang bagus dengan menggunakan mesin dan teknik manual. Penggunakan mesin atau tools seperti deepl.com, linguee.com, dan grammarly.com bisa benar secara ejaan, namun tools tidak menjamin sesuai konteks. Maka menulis artikel berbahasa asing intinya juga mengharuskan kita menguasai ejaan, struktur, dan logika kalimat dalam bahasa global.
Menulis butuh ketelitian, resep, cita rasa dan rasa itu sendiri. Saya menyebut memasak karena tidak semua data itu layak dihidangkan menjadi sebuah artikel. Data mentah perlu diolah baik itu dari dokumentasi, observasi, analisis konten, wawancara, atau dari teknik pengambilan data yang lain. Setelah masakan jadi, maka kita tinggal submit dan jangan sampai salah submit di jurnal predator. Ketika siklus ini sudah terbiasa maka perjokian akan terputus mata rantainya secara otomatis. Meski sudah ada regulasi yang mengatur, namun ketika SDM dosen tidak dibina, dilatih memasak data, dibiasakan menulis, maka perjokian akan tetap berjalan. Pertanyaannya, lebih penting mana menyalahkan para joki atau memerkuat kemampuan dosen memasak data?
– Dosen dan Wakil Rektor I INISNU Temanggung, Reviewer di Pegem Egitim ve Ogretim Dergisi Turki