Oleh Irna Maifatur Rohmah
Pendidikan merupakan salah satu usaha untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM). Pendidikan juga bisa menjadi wadah untuk mengembangkan serta menggali bakat yang dimiliki anak-anak. Begitu kompleksnya cakupan pendidikan ini menjadi suatu bekal manusia untuk meneruskan jalan hidupnya terkait diri sendiri, masyarakat serta lingkungan di sekitarnya.
Dari sanalah muncul suatu opini bahwa pendidikan dapat membentuk karakter serta keahlian generasi penerus. Maka dari itu, urgensi pendidikan tidak bisa ditinggalkan bagi seluruh umat manusia yang ingin maju dan tidak tertindas peradaban. Maka dari itu, pendidikan memiliki andil yang cukup besar untuk menentukan kelanjutan suatu masyarakat.
Pelaksanaan pendidikan pun tidak serta merta digelar seadanya, namun memperhatikan tujuan output yang akan dibentuk. Sehingga sesederhananya pendidikan memiliki administrasi di baliknya yang tidak semua lapisan masyarakat memahaminya. Begitupula kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan juga mempertimbangkan berbagai hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Layaknya kurikulum dan turunannya, waktu pembelajaran pun harus memperhatikan subjek dan objek pendidikan yang terlibat, di antaranya siswa dan guru.
- Iklan -
Namun, baru-baru ini muncul kebijakan baru khususnya di NTT yang menegaskan bahwa pembelajaran di sekolah dimulai pukul 05.00 WITA. Gubernur NTT menyatakan kebijakan tersebut merupakan upaya untuk memperbaiki SDM di NTT yang masih rendah. Dari sisi tujuannya, gubernur NTT memiliki ide yang apik untuk kebaikan NTT ke depannya. Namun yang kini menjadi perbincangan publik, kebijakannya itu mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak.
Dengan pembelajaran yang lebih awal, siswa harus datang ke sekolah lebih awal pula dan merubah kebiasaannya. Tidak jarang siswa yang mengeluhkan kebijakan tersebut dengan berbagai alasan seperti jam tidur yang terganggu. Siswa dipaksa harus bangun lebih awal meskipun dituntut pula untuk menyelesaikan PR yang diberikan di sekolah. Di awal masih bisa tepat waktu tapi di hari berikutnya telat. Selain itu sulitnya mencari transportasi umum sebab tidak semua ruas jalan dilalui transportasi umum di hari yang masih gelap. Akses jalan yang masih sepi dan rawan kejahatan khususnya bagi perempuan. Dari pihak guru pun merasa dirugikan sebab harus datang lebih awal sedangkan bagi yang sudah berkeluarga, pekerjaan rumah juga sudah siap menyambut di pagi hari. Guru tidak sempat menyiapkan kebutuhan keluarga di rumah.
Orang tua pun tidak menyetujui kebijakan tersebut sebab keamanan yang tidak terjamin di tengah gelapnya pagi. Selain itu, anak belum sempat sarapan dan datang ke sekolah masih dalam keadaan mengantuk. Kesehatan anak dipertaruhkan untuk mendapatkan pendidikan dengan kebijakan baru ini. Kebijakan yang mengadopsi sistem di pesantren atau asrama rasanya kurang cocok digunakan di sekolah umum.
Perserikatan guru pun menolak kebijakan ini. Pasalnya untuk membentuk kualitas output pendidikan bukan ditentukan dari datang lebih awal, lebih kompleks dari itu. Kondisi fisik serta mental siswa dan guru tidak kalah pentingnya. Banyak indicator penentu keberhasilan pendidikan dilihat dari berbagai sisi. Sedangkan kebijakan ini tidak diiringi dengan kajian akademik yang mendalam, keterlibatan public, dan uji coba. Kesalahannya terletak pada kemunculan kebijakan terlebih dahulu dan baru diujicobakan. Tidak jarang guru mendapatkan pesan dari orang tua selepas kebijakan ini muncul terkait keberatan dengan hal ini. Guru khawatir tidak hanya anak yang terganggu kesehatannya namun juga orang tua ikut terganggu.
Di satu sisi pemprov mendukung kebijakan ini dengan menjanjikan peningkatan keamanan di jalur yang rawan. Meskipun ditolak oleh federasi guru, gubernur NTT tetap kukuh untuk mendesain siswa NTT agar lebih kompetitif. Hal ini didasari minimalnya siswa NTT yang tembus di universitas top di Indonesia serta melatih kedisiplinan. Namun alasan tersebut sudah sepantasnya disesuaikan dengan realita di lapangan.
Meskipun tujuan kebijakan itu memiliki tujuan yang baik, mestinya harus diselaraskan dengan kondisi yang ada di lapangan. Kualitas SDM yang masih kurang memang harus segera dibenahi, namun cara yang dilakukan tidak bisa seinstan itu. Jika menilik negara dengan kualitas pendidikan yang baik, mereka malah menerapkan pembelajaran yang singkat dan dimulai lebih siang dari Indonesia. Nyatanya outputnya tidak mengecewakan. Lalu kebijakan itu berkaca pada kebijakan yang mana?
Di satu sisi, gubernur bukan tergolong praktisi pendidikan yang paham dengan pendidikan dan seluk beluknya. Kenapa bisa memutuskan hal tersebut sedangkan dari berbagai kalangan yang berkecimpung di dunia pendidikan setiap harinya malah menolak kebijakan tersebut? Rasanya perlu koordinasi dan komunikasi dengan pihak yang lebih paham dengan kebijakan tersebut sebelum disahkan. Bisa jadi kebijakan itu bukan malah menjadi solusi namun menambah masalah, seperti perbaikan sistem keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
-Irna Maifatur Rohmah, pendidikan UIN Prof Dr KH Saifuddin Zuhri Purwokerto