Oleh: Muhammad Nur Faizi
Ketua Bidang Pendidikan dan Pengkaderan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor Saepudin Muhtar menginstruksikan kepada seluruh kader ulama akan tujuan mereka berpartisipasi dalam perhelatan politik 2024. Beliau berpesan jika politik dari kacamata ulama harus dijadikan wasilah (perantara), bukan ghayah (tujuan) yang harus dipertahankan mati-matian.
Pernyataan Saepudin Muhtar ini bukannya tanpa alasan, namun gejolak politik yang terjadi belakangan ini membuat khawatir sejumlah pihak akan hadirnya politik identitas di Pemilu 2024. Pertama, pergerakan persatuan umat Islam yang beraliran keras yang makin terasa. Hal ini bisa dilihat salah satunya dari Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI) yang beberapa bulan lalu memutuskan ikut meramaikan perhelatan politik di Indonesia. Pergerakan yang diusung oleh GNAI memicu kekhawatiran beberapa pihak akan lahirnya kekuatan baru dari kubu Islam aliran keras yang mempengaruhi kontestasi politik di tahun 2024.
Kedua, ketepatan tahun 2024 dengan momentum runtuhnya Turki Utsmani yang digadang-gadang sebagai basis gerakan khilafah Islam. Momentum ini dapat dijadikan titik balik bagi gerakan khilafah Islam untuk kembali mempopulerkan ajaran khilafah melalui jalur politik. Hal ini dianggap sangat potensial, mengingat semangat mendirikan khilafah yang masih menggebu-gebu dan penguatan balas dendam kelompok khilafah atas pembubaran struktur organisasi keagamaan yang dilakukan pemerintah.
- Iklan -
Fenomena ini juga disoroti oleh DPP Partai NasDem, A Effendi Choirie yang memprediksi kenaikan partisipasi politik Islam dalam Pemilu 2024. Fenomena ini menurut A Effendi Choirie, selain berasal dari faktor internal, juga berasal dari faktor eksternal, yaitu diangkatnya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang dapat dijadikan contoh sebagai model politik Islam. Gerakan Erdogan yang belakangan menjadi perbincangan, menuai komentar positif dan dukungan dari umat muslim di seluruh dunia. Dan tentu saja, pemerintahan yang dibangun oleh Erdogan bisa ditafsirkan bermacam-macam, termasuk kebangkitan khilafah untuk membangun kesejahteraan negara.
Produk Islamofobia
Gerakan Islamofobia dapat dijadikan narasi pemersatu kelompok pengusung khilafah dalam gelaran Pemilu 2024. Hal ini bisa didasarkan pada gerakan pemerintah yang menggencarkan aksi anti-radikalisme dan anti-terorisme, yang ditafsirkan sebagai gerakan memusuhi Islam. Oleh kelompok pengusung khilafah, aksi terorisme dan radikalisme adalah aksi suci untuk memunculkan wajah Islam di masa modern.
Oleh karena itu, apabila pemerintah menggencarkan aksi pemberantasan terorisme dan radikalisme, sama saja dianggap memusuhi Islam itu sendiri. Lahirlah anggapan Islamofobia yang sengaja dibesar-besarkan yang dijadikan kendaraan untuk menjatuhkan sistem pemerintahan yang sudah ada.
Apabila menengok fakta historis ke belakang, narasi penistaan agama di Pilgub DKI Jakarta 2017, menjadi narasi kuat yang menyingkirkan salah satu calon untuk maju sebagai pemimpin terpilih. Maka bukan tidak mungkin, apabila Islamofobia dimunculkan sebagai narasi kuat untuk mendorong umat Islam secara global untuk menjatuhkan pemerintahan yang sudah ada.
Nantinya narasi Islamofobia yang dibangun, akan disusulkan dengan narasi bobroknya demokrasi yang disusun oleh pemerintah. Bagaimana secara bertahap demokrasi melahirkan perilaku korup, yang sedikit demi sedikit menggerogoti kesejahteraan negeri. Kemudian demokrasi juga akan disoroti dari sisi keadilan, dimana rakyat makin terpinggirkan untuk menyuarakan gagasan dan mendapatkan jaminan sosial.
Kompleksitas narasi yang dibangun bukan tidak mungkin akan melahirkan gerakan revolusioner yang masif dari golongan masyarakat kecil. Tindakan provokatif yang dilakukan oleh kelompok pengusung khilafah, menjadi corong gerakan yang merubah stigma berpikir masyarakat secara struktural. Masyarakat menjadi tidak percaya lagi terhadap pemerintah, sehingga dapat dijadikan sebagai senjata kuat untuk menghancurkan pemerintahan dari dalam.
Peran Nahdlatul Ulama Memecah Narasi Islamofobia
Penguatan narasi Islamofobia, tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada lawan tanding yang mencegah narasi tersebut semakin menguat dan menghancurkan sebuah negara. Perlu kontribusi yang sangat besar dari ormas keagamaan di Indonesia untuk turut serta memberikan literasi politik kepada masyarakat agar tidak mudah terhasut oleh provokasi-provokasi kelompok pengusung khilafah.
Organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi dengan basis massa terbesar di Indonesia, mempunyai peran besar untuk mengedukasi masyarakat akan bahaya narasi khilafah. Kedua ormas tersebut dapat menyebarkan narasi Islam rahmah seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw dengan tetap melawan radikalisme dan terorisme yang menularkan kerusakan struktural di semua bidang.
Perayaan satu abad Nahdlatul Ulama yang belakangan dirayakan, dapat dijadikan refleksi untuk kembali membangun kekuatan yang lebih besar. Seperti halnya tema acara yang dibangun oleh Nahdlatul Ulama “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru” adalah seruan semangat untuk memberdayakan kekuatan yang lebih besar untuk mengusir segala hal yang berpotensi merusak keutuhan negara.
Maka peran serta Nahdlatul Ulama menggerakkan masyarakat untuk bersama-sama cerdas politik dan membaca siasat provokasi adalah hal wajib yang harus dilakukan. Nahdlatul Ulama harus memegang komando kerukunan dan persatuan di tengah gejolak politik yang menggelora. Nahdlatul Ulama bisa secara masif menyebarkan tindakan edukatif di sosial media. Kemudian Nahdlatul Ulama bisa melakukan rekontruksi akhlak menggunakan prinsip keteladanan.
Pada akhirnya, perayaaan satu abad Nahdlatul Ulama bisa dijadikan titik balik bagi bangsa Indonesia untuk membangun kerukunan yang kokoh di tengah terjangan politik yang menguat. Nahdlatul Ulama dapat menjadi garda terdepan yang melawan segala macam problematika kerukunan yang disebabkan oleh pihak provokator dan pemecah belah bangsa.