Oleh: Mohammad Sholihul Wafi
Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Akhir-akhir ini, kebhinnekaan kita yang telah berdiri secara mapan sejak era perjuangan kemerdekaan Indonesia, mulai terkoyak dengan beredarnya mudahnya orang mengumbar kebencian di media sosial. Kepada yang sepaham, mereka akan ramah. Kepada yang berbeda, mereka marah-marah. Orang-orang ini seolah menghendaki kesamaan saja serta menafinkan kemajemukan masyarakat kita. Inilah yang disebut oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai musuh dalam selimut. Tentu saja, sikap-sikap demikian ini sangat berbahaya karena dapat memicu pertengkaran dan permusuhan. Terkoyaknya persatuan. Hilangnya kebudayaan kita menjadi manusia yang ramah beradab sebagaimana yang sering kita bang-banggakan.
Untuk itu, sesungguhnya sekalipun budaya kita beragam, pada dasarnya terdapat kesepahaman bahwa keselamatan, kedamaian, keteraturan, ketentraman, dan kemakmuran masyarakat merupakan hal yang harus diupayakan dan diwujudkan bersama. Mengenai ini, sebagai orang Jawa, saya akan menjelaskan salah satu falsafah hidup orang Jawa sebagai katalis yang dapat merekatkan hubungan kemanusiaan. Menciptakan perilaku kedamaian dan keselamatan. Bukan memaksakan buah pemikiran.
- Iklan -
Memayu Hayuning Bawana
Salah satu wujud kearifan lokal masyarakat Jawa yang sering diperdengarkan dan dapat digunakan sebagai jurus jitu menangkal ideologi transnasional yaitu “hamemayu hayuning bawana”. Hamemayu ata memayu itu kata kerja, artinya ‘membuat ayu’ atau mempercantik, memperindah. Hayuning itu kata keadaan, artinya keadaan yang ayu, cantik atau indah. Bawana artinya benua atau bumi. Jadi, arti harafiah dari ‘memayu hayuning bawana’ adalah ‘membuat ayu bumi yang (diciptakan) sudah dalam keadaan ayu’. Kata ‘bumi’ dalam hal ini mempunyai arti ganda, yaitu bumi dan isinya secara fisik atau ekosistem dan kehidupan di bumi. ‘Memayu hayuning bawana’ secara utuh merupakan falsafah, tujuan dan landasan hidup manusia di bumi (ya tentu di bumi, mau di mana lagi).
Falsafah yang diperkenalkan oleh Pujangga Besar Ronggowarsito ini pada dasarnya menjelaskan bahwa menjaga, memperindah, dan menyelamatkan dunia itu merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Hanya saja, ungkapan ini seringkali hanya dianggap sekadar sebagai ungkapan (unen-unen) biasa, tanpa adanya pemahaman dan pelaksanaan menyeluruh. Akhirnya, kita sebagai bangsa Indonesia, yang sejatinya masyarakat berbudaya (termasuk di dalamnya masyarakat Jawa), adapula yang terpengaruh ideologi transnasional yang marak berkembang saat ini.
Sebagai falsafah dan tujuan hidup yang banyak dipakai orang Jawa terutama penganut kepercayaan kejawen, Memayu Hayuning Bawana menganjurkan agar semasa hidup, manusia harus terus-menerus meningkatkan kualitas hidup dan kualitas ekosistem bumi dan jagad raya. Agar, kelak ketika manusia meninggal (mulih mulamulanira) dapat mencapai manunggaling kawula-Gusti dan mengantarkannya menuju sangkan paraning dumadi (menuju asalusul hidup) dengan benar. Dengan bahasa sederhana, Mulder (2001:59) menjelaskan bahwa pengertian memayu hayuning bawana adalah norma ideal menuju kehidupan nyata.
Secara lebih lanjut, hal yang dibicarakan dalam falsafah memayu hayuning bawana ialah mencakup tiga hal berikut. Pertama, berbicara tentang hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. Manusia memiliki kewajiban penting terhadap diri sendiri, agar hidupnya selamat. Prinsip waspada, taat aturan, dan tidak grusa-grusu adalah kunci keselematan diri sendiri. Oleh karena itu, dalam melakukan setiap hal, kewaspadaan, memanfaatkan penalaran, sikap tidak asal-asalan, sabar, dan seluruh hal dilakukan dengan olah rasa, harus didahulukan agar segala hal dapat terselesaikan dengan baik.
Kedua, tentang hubungan antara manusia dan manusia. Dalam setiap bertindak, manusia harus bersikap: (1) sopan santun atau unggah-ungguh harus dijaga baik-baik dalam hubungan sosial; (2) menghormati orang yang lebih tua; (3) menghargai sesama; (4) membina persaudaraan; (5) bertindak tepa salira; dan (6) dilarang banyak mencela, iri hati, tamak, dan sombong.
Jika hal ini dilakukan, maka hubungan sosial dalam keluarga, masyarakat, dan bernegara membutuhkan watak membuat lestari (memayu). Seluruh aktivitas yang dilandasi moralitas luhur akan mengarah pada tindakan karyenak tyasing sesama, artinya membuat pihak lain nyaman. Manusia akan saling berbelas kasihan terhadap sesama sehingga kita dapat membangun harmoni hidup, ketenteraman, dan kedamaian.
Ketiga, berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Perlu dipahami, manusia dikatakan mencapai derajar paripurna apabila di dalam perilakunya dijiwai sifat-sifat Tuhan. Artinya, ketika kita meneguhkan prinsip membumikan sifat-sifat ketuhanan ke dalam diri manusia sebagai pandangan hidup, maka seharusnya kita menyingikirkan watak tercela hanya akan menjadi kerikil hidup. Manusia mampu menjauhi watak buruk itu hidup akan sempurna lahir batin.
Dalam aspek religiusitas ketuhanan tersebut, memayu hayuning bawana juga didasari prinsip kehidupan sepi ing pamrih rame ing gawe. Artinya, keadaan dunia yang selamat, sejahtera, dan bahagia, manusia bekerja tidak lagi didorong oleh kepentinganku, tetapi sepenuhnya didorong oleh kepentingan bersama (Endraswara, 2012). Makna tersebut diwujudkan dalam sikap dan perilaku aktif berbuat kebaikan kepada siapapun dan apapun, termasuk di dalamnya membangun dan memelihara negara Indonesia agar nyaman dihuni oleh semua warga negara. Tidak hanya penganut kepercayaan tertentu saja.
Hamengkubuwana (2011:2) pernah berujar bahwa dalam kondisi kehidupan bangsa yang berat ini, generasi muda Indonesia harus bangkit membangun optimisme dengan semangat mengedepankan akhlak atau moral sebagai pendorongnya. Maka, berpegang pada falsafah memayu hayuning bawana, seharusnya kita bersama-sama bahu-membahu membangun relasi-relasi sosial yang harmonis. Jauh dari hiruk-pikuk hate speech dan keinginginan mencela mereka yang berbeda. Indonesia milik kita bersama. Kita semua wajib menjaganya agar nyaman dihuni bersama-sama. Wallahu a’lam.