Oleh: Vito Prasetyo
Frasa kata atau istilah yang menyebutkan era pencitraan sebetulnya bukan padanan kata yang tepat. Tetapi saat ini hampir setiap hari bermunculan istilah baru, yang mungkin hanya satire pemikiran orang. Pada umumnya agar istilah yang disampaikan menjadi ketertarikan bagi pembaca atau pendengar. Dalam konteks sosial kini, sebuah istilah dapat memengaruhi interaksi sosial.
Istilah yang menghubungkan satu dengan lainnya, dianggap terasa pas untuk diucapkan, bukan pada pertimbangan menjaga tata bahasa. Persoalan etimologi kata (asal usul kata) adalah serapan bahasa yang tidak harus dicari dalam kaidah bahasa. Nah, jika istilah itu mengalami pro dan kontra dalam masyarakat, maka sebuah alibi pembenaran ada pada logika, bukan pada teorema analitik. Apakah ini bagian dari revolusi bahasa, atau karena logika pemikiran kita yang belum mampu menerjemahkan esensi modernisasi?
- Iklan -
Frasa kata, yang kesehariannya dihubungkan dengan pengamatan kondisi sosial, dianggap sah-sah saja untuk diucapkan. Karena memang dalam ukuran masyarakat, tidak ada indikator jelas untuk runutan penyusunan dalam berliterasi secara benar. Tugas ini dianggap bagian dari kerangka edukasi secara umum di lembaga pendidikan. Integrasi pedoman literasi, linguistik dan pedagogik sering dianggap sebagai transisi dari cara-cara manual ke transformasi digital.
Sebagaimana referensi dalam berbahasa, tanpa kita sadari ada banyak penalaran yang salah. Apa yang dikatakan sebagai Logical Fallacy ialah kekeliruan penalaran dalam aktivitas berpikir dan penyalahgunaan bahasa dan/atau relevansi materi secara disengaja maupun tidak. Salah satu penyebab terjadinya kekeliruan dalam penyalahgunaan bahasa karena pemilihan terminologi (istilah).
Jika ditelisik lebih dalam, maka apa yang diistilahkan sebagai “era pencitraan” adalah sebuah materi pemilihan premis dari proporsi yang salah atau penyimpulan premis yang tidak tepat, sehingga penggabungan frasa kata di atas, hanyalah berdasarkan rekaan analogi pemikiran, yang mencari pembenaran dengan simpulan pas dalam pengucapannya.
Disini, penulis pun bertanya-tanya, sebetulnya istilah ini dipopulerkan oleh siapa, kemudian bagi masyarakat yang menghubungkan dengan kondisi kekinian, dianggap sah-sah saja dan terasa pas dalam pendengaran. Tentu banyak sekali istilah-istilah yang sangat sering digunakan tanpa kita ketahui dari mana asalnya. Jika ini dianggap sebagai pengembangan berbahasa dalam konteks modernisasi, tentunya ada sisi positif bagi kosakata bahasa Indonesia.
Dalam sidang tahunan, pada Badan Bahasa Kemendikbud menjadi tugas sidang komisi istilah, untuk menetapkan padanan kata bahasa asing baru diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dimana tujuannya untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia melalui pengindonesiaan istilah asing dalam bidang ilmu tertentu. Faktanya, ada beberapa ilmu dan sains yang diucapkan masih menggunakan bahasa asing tanpa ada padanan bahasa Indonesia. Sebagai contoh seperti kata: virtual, daring, dan lain-lain.
Lebih lanjut, kata virtual memiliki sinonim maya, sementara kata daring adalah akronim (singkatan) dari kata dalam jaringan. Jika kita melihat istilah yang merupakan singkatan dan diucapkan dalam pelbagai konteks, seperti misalnya gabut (gaji buta), baper (bawa perasaan), dan lain-lain, menunjukkan betapa kita masih miskin dengan perbendaharaan kata baku yang sesuai penggunaan kata (baca: literasi) secara benar.
Alih teknologi, yang sering menjadi salah satu alasan pembenaran dalam pengembangan bahasa, seharusnya lebih selektif dalam memperkaya khazanah literasi kita. Dampak yang sangat drastis dalam mempertahankan bahasa ibu (daerah) semakin kritis, bahkan di beberapa daerah nyaris mengalami kepunahan. Ini karena penyerapan bahasa lebih bersifat praktis dan berbasis kecepatan dalam informasi. Yang akhirnya, dalam lingkup sosial menjadi pilihan untuk menggunakannya.
Bisa jadi, pengertian serta pemahaman modernisasi menjadi sebuah kondisi yang mengesampingkan unsur-unsur tradisi bermuatan lokal. Sehingga dengan makin banyaknya istilah-istilah asing yang digunakan seolah-olah tingkat intelektual seseorang makin nampak, dan dianggap pencerminan arus modernisasi.
Konsep awal bahasa sangat jelas, yakni sebagai alat ukur dalam berkomunikasi bagi masyarakat. Tetapi jika mengacu pada terminologi bahasa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 63 Tahun 2019, bahwa Bahasa Indonesia yang digunakan harus sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia. Dan penggunaan Bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Konteks ini juga termaktub bahwa Bahasa Indonesia yang digunakan, sesuai dengan konteks berbahasa dan selaras dengan nilai sosial masyarakat.
Perpres Nomor 63 Tahun 2019 adalah merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa dan lambang negara. Jadi persoalan bahasa dan pengembangannya, seyogianya harus memperhatikan aspek-aspek regulasi dan aturan (landasan hukum), tetapi bukan berarti menolak pengembangan bahasa sesuai era yang dihadapi. Disini, dalam kacamata kebutuhan, apakah penggunaan alih teknologi harus sebanding dengan penyerapan istilah bahasa?
Bahasa, yang dikatakan sebagai identitas sebuah bangsa, adalah kerangka sistem yang sangat penting dalam pembangunan bangsa. Artinya nilai dan unsur kedaerahan juga harus terpelihara. Kita tidak akan mungkin menghapus riwayat sejarah bangsa, sehingga memiliki konsep semata-mata hanya melihat tantangan ke depan yang dihadapi. Riwayat ini telah mencatat bahwa menyepakati Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu nusantara, merupakan tonggak sejarah yang tetap kokoh berdiri.
Maka juga menjadi penting, bagaimana dalam pengembangan bahasa juga melakukan upaya-upaya perlindungan dan kelestarian bahasa, termasuk bahasa daerah (lokal). Ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan Pembinaan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.
Kondisi masa kini memang menjadi sebuah dinamika yang begitu pesat, terutama pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Kondisi dimana kita menghadapi perubahan-perubahan, baik sosial, budaya, transformasi pemikiran serta juga tantangan ekonomi. Kondisi ini juga mempengaruhi perubahan tekstur bahasa, meski bukan sebuah alasan pembenaran, karena tidak memiliki indikator jelas (subjektif).
Yang jelas, pola dan tata cara kehidupan sehari-hari juga akan mengalami perubahan atau pergeseran, termasuk di dalamnya penggunaan bahasa sehari-hari. Konsep modernisasi atau juga modernitas pemikiran, mengalami pola grafik yang cukup sulit digambarkan, karena penjabarannya menjadi lebih mudah melalui bantuan teknologi digital. Perubahan konsep dan pola ini, menjadi alat pencerminan manusia sebagai makhluk sosial untuk bertransisi dan bertransformasi. Hanya saja, cara edukasinya sering meninggalkan prinsip ke-bahasa-an yang baik dan benar.
Konsep era modern sering diaktualisasikan memiliki analogi dengan budaya pencitraan, meski dalam konteks utuh budaya, tidak mengenal apa yang dikatakan sebagai pencitraan. Budaya yang selalu dibangun dan dilestarikan dengan nilai-nilai sakral, tentunya tidak harus dibaca secara subjektif. Kelenturan budaya, salah satunya melalui pengembangan bahasa dan seni daerah melalui pendekatan dan pemikiran humanis.
Merujuk konsep pemikiran Soedjatmoko (intelektual dan antropolog, 1922-1989), yang melihat kedudukan bahasa tidak terlepas dari dimensi sosial dan kemanusiaan. Maka realitas sosial yang dihadapi bisa menjadi gesekan dari perubahan-perubahan sosial, terutama karena adanya iklim dinamika politik. Salah satu cara edukasi dalam konteks ini, adalah sosialisasi dimana di dalamnya juga memuat kepentingan-kepentingan secara pribadi. Bentuk ini dimaknai sebagai sebuah pencitraan. Meski klausul yang didasarkan teorema analitik bukan sebagai alat indikatornya.
Sebuah pencitraan, yang sudah menjadi relaksasi zaman, tidak lagi mempertimbangkan apakah akan terjadi kerusakan bahasa (termasuk bahasa daerah) atau bahkan bahasa tergerus dan punah, seakan membiarkan zaman yang menjawabnya. Teknologi yang berkembang, terutama digital, akan menjadi sangat efektif digunakan untuk mencapai tujuan pencitraan. Penggiringan opini publik bahkan sampai pembodohan publik, menjadi cara praktis dengan menggunakan trik bahasa yang mengindahkan kaidah bahasa.
Keterbatasan pemikiran seseorang dalam penggunaan bahasa, bisa menimbulkan kerancuan bahasa. Terutama kata-kata yang menimbulkan provokasi sektarian dapat membuat penangkapan pembaca atau pemirsa menjadi sesat. Kekeliruan ini, sering diistilahkan sebagai paralogisme. Sepintas penggunaan istilah bahasa seolah-olah benar tetapi sesungguhnya keliru. Maka pengkajian disiplin ilmu tentang bahasa harus melihat objek yang tepat, tidak hanya mengandalkan nalar logika manusia tanpa mengerti terminologinya.
Objek disini dapat berupa disiplin ilmu yang mencakup logika, dialektika hingga proseduralnya. Seyogianya, bahasa dalam konteks era pencitraan hanya menjadi alat, karena adanya logical fallacy (kekeliruan penalaran). Bukanlah objek dari sebab-akibat terjadinya disfungsi bahasa. Kita hanya bisa berharap, kedudukan bahasa terutama dalam penggunaan istilah, tidak membuat dampak negatif yang lebih besar dalam penjagaan dan perlindungan bahasa Indonesia. ***
*) Penulis adalah sastrawan dan peminat bahasa