Oleh Aqil Husein Almanuri
Beberapa waktu kemarin saya sempat ngopi dengan salah seorang teman saya yang telah memiliki jam terbang tinggi dalam dunia kepenulisan. Pengalamannya sebagai seorang jurnalis tentu sangat bisa membuatnya memilah dan memilih tulisan mana yang dikatakan layak dan tulisan mana yang masih berada pada taraf pemula (untuk tidak mengatakannya buruk). Terlebih dia sekarang sedang mengelola web media online yang cukup masyhur di kotanya.
Pembicaraan kami—yang saya ingat betul—adalah perihal kecenderungan mahasiswa di kampus saya yang marak menerbitkan buku secara serampangan, tanpa sebelumnya melihat substansi dan esensi dari bukunya sebelum diedarkan. Yang terpenting, dia memiliki karya yang dibukukan, dibaca (setidaknya) oleh teman-temannya, dikenal sebagai penulis buku, menambah deretan profilnya, dan sebagai cara mendapatkan popularitas. Naifnya, beberapa karya receh itu dibedah layaknya karya best seller.
Bahkan beberapa dari mereka sama sekali tidak mempedulikan kelayakan tulisan untuk nantinya dipasarkan sebagai bahan bacaan, baik dari segi pesan atau tata bahasa yang disajikan. Mereka bahkan rela membayar mahal penerbit indie untuk menerbitkan karya-karyanya yang seringkali masih berada di bawah standar.
- Iklan -
Royyan Julian, ketika menjadi pembicara dalam seminar literasi yang diadakan oleh Lembaga Pers Activita juga pernah menyinggung realitas demikian. Penulis buku Pendosa yang Saleh itu juga mengaku pernah membeli buku dengan kualitas tulisan yang sangat rendah. Diksi di dalamnya—kata Royyan—masih sangat kurang bahkan cenderung kocar-kacir. Jika boleh saya membahasakan penjelasan Royyan, buku itu tidak layak dikonsumsi.
Apa yang terjadi kepada Royyan juga pernah saya alami, saya juga pernah membaca (meskipun tidak sampai membeli) buku yang ditulis oleh salah seorang senior saya. Sedikit informasi, senior saya ini sering menerbitkan buku. Buku-bukunya pun laku dibeli oleh teman-teman karibnya, teman-teman sekampus, atau bahkan mungkin teman organisasi.
Dengan berbekal pengalaman saya mengikuti beberapa kelas menulis puisi, perlombaan meskipun jarang juara, pelatihan-pelatihan kepenulisan, dan dari hasil membaca buku-buku antologi puisi yang diterbitkan oleh penerbit mayor, saya melihat buku tulisannya masih kurang, bahkan sangat jauh. Saya menilai diksi yang cenderung dipaksakan, klise, monoton, dan bahkan terkesan seolah sedang membaca puisi anak-anak Sekolah Dasar (SD).
Realitas itu yang membuat saya berada pada fase antara mau cengengesan atau mungkin akan menyayangkan. Saya juga mengalami semacam ambiguitas, satu sisi saya harus mengapresiasi semangat para penulis indie. Namun di sisi lain, saya tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa buku-buku itu memang masih di bawah standar.
Nasib Pembaca
Bagi yang belum tahu, dalam dunia penerbitan, ada dua penyebutan untuk penerbit, yaitu penerbit mayor dan penerbit indie (self publishing). Persamaan antara keduanya adalah sama-sama menerbitkan buku dari penulis-penulis. Lalu bagaimana perbedaannya? Pada penerbit mayor, karya penulis yang masuk akan dikurasi, ada semacam seleksian yang cukup ketat. Ketika lolos kurasi pun, penulis yang karyanya diterima untuk dibukukan, harus menunggu waktu berbulan-bulan. Namun, dia tidak harus membayar uang penerbitan.
Berbeda dengan penerbit indie, penerbit ini ada untuk mewadahi penulis pemula. Tak ada sistem kurasi, barangkali hanya tahap editing ejaan dan salah ketik. Tak ada kurasi khusus atau seleksi terhadap tulisan yang masuk, yang penting sesuai dengan persyaratan (biasanya ada ketentuan banyak halaman) dan lainnya, termasuk biaya penerbitan.
Jadi, pada penerbit indie, penulis bebas menerbitkan tulisannya (pasti lolos tanpa seleksi) asalkan membayar uang penerbitan dan percetakan. Inilah yang disebut sebagai self publishing. Berbeda dengan penerbit mayor, yang untuk diterbitkan harus dikurasi dan waktu yang dibutuhkan pun biasanya relatif lama.
Yang perlu dipahami pada tulisan ini adalah saya tidak sedang mempermaslahkan keberadaan penerbit indie. Saya bahkan bersyukur beberapa penulis pemula bisa membukukan karyanya pada penerbit ini. Karya-karya layak yang tak sempat masuk dalam kurasi penerbit mayor, akhirnya bisa berlabuh pada penerbit ini, meskipun harus mengeluarkan biaya cetak sendiri.
Di sini saya ingin meletakkan kekhawatiran saya pada pembaca. Jika dianalogikan dalam sebuah prinsip ekonomi, pembaca itu adalah konsumen. Sedangkan penulis adalah produsennya. Maka, barang (tulisan) yang akan didistribusikan juga harus layak untuk menjaga konsumen tetap sehat. Sebab, sebuah pernyataan yang barangkali klise bahwa buku memiliki kekuatan yang maha dahsyat.
Mukti Ali dalam bukunya sempat menyinggung buku Gurita Cikeas miliknya George Junus. Buku tersebut sempat membuat geger keluarga Cikeas. Jagat politik pada saat itu—tepatnya di masa presiden Susilo—dibuat geger hanya dengan rangkaian kata-kata yang ada dalam buku tersebut. Atau yang baru-baru ini santer terdengar mengenai buku berjudul “Jokowi undercover”, juga sempat membuat hiruk-pikuk, utamanya dalam elemen perpolitikan.
Kembali lagi, melihat kepada bagaimana sebuah buku bisa berpengaruh besar kepada pembacanya, maka para penulis hendaknya meletakkan kehati-hatian dalam menulis atau bahkan mempublikasikannya. Isi yang disuguhkan harus benar-benar menjadi nutrisi bagi otak.
]Diibaratkan produsen, jadilah produsen yang memang benar-benar menjaga kualitas barang, sekalipun tidak melewati pemeriksaan BPOM (baca; proses kurasi). Sehingga konsumen tetap merasa aman dan nyaman. Selain itu, agar konsumen (dalam hal ini pembaca) tidak terlanjur membayar mahal untuk karya yang memiliki kualitas kurang baik. Wallahu a’lam…
-Aqil Husein Almanuri, Menulis di beberapa media, seperti: Radar Madura, Radar Banyuwangi, Harian Bhirawa Surabaya, Koran Analisa Medan, Koran Momentum Lampung, Harakatuna, Iqra.id, Duniasantri, dll.