Oleh: Muhammad Nur Faizi
Setiap malam Sabtu ada kegiatan Musyawarah Kitab di Pondok Pesantren saya. Momen ini menjadi agenda tukar pikiran dengan seluruh santri dengan berbagai tingkatan ilmu yang berbeda. Banyak santri yang beradu argumen tentang persoalan yang sedang menjadi pembicaraan. Kutipan-kutipan dari ulama ternama yang terdapat dalam kitab klasik mulai disebutkan untuk memperkuat pendapat yang diutarakan.
Bagi saya, ini menjadi semacam kegiatan yang menyenangkan. Saya yang masih awam dengan dunia Pesantren, takjub akan program diskusi semacam ini. Beruntung saya bisa menimba ilmu dari para santri serta ustaz yang memiliki pengalaman mendalam dalam bidang keagamaan. Memoriar semacam ini hampir sama seperti saya melakukan diskusi dengan para tokoh ternama.
Saya masih ingat, dalam organisasi kampus, biasa saya diajak berdiskusi dengan mengundang tokoh-tokoh istimewa. Disitu saya banyak bertanya tentang hal-hal yang biasa mereka jadikan fokus pembelajaran. Saya mencatat sebagian, kemudian saya mencari referensi dan bertanya kembali apabila dirasa masih kurang. Cakrawala yang luas perlu dijelajahi dengan membawa bekal pengalaman yang didapatkan dari menimba ilmu mereka. Keadaan diskusi, baik mengenai keagamaan maupun ilmu umum, adalah hal yang istimewa untuk mencapai suatu pencerahan.
- Iklan -
Namun dalam acara Musyawarah Kitab di malam itu, saya merasakan sesuatu yang berbeda. Tiba-tiba terbesit dalam benak saya, akan ucapan tetangga di kampung yang berkenaan tujuan “Mondok” itu sendiri. Saya pernah mendengar celotehan tetangga yang mengatakan, “Buat apa nimba ilmu agama tinggi-tinggi, jika hanya untuk minteri (merasa tau segalanya), tanpa peka terhadap orang lain”.
Jelas perkataan tersebut menjadi tantangan sekaligus peringatan bagi saya, agar tidak hanya menjadi orang yang pintar, namun juga bisa menggunakan kepintarannya untuk kemaslahatan masyarakat. Dalam deduksi kalimat tetangga saya, jelas pengalaman hidup yang dihadapi olehnya, memberikan gambaran akan keangkuhan orang yang berilmu, yang hanya menyombongkan ilmunya. Rakus akan pujian, pangkat, popularitas, sehingga melupakan tugas dari kekayaan ilmu itu sendiri, yaitu mengamalkannya.
Maka dalam kegiatan Musyawarah Kitab di malam itu, sembari berpikir menyiapkan jawaban dari permasalahan yang dibahas, saya juga berpikir cara termudah untuk menjelaskannya kepada seluruh peserta. Bagi saya, menjelaskan jawaban secara sederhana adalah langkah pertama untuk mengamalkan ilmu yang didapat. Semakin sederhana saya menjelaskan jawaban, maka semakin mudah pula para peserta untuk menangkapnya.
Hal yang kadang terlupa dari pengamalan ilmu adalah penjelasan yang mudah dimengerti. Tidak sedikit kita bisa menemukan ulama-ulama yang memilih menggunakan bahasa-bahasa mentereng untuk menjelaskan suatu permasalahan. Padahal pola pikir masyarakat belum sampai pada tahap keilmuan mereka. Sehingga yang sering terjadi, masyarakat tidak tercerahkan dan malah semakin bingung atas konteks permasalahan yang ada.
Kita dapat mencontoh gaya ceramah dari Gus Baha’. Selama ini sosok Gus Baha’ sangat disegani dan ditunggu-tunggu kehadirannya untuk menjawab permasalahan-permasalahan di sekitar masyarakat. Pada umumnya, gaya menjawab Gus Baha’ sangat sederhana, bahkan tidak jarang menggunakan analogi-analogi khusus yang membantu pemahaman masyarakat. Analogi yang digunakan Gus Baha’ biasanya berasal dari tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Dengan begitu, masyarakat lebih terbantu untuk memahami jawabannya.
Meskipun terlihat mudah dan teoritis, sebenarnya gaya ceramah yang dibangun oleh Gus Baha’ dibentuk oleh kebiasaan beliau mengamati konsep sosial selama bertahun-tahun. Apa yang dipaparkan oleh Gus Baha’ biasanya sedikit banyak beliau terlibat permasalahan disana. Tidak kaget, jika misalnya detail-detail kecil dalam permasalahan mampu beliau temukan, karena keterlibatan serta kedalaman berpikir yang beliau miliki.
Sebenarnya apa yang dipraktikkan oleh Gus Baha’ ini sering saya sebut sebagai “Ilmu Rasa”. Suatu ilmu yang tidak bisa dipelajari melalui konsep teoritik belaka, namun harus dipraktikkan dan mengikuti perkembangan zaman. Ilmu rasa bagi saya menjadi seni untuk memahami berbagai macam karakter yang berbeda. Dan ini menjadi tantangan pengaplikasian ilmu oleh orang-orang yang sudah mempunyai kesempatan mengenyam keilmuan yang tinggi. Pun mungkin konsep inilah yang dimaksud oleh tetangga saya. Bahwa seorang yang mempunyai ketinggian ilmu, sejatinya lebih mampu memahami sesama. Lebih mampu menghargai, atau bahkan menyelesaikan permasalahan dengan lebih elegan.
Pada praktiknya, seorang yang mempunyai ketinggian ilmu dituntut terjun dalam tengah-tengah masyarakat. Melepaskan segala bentuk kesombongan diri atas ilmu yang dia miliki. Karena dengan begitu, seorang intelektual sejati mampu melihat permasalahan secara mendetail dengan mendengarkan dan menyaring tanggapan-tanggapan yang masuk dari masyarakat.
Sebab “Ilmu adalah cahaya” dalam sebuah hadits, dirinya harus menjadi pelita atas kesemprawutan polemik yang terjadi. Apabila cahaya tersebut menjauh dari tengah-tengah masalah, maka tersesatlah seluruh pehuninya. Namun jika cahaya itu mau mendekat di kerumunan kegelapan, maka teranglah seluruh wilayah tersebut.
Oleh karena itu, esensi dari ilmu adalah mengamalkannya. Tidak hanya sebagai ajang untuk memamerkan diri atau berbangga diri. Namun ilmu adalah alat untuk menata kondisi sosial yang terang tanpa adanya permasalahan. Apabila semua intelektualis mau mengabdikan dirinya dan mau mempelajari ilmu rasa, maka dunia akan terang benderang diterangi oleh keagungan keilmuan. Amin ya Rabbal alamin.