Oleh: BENI SETIA
NOVEL ALBERT CAMUS, Sampar (terjemahan NH Dini, Yayasan Obor, 1985) menempati posisi yang unik dalam hidup saya, mungkin karena bercerita tentang karantina pada sekelompok orang di sebuah kota, karena epidemi, menempati posisi yang khusus di dalam masa kanak saya. Bapak—selain perpustakaan sekolah, yang berupa selemari buku, terpaksa dibawa ke rumah karena sekolah (tingkat SD) tidak aman untuk menyimpannya—suka bercerita tentang pengalaman saat istri pertamanya diisolosi—di satu kampung, dan ia tidak bebas menguunjunginya—, karena wabah pes. Cerita itu mungkin merujuk ke zaman kolonial Belanda, tapi aku jadi penasaran ingin mengetahuinya—mencari data tentang hal itu, dan ingin menulisnya sebagai sebuah cerita.
Tapi tak kesampaian, meski saya telah dipuaskan dengan novel Albert Camus—Sam-par. Dan di tengah epidemi corona, saya kembali ingat pada masa kecil itu, dan ingat kepada novel itu—seorang teman, seorang lulusan seminaris, di sekitar awal paruh pertama 1970-an, pernah cerita bahwa novel itu pernah jadi bahan kajian dan diskusi, dan mendapat tahu bahwa ide intinya itu berbahaya bagi ajaran kristen. Tapi tentang apa? Di segi apa? Dan karenanya saya ingat buku Idnace Lepp, Ateisme Dewasa ini: Potret kegagalan manusia modern, terbit-an Shalahuddin Pers 1985, terjemahan Sayyid Umar dan Edy Suryanto, yang aslinya dalam bahasa Prancis dan yang diterjemahkan mereka dari versi bahas Inggrisnya. Karya dari seo-rang komunis yang berubah jadi katolik, dan karenanya amat menarik untuk disimak.
- Iklan -
Bahwa novel Sampar itu bercerita tentang penyakit pes, yang biasanya berjangkit pada tikus dan ditularkan oleh tikus, tiba-tiba bisa hinggap pada manusia, dan bhkan bisa ditular-kan oleh manusia ke manusia lain—dengan pertanyaan penting, bagimana penyakit yang bia-sa ada pada binatang bisa ditularkan pada manusia tidak dipermasalahkan. Di semua hal itu yang juga terjadi pada AIDS—katanya sindroma itu biasa terjadi pada kera, yang suka disan-tap mentah. Itu yang yang terjadi pada Corona—sesuatu yang hanya menjangkiti kelelawar atau ular tiba-tiba bisa pindah kepada manusia, dan kemudian bisa ditularkan manusia kepada manusia lain. Itu yang menyebabkan ada anggapan, bahwa Copid 19 itu serum penyakit yang dibiakkan Cina dan dipersiapkan untuk satu perang kuman, tapi tak sempurna terisolasi dan bocor. Benarkah! Tidak penting—dan sampai saat ini belum ada obat penangkalnya, bahkan vaksin buat merangsang lahirnya anti bodi pendukung īmunitas. Yang terpenting adalah, manusia harus terus melawan sergapan virus itu dengan ketahanan tubuh dan anti-bodinya sendiri, karena itu penyakit harus diisolasi agar melemah serta musnah sendiri—lahir kebi-jaksanaan lockdown.
Tapi apa hanya itu cara untuk melawannya—sambil menunggu vaksin ditemukan dan ada obat mustajab untuk mengobati yang terpapar, seperti yang disinggung Samparr.
****
NOVEL Albert Camus, Sampar, bercerita tentang lockdown—sebelum serum anti-epidemi ditemkan. Tak heran kalau novel itu bercerita tentang banyak tokoh dan gambaran tokoh tokoh tersebut ketika mengalami lockdown—, bahkan dalam menghadapi bencana yang dilimpahkan Allah pada manusia, dan mungkin karena itu maka novel ini potensial merusak cara manusia dalam menghikmati dan mrnghadapi musibah secara khas agamawi, dan kare-nanya dianggap membawa paham dan filosofi yang berbahatya bagi iman. Tapi macam apa itu? Sebenarnya novel itu berbicara tentang banyak tokoh dan bagaimana tokoh itu mereflek-sikan ide filosofis hidup Alber Camus, yang dianggap berbahaya menurut Ignaze Lepp.
Ada Rambert, sang narator, yang merefleksikan alterego Albert Camus. Albert Camus yang selalu beranggapan bahwa manusai dilemparkan ke kancah nasib, dan si nasib itu tanpa motif dan seperti tanpa tujuan, yang seakan dibuat Tuhan, agar manusai berkeluh-kesah dan tak berbahagia. Tapi haruskah manusia tidak bahagia dengan hidupnya, di tengah banjir nasib yang tidak menentu itu? Bagi Albert Canus, untuk bisa berbahagia, manusia harus melawan ketentuan takdir, sehingga ia bisa lebih besar dari nasib buruk itu, dan sekaligus lebih teguh dan tangguh dari si yang memberi nasib. Maka tîdak heran kalau warna utama novel Sampar adalah perang melawan nasib buruk itu, perang melawan musibah itu—dan untuk menunjuk-an bahwa manusia tak pernah mau menyerah pada nasib. Dan semua tokoh yang dihidupkan Albert Camus, dalam novel ini, adalah yang melawan nasib—atau terilhami untuk melawan.
Tarrou, relawan yang hanya ingn membantu dan meringannkan derita orang lain, dan berjuang untuk melawan nasib—dan hidup dalam kebimbangan, apa ini musibah dan berasal dari Allah, karenanya harus diterima, atau itu hanya keisengan yang harus dilawan agar bisa lebih besar dari hukuman dan penghukum. Lantas ada (Romo) Pameloux, yang beranggapan bahwa epidemi itu takdir, bencana yang harus diterima dengan besar hati agar bisa dihikmati sebagai cobaan dari Allah—agar manusia bisa tobat Pikiran itu guncang saat Philippe, yang masih muda, saleh, dan relatif suci kena pes dan meninggal. Apa bencana itu tak ada hubung-annya dengan keimanan? Dan karenanya (hanya) harus dilawan, hingga vaksin dan obat dike-temukan dan penyakit pes kalah? Dan manusia kembali bebas dan terbukti lebih perkasa dari musibah dan si pemberi musibah? Atau tak memerlukan motif apa-apa—religi atau sekuler—, seperti Grand yang merasa berbahagia bisa melibatkan diri dalam musibah, karena ia bisa memetik keuntungan dari kebingungan orang yang kena musibah dan tidak mau diisolasi—di akhir cerita, ketika pes telah mereda dan obat diketemukan ia kena dan meninggal.
Atau doktor Bernard Rieux, yang melibatkn diri sebagai yang berkepentingan de-ngan adanya epidemi itu. Mengusahakan obat, dan seterusnya, berjuang untuk melawan epi-demi, melawan penyakit, melawan musibah, dan bahkan pemberi musibah—ia kena tapi obat telah diketemukan, disuntik, dan sembuh sebagai orang terakhir yang sakit. Dan ketika sem-buh ia berkeliling kota, dan menemukan tikus kembali giat beranak-pinak, berkembang biak dan tak membawa virus pes hingga pes itu surut kembali ke bawah tanah—mungkin ke dasar neraka—, dan manusia serta tikus telah terbebas dari musibah.
****
LOCKDOWN adalah upaya agar bibit penyakit tak menular dari satu orang ke orang lain, bahkan dari manusia ke binatang, dan bahkan antar binatang dan antar manusia, karena belum diketemukan obatnya. Jadi biarkan penyakit itu merajalela, dan dibiarkn dalam lokasi tertentu tanpa bisa punya kesempatan untuk menulari yang lain. Apakah itu tanda keputusasa-an manusia? Apakah itu cara yang tepat bila orang Jawa—bahkan orang Indonesia—, sangat tak berkenan pada individualisme. Jalan ke luar yang terpaksa diambil sebagai jalan darurat, yang bahkan dikencangkan dengan social distant—padahal mereka terbiasa (selalu) bertemu dan berkumpul dengan orang lain? Hal yang menyebabkan warung kopi ada di mana-mana, yang menyebabkan Pos Kamling jadi warung dan tempat kongkow sambil menenggak arak oplosan? Mungkin hal sia-sia, saat jalan ke luar lockdown itu diperkenankan, karena yang penting bagi orang Indfonesia itu kumpul dan berkumpul—serta homeschooling atau work from home dinggap hanya retorika untuk bisa libur sambil tidak ke luar rumah—dan karena mungkin akan lahir babybooming baru.
Di titik ini novel Sampar membuat kita percaya bahwa ada yang lebih berbahaya dari bahaya dan sergapan tak berampun kematian fisik—dan itu adalah kematian iman, perlawan-an membuta untuk meniadakan Tuhan dan merelatifkan agama. Memang!****