Oleh Yuditeha
Pertama kali saya mendengar pernyataan “Guru Turun Derajat” adalah setahun lalu, yang hal itu disampaikan oleh Ibu Lestia Primayanti, supervisor presisi pusat. Ketika itu kami, para fasilitator program presisi sedang mengikuti Training of Trainer (ToT) untuk bekal bertugas di sepuluh sekolah di Karanganyar. Penyelenggara program ini adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, di mana pelaksanaan untuk tahun ini baru saja dimulai. Hari Rabu kemarin, tanggal 15 Juni 2022 telah menyelesaikan tahap workshop bagi guru-guru yang sekolahnya terpilih untuk mengikuti program tersebut.
Artikel berikut tidak membahas tentang apa itu program presisi, karena untuk terkait hal ini telah banyak dibahas, bahkan telah menjadi bagian agenda kerja dari Kemendikbud RI. Informasi lebih detail mengenai program presisi dengan mudah didapat pada berbagai pemberitaan di internet, termasuk media sosial. Meski begitu agar kita punya modal untuk membaca maksud dari tulisan ini, tidak ada salahnya bila saya sertakan penjelasan singkat mengenai hal itu. Program Presisi adalah sebuah inovasi pembelajaran berbasis budaya. Sebuah program pembelajaran kontekstual, di mana semua aktivitas pembelajaran itu mengarah kepada penguatan karakter siswa melalui kreasi seni.
- Iklan -
Menilik jauh ke belakang, sebelum program presisi dicetuskan, ada kenyataan bahwa sistem kerja guru telah menjelma menara gading. Keadaan itu sudah berlangsung lama, bahkan seakan-akan menjadi kerangka kerja baku bagi para guru, yaitu guru dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar yang diandalkan oleh murid. Pernyataan ini membawa pengertian atau bahkan menjadi semacam keharusan bahwa guru harus tahu segalanya, meskipun pada kenyataannya jarang kita temukan guru yang mempunyai kapasitas seperti itu.
Jika ditilik lebih dalam keadaan tersebut sesungguhnya mengandung pengertian bahwa tuntutan guru harus tahu segalanya, yang dalam hal ini terkait kebutuhan murid akan semakin tidak rasional, terlebih pada zaman milenial, di mana perkembangan bidang digital dan media online semakin maju pesat. Berdasarkan acuan tuntutan tersebut, ketika program presisi hadir, di mana guru berperan sebagai fasilitator, maka muncullah ungkapan “Guru Turun Derajat”.
Pernyataan bahwa “Guru Turun Derajat” di sini rupanya bukan berkonotasi buruk, bahkan bisa jadi justru berlaku sebaliknya, bahwa posisi guru sesungguhnya telah diangkat pada tempat yang benar. Penjelasannya seperti ini, pernyataan bahwa guru telah turun derajat berasal dari kenyataan bahwa tuntutan guru harus tahu segalanya tidak relevan lagi bagi zaman, bahkan sebenarnya keadaan ini sudah tidak relevan dari sejak dulu. Kini guru harus rela tidak lagi dianggap sebagai manusia super yang keadaannya serba tahu. Penempatan posisi guru yang seperti ini sesungguhnya adalah pengembalian harga diri guru tersebut sebagai manusia.
Sementara itu, yang masuk akal untuk kondisi sekarang, seyogyanya posisi guru diberlakukan sebagai fasilitator, di mana pengertian singkat dari fasilitator adalah, tugas guru lebih mengarah sebagai pendamping murid dalam belajar. Kedudukan guru bukan lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar. Guru akan menjadi pendamping murid dalam menemukan sumber belajar yang relevan dengan cara membuka selebar-lebarnya untuk berdialog dengan murid dalam rangka penggalian potensi yang ada pada diri murid. Posisi murid bukan lagi menjadi obyek tetapi sebagai subyek, di mana murid adalah pemilik dari proses belajar itu sendiri.
Guru adalah teman, di mana keadaannya akan lebih banyak mendengar dan mengarahkan yang sifatnya sekadar memberi pandangan. Segala keputusan sesungguhnya berada pada murid itu sendiri. Meski begitu perlu juga adanya rambu-rambu untuk menjalankannya. Terkait hal ini Ki Hadjar Dewantara telah memberi gambaran dengan sebuah pernyataannya yang berbunyi: “Di mana ada kemerdekaan di situlah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat selfdisiplin, yaitu kita sendiri mewajibkan dengan sekeras-kerasnya. Dan peraturan yang sedemikian itu harus ada di dalam suasana yang merdeka.”
Dengan begitu, sangat memungkinkan tidak akan muncul lagi permasalahan adanya murid yang mogok tidak mau belajar. Penempatan poros belajar telah diletakkan di tempat yang benar, yaitu murid sebagai pemilik yang akan membawa kepada pembelajaran yang semestinya. Konsep ini masuk akal karena murid yang akan menentukan sendiri dari mana mereka memulai belajar, bahkan murid sendirilah yang juga akan menentukan sumber belajar yang digunakan. Kemandirian yang bersifat sukarela ini akan membimbing mereka kepada cara belajar yang menggembirakan bagi mereka.
Meski begitu, konsep ini bukan lantas mudah dilakukan, karena seperti yang telah disinggung di atas bahwa cara belajar selama ini seakan telah menjadi kitab yang sulit untuk diubah. Perlu adanya usaha yang sabar, baik dari pihak guru maupun murid. Guru harus punya keikhlasan dalam menemani murid, sementara murid sedikit demi sedikit harus mulai menumbuhkan kesadaran bahwa dirinyalah yang menjadi subyek dalam proses pembelajaran itu. Cara ini sejalan dengan konsep amongsystem yang diutarakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu dengan jalan menyokong kodrat alamnya anak-anak, agar dapat mengembangkan hidupnya lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-sendiri.
Sesungguhnya dasar dari apa yang terangkum dalam tulisan ini memang tidak lepas dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Bahkan dapat dibilang tulisan ini baru sebagian kecil atas cita-cita pembelajaran yang diharapkan oleh beliau. Khusus terkait dengan peran guru, sebenarnya beliau telah mengutarakan dari sejak dulu. Menurutnya, peran guru adalah memberi inspirasi melalui teladan, menjadi fasilitator, teman berdialog dan coach, serta mendorong semangat agar murid terus tekun untuk memperoleh kemajuan ke arah perkembangan yang lebih baik.
Pernyataan beliau khusus yang berhubungan dengan hal itu berbunyi; “Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, tetapi harus juga mendidik si murid akan dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu bermanfaat untuk keperluan lahir batin dalam hidup bersama.” Satu lagi pendapat Ki Hadjar Dewantara tentang dunia anak-anak, yang dalam hal ini katakanlah murid bahwa anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.
Oleh karenanya, jika peran guru sebagai fasilitator telah dijalankan dengan baik, hal itu akan mendukung terciptanya poros belajar yang benar, yaitu terletak pada murid. Selain itu tentu saja akan berdampak positif bagi proses pembelajaran, setidaknya istilah guru killer yang keberadaannya selalu menjadi momok bagi murid tidak akan pernah muncul lagi. Tidak akan ada lagi juga murid yang merasa ketakutan ketika menjelang pembelajaran dan selama proses pembelajaran sedang terjadi. Maka, pernyataan “Guru Turun Derajat” itu sesungguhnya adalah berarti “Guru Naik Derajat.”***
-Yuditeha, Penulis, dan Fasilitator Presisi Sekolah di Karanganyar.