Oleh: Mohammad Azharudin
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat khas. Berbeda dengan lembaga pendidikan formal di Indonesia, pesantren memiliki aturan tidak tertulis yang wajib ditaati (dan memang masih dipegang teguh hingga kini). Aturan tidak tertulis yang dimaksud adalah menjaga sanad keilmuan. Praktiknya yakni dengan tidak mengizinkan para santri mengajarkan sebuah ilmu/kitab yang belum pernah mereka pelajari. Ini tentu memberi kesan bahwa para pengajar (ustaz maupun kiai) di pesantren merupakan pribadi yang otoritatif. Di sisi lain, praktik penjagaan sanad tersebut juga merupakan bentuk upaya menghindarkan seseorang mengajarkan kesalahan (kesesatan).
Saat zaman terus bergerak, perubahan dan tantangan baru banyak berdatangan. Pesantren tak luput dari semua itu. Justru pesantren disambut oleh tantangan yang terbilang cukup berat. Hal tersebut salah satunya datang dari media sosial. Memang benar media sosial membuat dakwah Islam kian meluas. Namun, tak dapat disangkal bahwa kehadiran media sosial telah mengundang fenomena lunturnya otoritas keagamaan. Saat ini, kita dapat dengan mudah menemukan orang-orang tanpa latar belakang pendidikan keagamaan yang mumpuni memiliki keberanian untuk berfatwa. Bahkan, orang-orang tersebut tak jarang menyudutkan pemahaman kaum pesantren (dalam hal ini kiai).
- Iklan -
Fenomena termaktub membuat kaum pesantren mau-tak mau mesti ikut dalam panggung dakwah di media sosial. Bukan bertujuan menjadi tandingan bagi kelompok lain, tapi untuk menjalankan misi menjaga ketersambungan sanad keagamaan. Hal ini merupakan satu hal yang sangat penting mengingat salah satu syarat mencari ilmu adalah adanya petunjuk dari guru. Guru yang dimaksud di sini tentu merupakan sosok yang kredibel. Apabila seseorang belajar agama tanpa guru, maka ia merupakan orang yang tak memiliki sanad keagamaan. Ketiadaan sanad keagamaan harusnya membuat orang sadar dan menahan diri untuk tidak serampangan berbicara masalah agama. Sebab, hal tersebut bukan ranahnya. Faktanya yang terjadi malah sebaliknya.
Fenomena lain yang juga banyak bertebaran di media sosial adalah gerakan purifikasi. Kelompok yang mengusung gerakan ini menganggap bahwa praktik keberislaman di Indonesia telah beraduk dengan unsur-unsur agama lain. Oleh sebab itulah mereka berusaha ‘memurnikannya’. Tak heran bila mereka kerap mengusung slogan, “Kembali ke al-Qur’an dan Hadis”. Tak berhenti di situ, kelompok ini juga mengklaim bahwa bagi siapa pun yang berislam tidak sesuai dengan pemahaman mereka maka haram baginya masuk surga. Kelompok ini biasanya menuntut pemahaman terhadap dalil keagamaan secara tekstual, apa adanya. Akibatnya, Islam yang mereka tunjukkan terkesan sempit, kaku, bahkan tak jarang menentang perubahan zaman.
Upaya yang dilakukan oleh kelompok tersebut tak setengah-setengah. Mereka bukan hanya meneriakkan slogan “Kembali ke al-Qur’an dan Hadis” dengan lantang. Lebih jauh dari itu, belakangan diketahui bahwa mereka juga melakukan manipulasi terhadap isi kitab-kitab karya ulama mutaqaddimun. Kaum santri biasa menyebut kitab-kitab tersebut dengan istilah ‘kitab kuning’. Dalam melakukan manipulasi, kelompok pengusung gerakan purifikasi ini umumnya menghapus bagian yang berisi pemahaman yang tidak selaras dengan mereka. Hal tersebut bertujuan untuk melegitimasi ajaran mereka, meninggalkan kesan bahwa para ulama mutaqaddimun senada dengan mereka. Di sisi lain, praktik berislam ala kaum pesantren seolah menjadi tak berdasar.
Pertanyaannya sekarang, merujuk pada fenomena di atas, apa sebenarnya tujuan dakwah dari kelompok puritanisme?. Bila jawabannya untuk menggaet lebih banyak orang untuk masuk Islam, tampaknya kurang tepat. Pasalnya, jika memang demikian, mengapa mereka harus memanipulasi isi kitab kuning?. Selain itu, jumlah umat Islam di Indonesia pun sudah sangat banyak. Jadi, jawaban yang rasanya lebih tepat dari pertanyaan tadi adalah mereka ingin menandingin/menentang dakwah Islam konvensional, yang mana pegiat dari dakwah ini adalah kaum pesantren. Alih-alih mengajak umat agama lain untuk memeluk Islam, mereka cenderung memaksa supaya corak Islam di Indonesia berubah sesuai apa yang mereka inginkan.
Kita tahu bahwa kitab kuning menjadi literatur yang dikaji di seluruh pesantren di Indonesia. Kitab kuning memiliki otoritas yang tinggi bagi kaum santri. Hal ini disebabkan karena kitab kuning merupakan bentuk interpretasi terhadap kandungan al-Qur’an dan hadis dalam berbagai bidang keilmuan. Penulisnya pun bukan sembarang orang. Sang penulis merupakan sosok yang diakui oleh orang-orang semasanya sebagai pribadi dengan kapasitas ilmu yang mumpuni. Selain itu, terdapat beberapa kitab kuning yang disepakati sebagai masterpiece oleh para ulama di masanya. Artinya apa? Kitab kuning memang benar-benar memiliki kedudukan yang tinggi dalam kajian keislaman. Hal ini sebenarnya bukan hanya berlaku bagi kaum pesantren, melainkan bagi umat Islam secara umum.
Namun, otoritas kitab kuning kini mengalami kelunturan akibat adanya manipulasi terhadapnya. Saat ini, telah banyak beredar kitab kuning yang tidak sesuai dengan naskah aslinya. Lantas, bagaimana mestinya santri bersikap akan hal tersebut?. Dalam hemat saya, santri tak boleh menutup fakta akan apa yang terjadi pada kiab kuning. Santri harus semakin jeli dalam membaca dan memahami kitab kuning. Tidak perlu tergesa-gesa, pun upayakan jangan membaca apa adanya. Apabila menemukan sesuatu yang janggal dalam kitab kuning, santri tak boleh segan untuk mengkritisinya. Sebenarnya yang kita lawan itu bukan kitab kuning atau penulisnya, melainkan mereka yang melakukan manipulasi terhadapnya.
Fenomena manipulasi kitab kuning ini mengingatkan saya pada fenomena pemalsuan hadis. Kala itu, banyak kelompok (politik) yang tanpa ragu membuat hadis palsu untuk melegitimasi kedudukan dan ajaran mereka masing-masing. Akibat hal tersebut, khalifah Umar ibn Abd al-Aziz meminta Ibn Syihab al-Zuhri untuk menghimpun hadis-hadis yang orisinal (benar-benar bersumber dari Rasulullah saw). Berbeda dengan hadis, isi kitab kuning sangat jarang dihafalkan. Ini cukup masuk akal mengingat kitab kuning bukan merupakan sumber utama ajaran Islam, ia merupakan sumber pendukung. Namun, hal tersebut membuat kita kesulitan dalam mengidentifikasi orisinalitas kitab kuning tanpa naskah aslinya. Kendati demikian, bukan berarti kita (kaum santri) hanya diam saja ketika di luar sana bertebaran kitab kuning yang telah dimanipulasi. Sebagai kaum santri, kita mungkin sulit menghafal seluruh isi kitab kuning, akan tetapi kita masih dapat membaca kitab kuning dengan disertai nalar kritis.