Oleh S. Prasetyo Utomo
DI celah kesibukannya sebagai seorang kiai, Gus Mus pernah menerbitkan buku Lukisan Kaligrafi (Penerbit Buku Kompas) yang mengangkat kesadaran transendensi. Buku ini meraih penghargaan Anugerah Sastra Mastera 2005. Kreativitas yang terus mengalir membawanya menerima tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari presiden pada 13 Agustus 2015. Sebagai seorang ulama yang memiliki empati humanisme pada umatnya, ia memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 2017.
Saya melihat kekuatan cerpen-cerpen Gus Mus pada kesadaran transendensi yang menyelubungi pergulatan religiositas tokoh-tokohnya. Ia mengangkat kesadaran transendensi yang sangat dekat dengan kehidupannya sebagai seorang kiai di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. Leteh, Rembang. Ia juga memiliki pengalaman sebagai santri di Pondok Pesantren Lirboyo, Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, dan Universitas Al Azhar Kairo. Pengalaman dalam dunia pesantren inilah yang memberinya obsesi kesadaran transendensi pada cerpen-cerpennya.
Kesadaran transendensi Gus Mus terpancar pada struktur narasi seperti tema, karakter tokoh, konflik batin, dan latar. Keempat struktur narasi itu kuyub dengan kesadaran transendensi, yang memenuhi unsur-unsur: (1) pengakuan tentang ketergantungan manusia pada Tuhan, (2) ada perbedaan yang mutlak antara Tuhan dan manusia, (3) pengakuan akan adanya norma-norma mutlak dari Tuhan yang tak berasal dari akal manusia.
- Iklan -
Sebagai seorang ulama, penyair, cerpenis, dan pelukis, Gus Mus memiliki integritas terhadap kesadaran transendensi yang memberi warna imajinasi yang dikembangkan. Seringkali ia bersikap kritis terhadap realitas sosial-politik dan religiositas mutakhir. Ia mencipta puisi, cerpen, dan lukisan yang berobsesi pada kesadaran transendensi, yang menjadi atmosfer kehidupannya.
***
SEBUAH buku yang memuat lima cerpen cemerlang Gus Mus adalah Bidadari Sigar Rasa (Dewan Kesenian Jakarta, 2005). Cerpen-cerpen Gus Mus menyuarakan kesadaran transendensi dalam kehidupan dunia pesantren. Dalam cerpen-cerpennya, Gus Mus mengangkat tema-tema kehidupan ulama, santri, dan pergulatan religiositasnya. Ia juga mengembangkan karakter tokoh-tokoh ulama dan santri yang unik, dan mengundang minat baca masyarakat. Begitu juga dengan konflik batin yang berkembang dalam cerpen-cerpennya, selalu membangkitkan teka-teki. Latar berkembang di antara dunia pesantren, yang diangkat dari atmosfer kehidupan Gus Mus. Latar serupa ini justru menghidupkan tema, karakter tokoh, dan konflik batin cerpen.
Cerpen “Ngelmu Sigar Rasa” menarik perhatian saya, karena kesadaran transendensi menjadi roh penciptaan yang dikembangkan Gus Mus. Ia berkisah tentang sebuah cerita yang tak jauh dari kehidupannya. Tokohnya bernama Mus, berguru pada Mbah Joned untuk memperoleh ngelmu sigar rasa. Mus memang mendapatkan ngelmu sigar rasa, dan dapat “membelah diri”. Akan tetapi, Mus yang kemudian bergelimang keduniawian, tak pernah sadar bila “dirinya yang lain” bisa mengembara ke mana pun, di luar pengetahuan dan kendalinya. Dalam cerpen ini Gus Mus menyampaikan pesan bahwa segala hal yang berkaitan dengan roh tetaplah merupakan kekuasaan Allah, yang tak dapat dikendalikan manusia. Dengan menghadirkan tokoh Mus dalam cerpen ini, Gus Mus seperti ingin menyingkap satire pada diri sendiri tentang keterbatasan-keterbatasan manusia. Ia mengisahkan kesadaran transendensi dengan satire yang mudah ditafsir pembaca.
Dalam cerpen “Bidadari Itu Dibawa Jibril”, Gus Mus kembali menyingkap selubung kesadaran transendensi yang dialami tokoh-tokohnya. Terasa benar Gus Mus tengah mengisahkan realitas religiositas yang menyimpang secara satire. Tokohnya Hindun, istri Mas Danu, yang semula sangat kritis terhadap perilaku religiositas teman-temannya dengan aktivitas puritanisme akidah beragama, bergeser menjadi pengikut aliran guru mengajinya yang selalu kerasukan Malaikat Jibril. Pada puncaknya, Hindun tidak lagi berjilbab, tidak salat, dan tidak berpuasa. Gus Mus melontarkan satire bahwa manusia berada dalam keterbatasan-keterbatasan sebagai makluk yang mencari cahaya keilahian. Kesadaran transendensi manusia sangat rentan untuk terjebak dalam penyimpangan-penyimpangan aliran, bahkan pengingkaran akidah.
Yang paling menarik dalam buku ini tentu saja cerpen “Gus Jakfar”. Cerpen ini menjadi bagian Waktu Nayla: Cerpen Pilihan Kompas 2003. Sama seperti cerpen-cerpen lainnya, Gus Mus menghadirkan tokoh yang sangat dekat dengan kehidupannya sebagai seorang ulama. Ia mengisahkan Gus Jakfar, yang memiliki kemampuan melihat tanda di kening seseorang, dan dapat mengetahui peristiwa yang akan menimpa orang lain. Gus Jakfar bertemu Kiai Tawakkal dan melihat di keningnya terbaca tanda “ahli neraka”. Gus Jakfar baru sadar bahwa tanda-tanda yang dibacanya tak selalu benar. Ia baru sadar bahwa keahliannya membaca tanda di kening seseorang merupakan cobaan Allah.
***
DI ANTARA cerpen-cerpen dengan kesadaran transendensi yang pernah ditulis Gus Mus, “Gus Jakfar” yang paling memikat. Ia menghadirkan kisah terpilih yang diangkat dari kehidupan di sekitar pesantren, dengan tokoh-tokoh wali, kiai, ulama, santri, dan masyarakat kebanyakan. Dalam cerpen “Gus Jakfar”, ia mengembangkan cerita berbingkai yang menyentak kesadaran religiositas manusia dalam memandang hal yang gaib. Konflik religiositas tokoh cerpen Gus Mus menyingkap realitas kehidupan masa kini, bahwa manusia seringkali melupakan rahmat dan rahasia keagungan Sang Pencipta. Ia tak bergeser dari peran keulamaannya, meskipun memanfaatkan imajinasi untuk menyampaikan narasinya.
Bahasa lugas yang diekspresikan Gus Mus dalam cerpen-cerpennya, memudahkan pembaca untuk menangkap pesan-pesan keagungan keilahian. Kekuatan satire Gus Mus menjadi daya hentak kesadaran pembaca sebagai makhluk di hadapan Sang Pencipta. Cerpen menjadi salah satu ekspresi kesadaran transendensi, untuk mengenali kegaiban, roh, dan takdir manusia. Teks sastra serupa ini sangat tepat dimanfaatkan sebagai media pendidikan karakter generasi muda masa kini.
***
*) S. Prasetyo Utomo, Komite Seni Budaya MUI Jateng, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.