Oleh: Vito Prasetyo
Kita terlalu banyak bersibuk diri, tetapi sayangnya hasilnya tidak berbanding lurus dengan peningkatan produktivitas. Nah, kalau ini terjadi bertahun-tahun betapa kita tidak bisa membayangkan jika kualitas yang dihasilkan seperti apa!? Apakah karena stimulasi retorika itu tumbuh begitu subur, hingga kadang kita terlalu berbangga diri dengan teori-teori lisan. Meski pada akhirnya harus mengelus dada, dengan frasa kata “kecewa”. Karena memang kita sangat senang dengan kepuasan sesaat.
Mungkin jika kita mengulik peradaban budaya, frasa itu menjadi syair lagu yang telah usang. Bahasa yang sering menjadi sebuah kesepakatan tak tertulis, yang penting bisa menjadi kesimpulan akhir. Atau sedikit diperhalus, bukan sebagai makna sarkasme, tujuan untuk memuaskan sekelompok atau beberapa orang telah tercapai. Kesimpulannya, karena ini proyek “gali lubang, tutup lubang”, maka risiko jalan pintas menjadi solusi cerdas.
Makna retorika itu mempunyai ukuran waktu yang ketika masa aktifnya kedaluarsa, seketika itu ada cadangan retorika yang baru. Aneh, sesuatu yang bisa berisiko besar, bisa dikompilasi dengan solusi baru. Kenapa demikian, karena kita memiliki banyak standar untuk melakukan rotasi regulasi. Kontek ini tidak terlepas dari beberapa kepentingan, yang akhirnya pada masanya menjadi umpan balik, meski dengan kesalahan yang harus kita maklumi bersama.
- Iklan -
Kondisi pandemi menjadi alibi kuat untuk mengutak-atik tujuan tersebut, karena kita harus mahfum ada keterbatasan yang sulit untuk diprediksi. Maka, seperti kasus Wadas, JHT yang lagi viral di masa kini, ini menjadi cermin bagaimana norma budaya kita makin merosot. Atau kalau disajikan dengan bahasa sarkasme, nilai-nilai budaya kita yang bersandar pada etika moral tidak lagi menjadi sebuah ukuran norma. Kemudian memunculkan generasi baru yang lebih memilih sikap tidak lagi menarik garis lurus sejarah budaya.
Kalau orang jawa mengatakan “sanepan” itu adalah frasa yang cukup halus, meski sindiran ini juga hampir sama dengan sebuah kritik. Ini kan sebuah ambigu yang memperlihatkan unsur budaya kita sangat kental dengan makna “sopan-santun”. Atau kalau kita sedikit menggagas frasa kata “pamali” yang sering digunakan dalam bahasa sehari-hari, terutama pada beberapa suku budaya, seperti betawi. Ini jauh lebih mengedepankan unsur dan nilai kearifan lokal, yang tentunya menjadi sumber budaya secara nasional.
Persoalannya, dari sudut mana atau kalau kita ingin lebih memperhalus dengan frasa kata yang lebih keren, dari “perspektif” mana yang kita lihat. Ruang dimensi kebijakan itu adalah bola liar yang memang harus dimainkan. Seperti gaya sastra, juga memiliki khazanah literasi yang tidak akan kehilangan makna. Bukankah plagiarisme itu sesuatu yang tercela dan merugikan orang lain!? Apa salahnya kita impor, karena itu plagiasi istilah yang sudah umum.
Maka kembali kepada nilai, makna retorika menjadi proses daur ulang agar mampu mendongkrak nilai-nilai produktivitas. Kalkulasinya, untuk menjaga keseimbangan nilai ekonomi agar tetap stabil, menjaga situasi yang mungkin bisa berdampak krisis. Atau kalau kita membagi peran antagonis, biar bahasa sastra yang menjaga kelangsungan budaya. Karena budaya itu pasti memiliki nilai, meski tidak berwujud atau abstrak.
Soal hidup, ada materi wujud dan tidak berwujud. Ini yang menutup ruang celah dimana manusia bisa menjadi lebih pintar, bisa menjadi bijak, atau bahkan tidak perlu menjadi kedua-duanya, tetapi juga tidak bodoh. Memang, selalu ada jalan lain untuk pulang. Dan kita bebas berhenti dimana saja, di halte mana saja, karena retorika itu punya seribu pintu, bahkan lebih.
Di saat kita singgah pada beberapa tempat, kita hanya menanyakan ini halal atau haram. Tidak usah menunggu, karena itu menjadi urusan petugas untuk menjawabnya. Yang penting jalan, ingat kita masih punya banyak solusi cerdas, yakni merotasi regulasi. Alih-alih kebenaran, karena bukanlah sesuatu yang sesat, semata-mata agar kita bisa tidur dan memejamkan mata, meski ini bukan tidur pulas.
Pengalaman lama kadang membuat kita trauma, istilah yang kini dianggap sudah usang, frasa kata “asal bapak senang” seperti menjadi fatwa yang jadi bumerang, jika ini diplagiasi. Lagi-lagi bagai buah simalakama atau blunder untuk bermanuver. Mengulik jiwa peradaban, kita ini begitu mengagungkan “etika budaya”, meski disana-sini banyak terjadi perubahan dan pergeseran nilai. Apa salahnya kita ganti merek, karena produk imitasi makin semarak terjadi dimana-mana.
Ada kalanya kita harus melupakan tanah kelahiran, ibarat tanaman lombok bisa tumbuh subur meski tidak harus di tanah asalnya. Perubahan cuaca, yang sering terbaca dengan cuaca ekstrem dan sering menimbulkan keresahan bagi petani, tidak membuat tanaman lombok surut, harganya kadang tiba-tiba melangit. Keluh-kesah para ibu-ibu yang mencoba mempertahankan dapurnya, hanyalah bagian dari rotasi masa pandemi, yang kita simpulkan sebagai sebuah persoalan klise.
Persoalan pandemi yang seakan-akan beranak-pinak, dan hidup di situasi yang tampak kondusif tapi samar, membuat kita seperti kehilangan napas. Dan para budayawan, sastrawan lebih elok menyebutnya dengan nafas. Ini sedikit ambigu, karena “napas” kadang menjadi tidak hidup dalam bahasa, tetapi menghidupkan KBBI dan PUEBI.
Melihat situasi terbaru, apakah masih banyak dalang sejati yang tegak lurus berjalan dalam kemurnian budaya? Lakon hidup memang senantiasa berubah, karena banyaknya frasa kata dan istilah untuk memainkan ritmenya. Mungkin saja pamor “wayang” menjadi kurang asyik untuk tetap bertahan di era kini, yang tidak lagi dilihat sebagai kemajuan sains belaka. Tetapi zaman yang sudah mengedepankan teknologi maju, serba digital. Dan “wayang” sulit untuk memacu diri. Ironis! Kita dibenturkan dengan frasa kata yang mengandung syariat agama. Haram atau halal!?
Nalar logika kita memang tidak harus berbanding lurus dengan dimensi hidup. Dua kutub atau sisi yang mengiringi kehidupan manusia adalah bagai air dan api. Dua larik puisi, air dan api sudah tertulis dalam kitab-kitab kebenaran. Ini bisa menjadi hukum gravitasi, yang saling tarik menarik, atau tolak-menolak. Meminjam sebuah narasi bijak, tidak penting dari mana awalnya, yang lebih penting adalah tujuan akhir. Bukankah budaya juga akan mengalami revolusi?
Sungguh dashyat permainan retorika bahasa dalam zaman atau era digital seperti kini. Prinsip-prinsip humanisme yang terkandung dan terjiwai dalam Pancasila serta UUD Tahun 1945, seakan menjadi catatan masa lalu, karena lebih penting membangun kerangka masa depan dengan frasa kata Era Disrupsi Teknologi Digital. Bukankah peran buku cetak sudah mulai ditinggalkan, agar kapitalisasi bahasa terangkat menjadi sebuah industri dalam literasi digital!? ***
*) penulis adalah sastrawan dan peminat budaya