Oleh: Mohammad Azharudin
Salah satu tuduhan yang kerap dilontarkan pada kaum santri adalah model berpikir yang cenderung kurang/tidak kritis. Tuduhan ini umumnya didasarkan atas aktivitas membaca literatur klasik, di mana santri cenderung setuju terhadap apa yang tercantum di dalamnya. Dengan kata lain, santri kerap (dituduh) tidak mengkritisi, tidak menanyakan secara lebih lanjut apa yang tertulis dalam kitab-kitab karya ulama mutaqaddimun. Tuduhan ini―atau mungkin bisa juga disebut kritik―tampaknya ada benarnya. Masih ada beberapa santri yang melakukan pembacaan literatur klasik secara apa adanya.
Sebagai kaum santri, kita sebaiknya jangan keburu marah dengan kritik tersebut. Akan lebih baik bila kita melakukan perenungan terhadap kritik itu, kemudian melakukan perbaikan diri. Kita harus mulai belajar membaca secara kritis. Bagaimana pun membaca kritis adalah satu hal yang sangat penting. Bagi saya, peran santri terhadap kitab-kitab ulama mutaqaddimun bukan sekadar pembaca, melainkan juga pihak yang menjelaskan. Hal inilah yang menuntut santri untuk dapat memahami sekaligus mengambil konklusi dari apa yang tercantum dalam literatur klasik.
- Iklan -
Perlu dicatat bahwa literatur klasik ditulis berdasarkan kondisi di zaman itu. Artinya, problematika yang terekam adalah problematika-problematika di zaman itu pula. Di sisi lain perubahan terus terjadi, yang mana hal tersebut menimbulkan beragam masalah keagamaan baru (yang pembahasannya belum ada dalam literatur klasik). Lantas timbul pertanyaan, apakah literatur klasik kini sudah tidak relevan?. Saya cukup yakin menjawab bahwa kitab-kitab karya ulama mutaqaddimun masih relevan saat ini. Memang benar banyak permasalahan keagamaan baru yang belum diulas dalam literatur (keislaman) klasik. Namun, isi dari literatur tersebut bisa kita jadikan sebagai fondasi berpikir untuk menjawab problematika yang muncul belakangan.
Guna dapat melakukan hal tersebut, saya rasa nalar kritis santri sangat diperlukan. Harus diakui bahwa nalar kritis bukan satu hal yang muncul begitu saja. Oleh sebab itu, ia butuh pemicu. Metode yang dapat ditempuh untuk memicu nalar kritis salah satunya adalah berpikir radikal. Jangan terburu-buru menilai bahwa segala hal yang disertai kata ‘radikal’ selalu berkonotasi negatif. Kita harus terbiasa mencerna terlebih dahulu sebelum memberikan penilaian dan kesimpulan.
Secara harfiah, dalam KBBI kata radikal memiliki 3 makna. Pertama, secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); kedua, amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); ketiga, maju dalam berpikir atau bertindak. Dalam konteks frasa ‘berpikir radikal’, maka makna kata radikal yang paling tepat adalah yang pertama. Dengan begitu bisa dinyatakan bahwa berpikir radikal adalah aktivitas berpikir secara mendasar sampai ke akarnya. Berpikir radikal akan mendorong santri untuk mengkaji sesuatu secara mendalam, bukan hanya permukaannya.
Berpikir radikal sama sekali berbeda―bahkan tak memiliki keterkaitan―dengan radikalisme. Radikalisme itu ranahnya politik, ia merupakan sebuah paham yang kerap memakai cara kekerasan untuk menuntut perubahan. Kasus kecenderungan makna kata seperti ini juga terjadi pada gagasan Hassan Hanafi, yakni Kiri Islam. Selama ini kata ‘kiri’ sering diidentikkan dengan sesuatu yang buruk, sesuatu yang melenceng dari yang semestinya. Padahal, gagasan Kiri Islam muncul sebagai respons atas orientalisme yang menjadikan Barat pusat dari segala sesuatu. Oleh sebab itulah, gagasan Kiri Islam lantas melahirkan oksidentalisme. Belajar dari dua kasus ini, kita mestinya tidak tergesa-gesa memberi cap negatif ketika mendengar kata/frasa tertentu.
Aktivitas berpikir radikal, saya rasa, dapat mendorong santri membaca teks (kitab-kitab ulama mutaqaddimun) secara lebih luas. Santri bukan hanya membaca apa yang tertulis, tapi juga berupaya untuk mencari tahu konteks yang menyertai tulisan yang dibacanya tersebut. Dengan berpikir radikal, akan tebersit pertanyaan-pertanyaan prinsipiel dalam pikiran santri. Misalnya, mengapa ulama menulis seperti ini? Bagaimana kondisi sosial saat ulama menulis ini? Apakah tulisan ini merupakan final bagi buah pikiran (seorang) ulama atau ada tulisannya yang lain yang menjadi nasikh dari tulisan ini? Bagaimana relevansi tulisan ini dengan keadaan sekarang?. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menjadi penting supaya santri tidak terjebak dalam pemahaman yang tekstualis.
Bila direnungkan, dari mana suatu kitab memiliki syarah jika si pen-syarah tidak melalui aktivitas berpikir radikal terlebih dahulu?. Tidak mungkin sebuah syarah lahir dari aktivitas berpikir yang hanya menyentuh permukaan. Hal ini harus dicontoh oleh para santri. Seyogianya para santri membiasakan diri untuk berpikir radikal supaya lahir nalar kritisnya, di mana hal tersebut merupakan bekal terpenting dalam mengkritisi literatur klasik. Kegiatan mengkritisi tidak selamanya berarti mencari letak kesalahan. Mengkritisi di sini bermakna melakukan analisis secara tajam untuk kemudian mengambil kesimpulan yang tepat dari apa yang dibaca.
Dengan melihat segala perubahan yang terjadi, tampaknya PR santri cukup banyak. Santri―secara tidak langsung―dituntut untuk bisa menjawab segala persoalan keagamaan yang akan terus bermunculan dan berkembang. Santri juga harus mampu menjadi kiblat yang baik dalam aktivitas habl min Allah, habl min al-nas, bahkan habl min al-bi’ah (menjalin relasi dengan lingkungan). Banyaknya PR ini tentu mengharuskan santri keluar dari zona kejumudan berpikir. Santri, mau-tidak mau, harus memiliki nalar kritis untuk merespons transformasi zaman.
Santri mesti selalu berpikir radikal, utamanya saat melakukan pembacaan literatur klasik. Tujuannya supaya santri tidak terjebak dalam pemahaman yang kaku. Kaum santri selayaknya mampu memberikan jawaban/kesimpulan/solusi persoalan keagamaan yang dapat menjaga kemaslahatan di masyarakat, bukan malah mengundang kemudaratan. Ini merupakan salah satu tugas utama santri. Sebab, santri adalah tangan panjang kiyai; kiyai adalah penerus para ulama (mutaqaddimun); dan ulama adalah pewaris para nabi. Jadi, mulai sekarang santri harus menyulut nalar kritisnya dengan membiasakan diri berpikir radikal. Di sisi lain, santri wajib membentengi diri (dan umat) dari paham radikalisme.
– Alumni Pondok Pesantren Miftachussa’adah Genteng, Banyuwangi