Oleh Saidun Fiddaraini
Pasca terpilihnya KH Yahya Cholil Staquf atau yang akrab dikenal Gus Yahya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggantikan Prof. KH Said Aqil Siradj pada Muktamar NU ke-34 bertempat di Lampung, dengan perolehan 337 suara banding 210 suara menandakan babak baru dalam tubuh (kepemimpinan) NU. Artinya, sepak terjang dan gerakan NU ke depan berada di bawah nakhoda Gus Yahya.
Yang menarik, salah satu alasan kuat Gus Yahya yang kemudian menjadi jargonnya dalam mempromosikan diri sebagai Ketua Umum, adalah upayanya untuk “Menghidupkan kembali pemikiran Gus Dur”. Dan jargon ini pula menjadi salah satu faktor yang dapat mengantarkan KH Yahya Cholil Staquf terpilih sebagai Ketua Umum PBNU periode 2022-2027. Karena menurut Gus Yahya, warisan pemikiran Gus Dur masih relevan sampai kiwari, bahkan tetap demikian sampai puluhan tahun mendatang.
Keterpesonaan KH Yahya Cholil Staquf kepada sosok seorang Gus Dur, tertanam dalam dirinya sejak usia kecil. Bahkan, ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden Keempat Republik Indonesia, Gus Yahya pernah menjadi Juru Bicaranya (Jubir). Lantas pertanyaan yang muncul kemudian, mampukah Gus Yahya menghidupkan kembali pemikiran Gus Dur, terutama di tubuh NU sendiri dan Negara pada umumnya?
- Iklan -
Memahami Pemikiran dan Sepak Terjang Gus Dur
KH Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur, meskipun telah lama meninggalkan kita sejak dua belas tahun silam, namun sosok dirinya tetap fenomenal. Bukan hanya di kalangan warga Nahdliyyin semata, melainkan juga Indonesia secara umum. Gagasan dan pemikirannya yang inklusif dan progresif, menjadikan Gus Dur sosok yang banyak dikagumi oleh khalayak ramai.
Gus Dur merupakan sosok intelektual dan cendekiawan muslim yang cukup berpengaruh hingga kiwari. Salah satu ciri pemikiran Gus Dur yang acap digelindingkan dan tak asing lagi ditelinga kita, adalah keinginannya untuk selalu mengetengahkan nilai-nilai etis sebagai jembatan terhadap pelbagai persoalan dan perbedaan yang ada. Misalnya, wacana humanisme dan pluralisme kerap kali dihembuskan dalam setiap kesempatan. Menurut Gus Dur, merawat serta menjaga nilai-nilai humanisme merupakan keniscayaan guna mewujudkan dan melahirkan keharmonisan hubungan antarumat beragama. Apabila rusak keharmonisan, maka sangat sulit untuk memulihkan kembali.
Untuk itulah, Gus Dur, acap memperjuangkan hak-hak manusia yang dipasung, ditindas, dan didiskriminasi. Artinya, manusia bukan sekadar dihargai dan dihormati, melainkan juga diperjuangkan hak-haknya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di tengah masyarakat. Ambillah contoh, tatkala pengikut Ahmadiyah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Begitu pula ketika gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak dengan lantang “jangan”. Perilaku ini merupakan wujud konkret Gus Dur dalam memperjuangkan kemanusiaan.
Bagi Gus Dur, semua manusia adalah sama. Tidak peduli dari mana latar belakangnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit, suku, agama, ras, dan kebangsaannya. Namun yang Gus Dur lihat, adalah bahwa mereka manusia sebagaimana dirinya dan yang lain. Juga yang dilihat ialah niat baik dan perbuatannya, seperti ungkapan Nabi; “Tuhan tidak melihat keindahan tubuh dan wajahmu, melainkan perilaku dan hatimu”.
Walau begitu, bukan berarti Gus Dur tidak paham bahwa ada yang keliru, tidak ia setujui, dan salah dari mereka yang dibelanya. Namun, Gus Dur, tentu saja, tetap membela dan menemani mereka. Yang Gus Dur bela adalah karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya berwarna lain, serta kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tidak melakukan perbuatan apa-apa yang melanggar hukum.
Dari sini tampak bahwa Gus Dur memberikan artikulasi dari sebuah relasi yang bersifat aktif dalam kerangka lebih besar, yakni terciptanya kehidupan damai, setara, dan berkeadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi, Indonesia sebagai negara plural dan multikultural yang terdiri dari beragam suku, etnis, agama, bahasa, dan budaya, terutama dikenal mayoritas penduduknya adalah muslim terbesar di dunia.
Tantangan Menghidupkan Pemikiran Gus Dur
Namun demikian, upaya KH Yahya Cholil Staquf untuk “menghidupkan kembali pemikiran Gus Dur” baik di tubuh NU maupun Indonesia pada umumnya bukanlah perkara terbilang mudah. Bahkan cita-cita tersebut tidak akan terbebas dari pelbagai tantangan, rintangan, dan penolakan. Pasalnya, masih terdapat sebagian tokoh dan cendekiawan yang menolak, membenci, tidak suka, dan bahkan acap melontarkan ungkapan-ungkapan tidak senonoh kepada Gus Dur, yakni kafir. Ini artinya, pemikiran Gus Dur tidak sepenuhnya diterima atau mungkin belum dimengerti oleh banyak kalangan.
Misalnya, di kalangan Nahdliyyin sendiri, tidak sedikit yang tidak setuju dengan gagasan dan pemikiran Gus Dur, bahkan ada juga yang menentangnya. Ketika Gus Dur mengusulkan untuk mencabut ketetapan MPR Nomor XXV tahun 1966 tentang pelarangan ideologi Komunis; yang oleh Gus Dur dinilai sebagai dasar pemerintah untuk menindak kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia. Juga pembelaannya terhadap kelompok Ahmadiyah dan warga Tionghoa, ketika berdoa di gereja, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu menuai kontroversial, kritik, dan penentangan yang cukup tajam dari pelbagai kalangan, terutama di kalangan tokoh dan warga NU sendiri.
Belum lagi keinginan dan sikap Gus Dur untuk membangun hubungan yang harmonis dengan Israel; yang kemudian ia datang memenuhi undangan Perdana Menteri Israel. Sikap dan keinginan ini, tentu saja, semakin memperuncing kebencian dan penolakan dari banyak kalangan terhadap sosok Gus Dur. Begitu pula yang menimpa Gus Yahya. Alih-alih mengikuti jejak Gus Dur dengan datang ke Israel sebagai pembicara dalam forum American Jewish Committee (AJC) pada 2018 lalu, justru kritik dan caci maki yang diperoleh Gus Yahya terhadap dirinya dari pelbagai kalangan, termasuk warga NU sendiri. Padahal tujuan kedatangan Gus Yahya ke Israel, adalah untuk membangun gerakan perdamaian di tingkat akar rumput masyarakat yang menjadi konsensus sosial.
Dari sini jelaslah bahwa, apa yang dicita-citakan oleh Gus Yahya “menghidupkan kembali pemikiran Gus Dur” tersebut terbilang “berat”. Walau begitu, kita tetap berharap Gus Yahya mampu mewujudkannya, baik di tubuh NU sendiri maupun negara pada umumnya. Wallahu A’lam.
– Alumnus PP Nurul Jadid, Paiton, kini mengajar di PP Zainul Huda, Arjasa Sumenep. Juga penikmat kajian keislaman dan filsafat.