Oleh Syamsuddin
Seperti yang kita tahu, hadir dan berkembangnya Islam di Nusantara itu tidak terlepas dari keceradasan dan kemampuan ulama-ulama terdahulu (wali songo) dalam mengartikulasikan ajaran agama Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) kepada masyarakat yang ada di Nusantara, dimana Islam sebagai sebuah agama dari langit (Allah swt.) diterjemahkan kedalam aspek kehidupan yang selaras dengan lokalitas di Nusantara, kemudian ditampilkan sedemikian santun dan bersahaja dalam bentuk perilku. Sehingga Islam dapat diterima dengan baik tanpa perperangan, perselisihan, atau pertentangan yang berarti.
Selain itu, keikut-sertaan para ulama dalam berbagai kegiatan yang dilakoni masyarakat serta keterlibatan langsung dalam merasakan bagaimana hidup dan kehidupan mereka. Membuat masyarakat atau rakyat semakin dekat dengan para ulama, bahkan ulama tidak hanya dimintai fatwa-fatwa yang berkaitan dengan perkara agama akan tetapi juga dijadikan sebagai tempat konsultasi untuk dimintai solusi atas masalah yang mereka hadapi.
Inilah kemudian yang menjadi ciri khas tersendiri bagi Islam di Nusantara, yaitu Islam yang santun, ramah, dan dekat dengan kehidupan masyarakatnya, termasuk budayanya. Islam Nusantara merupakan Islam yang dibawa oleh para wali Allah (wali songo) dengan landasan paham Aswaja. Dan ini pula yang kemudian diteruskan oleh Nahldatul Ulama, yaitu sebuah organisasi Islam yang berpahama Aswaja dan dekat dengan kehidupan masyarakatnya.
- Iklan -
Refleksi NU
Kalau kita lihat bagaimana perkembangan Islam di Indonesia lebih spesifik NU di Indonesia, kita patut bersyukur karena dalam berbagai aspek mengalami banyak kemajuan di antaranya seperti yang disebutkan oleh Ahmad Baso dalam bukunya “Agama NU untuk NKRI” bahwa banyak pengurus NU dari pusat hingga ke daerah yang berlatar belakang kampus atau akademisi, ini adalah sebuah kemajuan. Kaum intelektual sudah bisa terbentuk di kalangan Nahdliyin, yang diharapkan dapat mendukung perjuangan organisasi NU.
Akan tetapi, perlu kita ingatkan bahwa jangan sampai lupa kalau NU sebagai organisasi yang mewarisi tradisi Islam wali songo didirikan di atas basis lokalitas, basis sosial atau basis kerakyatan. Semangat awal pendirian NU diantaranya karena didorong oleh banyaknya gerakan pembaharu Islam baik yang bersifat nasional maupun transnasional yang ingin memisahkan Islam dengan lokalitas.
Jika hal-hal tersebut di atas terlupakan, dan para intelek NU masih asyik dengan berbagai diskusi yang melangit menggunakan istilah yang canggih-canggih, sementara pada saat yang sama rakyat kita (NU) dibiarkan terjamah dan menerima ajaran-ajaran dari luar yang tidak selaras dengan karakter Islam Aswaja-NU, maka bukan tidak mungkin perlahan NU akan kehilangan jamaahnya. Maka tidak perlu kaget kalau hari-hari ini, semakin banyak kita jumpai kelompok-kelompok di masyarakat yang anti terhadap tradisi lokal (Indonesia). Dan yang paling menyedihkan adalah kelompok-kelompok demikian ini banyak dari kalangan anak muda. Fenomena ini cukup ironi, sebab eksistensi NU di masa depan berada di tangan pemuda-pemuda (NU) hari ini.
Oleh karena itu sebuah kesadaran bersama harus kita bangun, bahwa: Menjadi Intelektual bukan berarti melepaskan diri dari atau melupakan basis sosial jamaah yang menjadi karakter NU. Selanjutnya kaum intelektual NU dan akademisnya harus mampu membangun komunikasi dengan jamaahnya, kemudian menampilkan kembali karakter Islam Aswaja yang bersahaja, ramah, dan santun terhadap lokalitasnya. sebagaimana awal-awal masuknya Islam di Nusantara yang dibawa oleh wali songo.
Kemudian yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah perlunya Kiyai-Kiyai NU untuk segera turun gunung menyampaikan ajaran-ajaran Islam Aswaja dan beradaptasi dengan kondisi hari-hari ini, seperti berdakwah melalui media sosial, media massa, dan sebagainya, untuk menarik pemuda-pemuda kini agar ikut kedalam dan menjadi bagian dari NU atau paling tidak mereka mengamalkan nilai-nilai Islam Aswaja.
Dengan hadirnya Kiyai dalam berdakwah di era kini, serta terbangunnya komunikasi antara kaum intelektual NU dengan masyarakatnya. Kita berharap eksistensi NU sebagai Jam’iyah (organisasi) maupun sebagai Jama’ah (masyarakat) akan tetap terjaga di masa yang akan datang.
Pesan untuk Warga Nahdliyin
Sebagai penutup saya ingin mengutip pesan KH. Hasyim Asy’ari tentang perlunya kita mewaspadai gerakan-gerakan Islam yang berusaha menyebarkan ajaran-ajarannya (di luar Aswaja) kepada masyarakat Indonesia. Pesan ini tertuang dalam khutbahnya pada acara Tasyakuran atas diakuinya legalitas (rechtspersoon) NU pada 6 Februari 1930 oleh Pemerinta Hindia Belanda kala itu. Berikut Pesannya yang penulis kutip dari Alif.id:
“Saudara-saudaraku orang-orang yang menyesatkan, sedari dulu berusaha untuk melakukan tipu daya (serangan) terhadap Islam secara sembunyi dan malu-malu. Tetapi saat ini mereka melantangkan suara mereka untuk menyerang Islam dengan sabar, mereka mampu memenuhi mulut-mulut mereka dengan keragu-raguan dan kebingungan. Tak cukup dengan hal itu, mereka turut melakukannya kepada organisasi (NU) dan mengirimkan koran-koran dengan mobil (media).”
– Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, Demisioner Ketua PMII Rayon Dakwah dan Komunikasi Komisariat UIN Alauddin Makassar.