Cerpen: A. Warits Rovi
Malam itu, hujan baru saja reda, hampir bersamaan dengan dua belas dentang jam kuno yang bunyinya menyeberangi senyap dari arah masjid Ar-Rahman di ujung selatan desa. Samad terkejut begitu ia tiba-tiba melihat Burni—kucing kesayangannya yang berbulu putih dan tebal—berdiri di samping pintu yang daunya dikuakkatupkan angin. Kucing itu menjilat-jilat sebelah kaki depannya, kedua matanya sayu, nyaris tak berkedip, dan tampak lelah.
Meski tak sekarib istrinya dengan kucing, Samad juga merasa ingin sekali menimangnya, atau mengelus-elus bulunya hingga binatang itu memejamkan mata. Dua tahun berlalu sejak Pak Lurah resmi melarang warganya berinteraksi dengan kucing karena takut ditulari virus, cukup membuat Samad dicekik kesepian dan kerinduan pada kucing kesayangannya itu.
Rahma, istrinya, yang mungkin sedari tadi melihat kedatangan kucing itu, seketika berlari-lari kecil ke arahnya dengan riang dan bertepuk tangan.
- Iklan -
“Ayo masuk! Kau sudah dua tahun tidak tidur di dalam rumah ini,” ujar Rahma manja.
“Jangan, Ma! Meski kini pandemi sudah berlalu, tapi kita harus tetap waspada. Jangan sentuh kucing itu. Aku masih khawatir ada virus dalam tubuhnya, sebab seharian ia bermain dengan betinanya di jalan-jalan kampung ini,” pinta Samad kepada Rahma dengan nada serius.
Rahma tidak menyahut. Ia hanya memandangi sepasang mata suaminya. Keduanya lantas lekat beradu tatap. Satu sama lain, seperti saling mengirim pesan tersembunyi melalui tatapannya masing-masing. Adegan itu baru berakhir saat terdengar seusik suara dari lantai. Lekas Samad dan Rahma menoleh ke arah suara itu; ternyata bunyi gerak tubuh Burni yang naik ke atas kursi, kemudian merebahkan tubuhnya sebagaimana kebiasaannya dua tahun silam, sebelum ada pandemi. Di kursi itu, seperti yang juga dirasakan manusia, ia baru menemukan dunianya kembali yang normal setelah dua tahun lenyap oleh pandemi.
“Sebagaimana aku yang merindukan Burni, Burni juga sangat merindukan kursi itu,” ucap Rahma pelan.
“Ya. Ma! Sejak malam ini aku mengizinkannya tidur kembali di kursi itu,” jawab Samad.
Hati Rahma lega mendengar pernyataan itu.
“Kau tahu, Ma! di Dusun Lente, dulu banyak warga yang terjangkit Covid-19. Tak menutup kemungkinan, sebagian di antara mereka punya kucing betina yang bisa saja terlibat droplet dengan tuannya meski selama ini Pak Lurah melarang warganya berinteraksi dengan kucing. Jika kemudian kucing betina itu bermain dengan Burni, tentu saja Burni akan tertular virus jahat itu. Jika kau menyentuhnya, bisa mungkin virus itu akan menular kepadamu.”
Untuk kesekian kalinya Samad menjelaskan alasannya kenapa ia melarang Burni tidur di dalam rumah selama pandemi.
“Sekarang Covid-19 kan sudah lenyap, Mas. Lalu kapan aku bisa menyentuh Burni?” tanya Rahma dengan nada agak ketus.
Sebentar Samad terdiam. Padangannya tertuju pada gerak pelan gorden yang disisir angin di balik kaca jendela yang sesekali silau oleh jepretan cahaya kilat dari luar.
“Nanti kalau vaksinmu lengkap, Ma,” jawab Samad tegas sebelum ia gegas ke arah kamar, setelah sebelumnya ia menoleh ke kucing itu; lelap dan pulas seolah baru tuntas menyeberangi minpi buruk zaman yang mencekik banyak orang dengan sebutan pandemi.
#
Kebiasaan Burni yang dulu, kini kembali terulang; ia akan pulang selepas subuh setelah semalaman bermain dengan betinanya. Jika pintu rumah Samad masih tertutup, ia akan mengeong berulang kali hingga ada yang membuka dan membiarkannya masuk. Lalu tidur di atas kursi—yang oleh Rahma—sudah dilengkapi alas sarung bekas yang dilipat melingkar hingga tebal dan lembut.
Rahma akan mengamatinya dari jarak satu setengah meter. Ia kerap tersenyum sendiri saat melihat Burni menggeliat ketika beberapa ekor kutu menyembul dari bulu-bulunya. Saat ia kembali pulas sambil menganga dengan suara yang mirip dengkur, Rahma ikut merasakan sebentuk ketenangan.
“Sungguh ini kemerdekaan usai pandemi,” gumamnya.
Ia tak sabar menunggu hari vaksinasi kedua. Selain karena dorongan dirinya untuk sehat, juga karena tak sabar segera memegang Burni dan memandikannya untuk menggasak kutu-kutunya yang menjengkelkan.
Tiga hari setelahnya, Pak Lurah mengeluarkan surat edaran yang disebar melalui media sosial. Isi surat itu membolehkan warga kembali berinteraksi dengan kucing piaraannya. Tidak hanya itu, dalam surat itu, Pak Lurah juga akan mengadakan lomba Kontes Kucing Sehat yang akan digelar bulan depan di rumahnya dengan hadiah jutaan rupiah.
Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa lomba itu sebagai wujud syukur atas lenyapnya pandemi sekaligus timbal balik keadaan setelah dua tahun lamanya warga tidak diperbolehkan berinteraksi dengan kucing. Di antara syarat dari lomba itu adalah peserta harus menunjukkan kartu vaksin sekaligus lulus uji survei ketersediaan alat-alat penanggulan covid-19 di area rumahnya.
Warga antusias untuk mengikuti lomba itu, termasuk Rahma. Sebagai syarat untuk lulus survei, ia memperbarui alat-alat pencegahan Covid-19 yang ada di ruamhnya, seperti alat cuci tangan, hand sanitizer, kotak masker gratis bagi tamu, dan lain sebagainya. Selebihnya, ia juga menyiapkan perawatan intensif dan menyediakan makanan bergizi bagi Burni agar ia menang di kontes nanti. Tak tanggung-tanggung, Rahma rela menarik tabungannya demi memberikan yang terbaik bagi Burni.
“Ini sebagai ekspresi kebahagian atas lenyapnya pandemi sekaligus bentuk selebrasi atas diperbolehkannya kembali berinteraksi dengan kucing, Mas!” ungkap Rahma kepada Samad saat ditanya kenapa ia sampai rela menarik tabungan. Samad hanya tersenyum, ia seperti turut merestui dan merasa dirinya juga perlu berselebrasi atas lenyapnya pandemi.
“Tapi yang perlu kita ambil hikmahnya adalah betapa mahalnya kesehatan dan kondisi aman dari ancaman penyakit, serta perlunya ke depan menjaga dan mempertahankan semua ini, Ma!” sambung Samad seraya melirik Rahma yang tengah sibuk merapikan alat-alat mandi kucing yang bersisian dengan banjar pakan dalam kemasan plastik.
#
Sejak Rahma membeli kebutuhan untuk persiapan kontes, Burni hanya sekali mandi dan makan di rumah tuannya. Hari setelahnya ia tak pernah pulang. Sudah hampir seminggu Rahma dan Samad menunggu kucing kesayangannya itu pulang terutama ketika subuh. Setelah terasa lama menunggu, mereka pun melakukan pencarian dengan jalan kaki dari satu tempat ke tempat lain di desanya seraya memanggil-manggil nama Burni.
Demi memaksimalkan upaya pencarian, Rahma tak jarang mohon izin masuk ke pekarangan setiap rumah untuk mencari Burni, terlebih jika ia melihat ada kerumunan kucing. Ia akan mengamati dari dekat dengan teliti kucing-kucing itu walau pada akhirnya yang ia rasakan tetap sama seperti hari sebelumnya; sia-sia.
Saat istirahat dalam pencarian, Rahma selalu menyandarkan kepalanya ke dada Samad sembari menangis. Ia menimang-nimang pakan plastik yang ia beli sambil terus menyebut nama Burni.
Merasa tak puas dengan pencariannya, Rahma dan Samad sampai rela pergi ke dukun untuk memastikan keadaan Burni. Tapi si dukun malah menyatakan sesuatu yang tidak Rahma harapkan. Ia bilang bahwa Burni sudah dibawa ke langit oleh sekelompok jin sebagai tanda lenyapnya pandemi.
“Tidak! Itu pasti bukan Burni. Burni hanya kucing biasa. Tak mungkin lenyapnya pandemi ditandai dengan diangkatnya Burni ke langit. Aku yakin Burni tetap ada,” sergah Rahma di depan si dukun, membuat Samad harus segera menutup mulut istrinya itu dengan telapak tangan dan kemudian pulang dengan segala kesia-siaan.
Hari pelaksanaan Kontes Kucing Sehat semakin dekat, sementara Burni masih belum juga pulang. Rahma nyaris putus asa dan lebih sering berdiam di kamar sambil menangis. Waktu Samad kini banyak digunakan untuk mendampingi Rahma agat tidak depresi.
“Meski Burni tidak ada, Ma. Kebahagiaan yang harus kita nikmati dan kita syukuri sekarang adalah lenyapnya pandemi. Jadi kita harus tetap tersenyum, Ma!” ucap Samad suatu pagi dengan nada lembut. Lirih tangannnya mengelus rambut istrinya. Tak sepatah kata pun yang keluar dari bibir Rahma, kecuali hanya menatap tajam ke luar jendela.
“Dulu, saat pendemi melanda, kita dan seluruh manusia dicekam ketakuktan dan kekhawatiran. Kala itu, meski ada Burni toh kucing itu tak mampu membuang cekam kita, Ma. Dan hari ini pandemi telah berlalu. Mestinya kita bersyukur dengan gembira menjalani aktivitas. Meski tak ada Burni, perabot penanggulangan Covid yang mama beli tidak akan sia-sia, itu bisa kita gunakan untuk mendukung kita dalam menjalani gaya hidup sehat di hari-hari yang akan datang. Ayo, Ma! Tersenyumlah! Bangkitlah! Pandemi sudah tak ada!” suara Samad lantang, mengalahkan suara kersik daun kering di dekat jendela. Ia tak menyangka kemudian Rahma alih menatap dirinya, perlahan mengembang senyum di bibir mungilnya. Matanya berkedip. Lalu mengangguk.
Saat tiba pelaksanaan kontes kucing, Rahma datang ke acara itu meski sedikit berat. Kucing-kucing bagus cukup membuat dadanya bergemuruh karena ia teringat pada Burni. Kedua matanya nyaris menangis. Tapi ia bisa menahan dengan lebih mengingat indahnya hidup yang aman dari pandemi. Di sela-sela sorak dan tepuk tangan, tiba-tiba ia terkejut saat ada yang menyentuh betisnya. Sontak ia menoleh ke bawah; seekor kucing berbulu putih dan tebal sedang menggesek-gesek betisnya dengan nyaman, ia mendongak dan mengeong.
“Burni? Ini Burni datang, Mas!”
Cepat tangan Rahma menarik baju Samad dan menunjuk ke bawah. Spontan Samad mengikuti arah telunjuk istrinya.
“Burni? Mana Burni, Ma?”
“Lho? Padahal kucing itu tadi di sini, Mas!”
“Hidup memang sulit diterka, Ma. Kadang hilang, kadang datang, seperti Burni, juga seperti pandemi. Kuncinya adalah tetap waspada tapi tetap gembira,” kata Samad kepada Rahma.
Sebentar keduanya saling tatap, sebelum akhirnya dikejutkan oleh gemuruh tepuk tangan dan sorak penonton atas seekor kucing yang lincah berjalan seperti sambil menari di atas catwalk mini yang terbuat dari sirap kayu. Kucing itu berbulu putih dan tebal persis Burni.
Gaptim, 2021
*A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra. Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472.