Oleh Ilham Wahyudi
Perempuan itu duduk sendiri dalam kamar memandang jauh keluar jendela—matanya seolah menembus dinding-dinding rumah penduduk. Mata indah yang mulai kabur. Mata yang bila setiap orang memandangnya pasti akan terpesona, sebab pancarannya menerbitkan keteduhan.
Angin malam menerobos masuk membelai wajahnya yang masih terlihat cantik. Sangat cantik untuk ukuran perempuan seusianya. Meskipun usianya tidak lagi muda, namun semangatnya memperjuangkan nasib orang-orang yang menjadi korban kekerasan cukup menjadi bukti kalau ia belum setua usianya.
Rambutnya yang panjang sepunggung dibiarkannya terurai. Sehingga angin malam yang menusuk tulang bebas menjilati rambutnya yang tak sehelai pun berwarna keperakan. Perempuan itu memang tak jauh berbeda dari setengah abad yang lalu. Saat ia begitu bersemangat memperjuangkan nasib rakyat di bawah bendera salah satu partai besar pada masa itu. Kini partai itu dilarang dan dianggap berbahaya di negeri demokrasi ini.
- Iklan -
Demokrasi? Mendadak ia mempertimbangkan kata demokrasi itu. Setahunya, di mana pun negeri demokrasi tidak pernah melarang siapa pun memperjuangkan ideologi yang diyakininya. Apa pun itu ideologinya. Hati kecilnya menangis. Dadanya terasa sesak—ingatan masa mudanya menari-nari di matanya yang teduh bagai pualam.
Pelan tangan perempuan itu menggapai sebuah album yang sudah beberapa hari tergeletak di meja—tempat ia biasa menulis puisi dan cerpen. Puisi dan cerpen perempuan itu sebagian besar bercerita tentang peristiwa kekejaman dan pembunuhan massal yang terjadi di negerinya. Baru-baru ini ia mendapatkan penghargaan sastra atas konsistensinya dalam berkarya. Satu bulan yang lalu ia juga diundang membacakan cerpennya di luar negeri.
Tiba-tiba tangan perempuan itu berhenti di salah satu foto dalam album. Foto pemuda tampan berkumis tebal dan berambut ikal. Abdul Jamil namanya. Abdul Jamil adalah cucu salah seorang tokoh pergerakan sebelum kemerdekaan. Ayah Abdul Jamil sendiri seorang guru mengaji. Sedangkan Abdul Jamil, lelaki yang fotonya di tangan perempuan itu adalah salah satu sahabatnya.
Orang-orang di sekeliling mereka memang hanya menganggap Abdul Jamil dan perempuan itu sebagai sepasang sahabat karib. Sahabat yang selalu membantu satu sama lain. Tidak lebih. Namun tidak bagi perempuan itu. Baginya Abdul Jamil adalah segalanya. Segala yang membuat ia tersenyum, bersemangat, dan tidak pernah takut menghadapi apa saja. Abdul Jamil pun sesungguhnya merasakan hal yang sama. Rasa yang sulit dia ungkapkan. Tapi terus saja tumbuh subur sejak mata mereka pertama kali berbenturan pandang.
Cinta? Mungkin. Tetapi Abdul Jamil tidak pernah mengutarakan isi hatinya. Begitu juga dengan perempuan itu, hanya bisa memendam perasaan.
Dulu, perempuan itu sempat menjadi bendahara partai di salah satu cabang, dan Abdul Jamil ketuanya. Namun, setelah peristiwa dini hari di ibu kota, partai tempat mereka berjuang menjadi bulan-bulanan pelampiasan kemarahan kaum reaksioner yang sudah sejak lama memusuhi. Abdul Jami ditangkap dan kemudian hilang seperti ditelan bumi. Ada yang mengatakan dia ditembak mati. Ada juga yang mengaku pernah melihatnya di salah satu penjara. Tetapi sudah banyak penjara yang didatangi perempuan itu, Abdul Jamil tak pernah ditemukan.
Bermula dari sebuah perkenalan singkat saat mereka sama-sama mengikuti kegiatan pengkaderan partai. Lambat laun tumbuh benih-benih cinta di antara mereka.
“Kamu mau ikut pengkaderan juga?”
Itulah kali pertama Abdul Jamil berbicara kepada perempuan itu. Perempuan yang memiliki kecantikan bunga mawar putih yang sedang merekah. Perempuan yang matanya seumpama batu safir yang paling indah. Jantung Abdul Jamil bergetar ketika menunggu perempuan itu menjawab pertanyaannya. Tak sedetik pun dia palingkan wajahnya dari perempuan itu. Abdul Jamil merasakan sebuah kedamaian memenuhi rongga dadanya saat matanya memandang mata perempuan itu.
Sabar Abdul Jamil menunggu.
“Ya. Kamu juga ikut?” perempuan itu balas bertanya.
Sepertinya bukan hanya Abdul Jamil yang memerhatikan perempuan itu. Abdul Jamil paham. Cepat dia mengangguk dan menyodorkan tangannya,“Abdul Jamil, kamu?”
“Marlina…, Marlina Pitaloka,” balas perempuan itu sambil menyodorkan tangannya juga. Ia tak butuh waktu lama untuk meyakinkan dirinya bahwa pemuda yang ada di hadapannya adalah lelaki tampan yang memiliki banyak kelebihan. Bahkan hati kecilnya menduga pemuda itu pasti menjadi incaran para gadis dan kelak akan menjadi pemimpin yang disegani kawan atau lawan.
Tidak terasa kedua bola mata perempuan itu mengeluarkan butiran-butiran bening. Pelan ia usap air matanya dengan sapu tangan putih pemberian Abdul Jamil di hari ulang tahunnya dulu. Sapu tangan yang sampai saat ini masih ia simpan dengan baik. Kedua mata perempuan itu memang selalu saja basah bila mengingat Abdul Jamil atau hanya sekadar memandang fotonya yang mulai buram didekap waktu.
Perempuan itu semakin tenggelam dalam kesedihannya. Ia sungguh tak dapat membendung rasa bersalahnya kepada Abdul Jamil. Rasa yang puluhan tahun tersimpan dalam hatinya. Ingin rasanya ia mati untuk menebus semua itu. Tapi lagi-lagi senyuman Abdul Jamil muncul dalam bayangannya dan seolah-olah berbisik, perjuangan masih panjang sayang. Kalimat itu begitu jelas terdengar di sela-sela daun telinganya. Sejurus kemudian membawanya ke suatu masa yang lampau.
“Ayolah Marlina, kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum mereka menemukan keberadaan kita,” Abdul Jamil membujuk. Wajahnya masih terlihat tenang meskipun hatinya pada saat itu diselimuti kecemasan. Abdul Jamil bukan sedang mencemaskan dirinya. Baginya setiap perjuangan tentu berbarengan dengan pengorbanan—sekalipun itu nyawanya sendiri. Tetapi dia tidak ingin kalau yang menjadi korban adalah perempuan yang sangat dia cinta. Lagi pula sebagai pemimpin, sudah selayaknyalah dia lebih mementingkan keselamatan anggotanya daripada dirinya sendiri.
“Tidak, Jamil. Aku tidak akan pergi! Lagi pula partai belum tentu terlibat. Orang-orang di pusat bergerak atas inisiatif pribadi. Jadi untuk apa kita takut,” balas perempuan itu.
“Marlina, aku bukannya takut. Tapi kawan-kawan di pusat dan di daerah sudah banyak yang menjadi korban pembalasan. Sejujurnya, kalau saja yang menjadi korban itu adalah aku, tidak sedikit pun darah lelakiku ciut. Tapi aku tidak mau kalau kau juga menjadi korban. Kalau itu sampai terjadi, aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri!” Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan Abdul Jamil. Sehingga satu kalimat yang sangat penting tidak mampu dia ungkapkan.
Sebuah gelombang dahsyat tiba-tiba saja menghempaskan perempuan itu ke dimensi lain. Dimensi yang penuh dengan bunga-bunga. Belum pernah ia mendengar Abdul Jamil bicara begitu tulus dan memohon kepadanya. Apalagi dalam kalimat yang diucapkan Abdul Jamil tersirat sebuah pesan yang dalam. Sekejab perempuan itu mabuk dalam lamunannya. Lalu balik bertanya.
“Maksudmu, Jamil?” selidik perempuan itu. Sebenarnya ia sangat berharap Abdul Jamil mau mengungkapkan isi hatinya.
Abdul Jamil kikuk. Wajahnya memerah mendengar ucapan perempuan itu. Untung dia cepat menguasai dirinya. Lagi pula dia sudah tidak punya banyak waktu jika harus mengungkapkan perasaannya. Biarlah nanti waktu yang akan bercerita.
“Maksudku sebagai pemimpin, di saat seperti ini seharusnya aku lebih memikirkan dan mementingkan keselamatan kawan-kawan di atas kepentinganku sendiri. Aku akan merasa bersalah kalau tidak bisa menjaga dan melindungi kawan-kawan. Dan sebagai pemimpin, aku telah gagal,” jawab Abdul Jamil tenang.
Perempuan itu diam. Ia mencoba mencari cara untuk mendesak Abdul Jamil sehalus mungkin agar mau mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba…
Dar…dar…dar…!
Perempuan itu terkejut. Begitu juga Abdul Jamil. Spontan tangan Abdul Jamil memberi aba-aba agar perempuan itu segera lari dari pintu belakang. Tapi mana mungkin perempuan itu sanggup meninggalkan Abdul Jamil. Membiarkan orang yang dicintainya itu sendiri menghadapi maut. Dengan satu kode pula perempuan itu memberi tahu Abdul Jamil kalau di belakang juga sudah dikepung.
“Keluar kalian!” teriak salah seorang dari luar pintu.
“Jangan takut kita akan hadapi sama-sama,” pelan perempuan itu berbisik di telinga Abdul Jamil. Ingin rasanya Abdul Jamil menangis saat itu juga karena tak sanggup membayangkan perempuan itu mengalami nasib yang mengenaskan seperti kabar yang dia dengar dari orang-orang yang berhasil kabur. Belum habis dia membayangkan semua itu.
Praak.
Pintu terbuka. Belasan lelaki berseragam lengkap dengan senjata menerobos masuk ke dalam, seperti sekumpulan serigala lapar. Tanpa bicara sepatah kata mereka langsung menyeret Abdul Jamil keluar. Melihat Abdul Jamil diperlakukan begitu, kontan darah perempuan itu mendidih. Ia pun mencoba melepaskan Abdul Jamil sekuat tenaga.
Tapi…
Puk…
Sebuah bedil keras menghantam kepala perempuan itu. Ia tersungkur ke tanah. Dunia seperti berputar-putar dan perempuan itu kemudian tak sadarkan diri.
Kriing….kriing…kriing…!
Suara telepon berdering. Perempuan itu sadar dari lamunannya. Lamunan yang sering membuat matanya yang teduh bagai batu safir itu basah. Setelah mengusap air matanya dengan sapu tangan putih pemberian Abdul Jamil, ia pun mengangkat telepon.
“Halo! Halo…!” perempuan itu buka suara.
Tak ada jawaban.
“Halo! Halo! Halo!”
Masih tak menjawab.
Perempuan itu menutup telepon. Tetapi baru beberapa langkah ia membelakangi telepon, benda yang mulai ketinggalan zaman itu berbunyi kembali.
“Maaf, saya tidak ada waktu untuk main-main. Saya sudah sering diteror! Katakan saja apa mau Anda!” cecar perempuan itu begitu telepon ia angkat.
“Marlina…Marlina Pitaloka,” berat suara dari seberang telepon.
Perempuan itu kaget. Sebenar-benar kaget. Ia seperti mundur jauh ke tahun-tahun lampau yang penuh cita dan cinta. Mendadak air matanya kembali tumpah begitu saja. Bagai hujan yang telah lama merindukan bau tanah.
Jakarta, 2020
*ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan ada yang ditolak. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit.