Oleh S. Prasetyo Utomo
BERJALAN kaki ke dusun tandus, menapaki langkah mencapai ujung jembatan bambu, Aryo termangu. Akankah ia memaksakan diri meniti jembatan yang bergoyang-goyang itu? Atau membiarkan beduk magrib berlalu tanpa mencapai dusun tandus terpencil yang tersekap gersang pepohonan? Cericit kelelawar telah memberi pertanda, langit segera kelam, dan jalan setapak berlumut ke rumah perempuan tua – ibu kandung Aryo – mendadak serupa alur bayangan.
Kaki Aryo bimbang melangkah. Terhenti di ujung titian jembatan bambu. Menimbang-nimbang perasaannya. Lutut gemetar. Tak mau menapaki titian bambu yang melapuk, bercelah-celah, menampakkan bebatuan di dasar kali. Air parit mengalir dangkal, dan gemerciknya menyuarakan risau hati lelaki muda itu. Bagaimana mungkin ia mesti menemui ibu kandungnya di desa tandus terpencil di seberang jembatan? Perempuan penjual pecel itu memang ibu yang melahirkan Aryo, tetapi semenjak kecil tak pernah sekalipun menerima sentuhan kasih sayangnya.
“Bersujudlah pada ibu yang melahirkanmu,” kata Kiai Najib, tenang, di masjid. “Mintalah restu. Kau telah melupakannya.”
- Iklan -
“Tapi saya tak pernah mengenal ibu kandung. Sejak kecil saya dipungut Kakek. Saya lebih mengenal Mak Dilah yang mengasuhku seperti seorang ibu.”
“Apa kau malu memiliki ibu seorang penjual pecel?” desak Kiai Najib pelan, dengan cahaya mata tajam, merasuk ke dalam pusat batin Aryo. Lelaki yang kini dikenal sebagai pegawai pemerintah itu tergetar, merasa dihujat, dikelupas luka yang melapisi hatinya.
“Kau seorang calon pejabat. Bagaimana kau bisa ngayomi pegawai? Ibumu sendiri kaucampakkan!”
Tertunduk, dan merasuk sepi masjid yang menekan perasaan Aryo. Kiai Najib terdiam, dan hanya memandangi Aryo dengan mata tajam. Kiai duduk bersila. Tenang. Ketenangan inilah yang merapuhkan hati Aryo. Ia tak pernah menemukan pandangan Kiai Najib sekeras ini.
***
MASIH termangu di ujung jembatan bambu, Aryo merasakan kebimbangannya seirama dentam beduk magrib. Bagaimana mungkin ia mesti bersujud di hadapan perempuan yang asing baginya? Perempuan yang dikeramatkan, tetapi tak terpahat di hati? Tiap tahun ia selalu bersujud pada Kakek dan Mak Dilah, dengan berlelehan air mata. Ia ikhlas melakukan apa pun untuk Kakek dan Mak Dilah, perempuan yang telah mengasuh dan membesarkannya sejak kecil.
Untuk berbalik, meninggalkan titian bambu, Aryo tak berani. Ia merasa di belakang punggungnya berdiri Kiai Najib, mengikuti langkahnya. Ia percaya, Kiai Najib tak pernah benar-benar melepaskannya.
Semasa menempati rumah baru, setelah menikah dengan Lastri, Aryo berguru pada Kiai Najib, bersama tetangga yang lain. Ia belum menemukan teman baru. Masih terasing. Masih merasakan kesunyian yang tajam menyengat. Di masjid itu tak seorang pun menegurnya. Didiamkan sebagai orang asing. Dibiarkan datang dan meninggalkan masjid. Kiai Najib selalu menyalaminya. Kiai Najiblah yang dengan nada ramah menerimanya di masjid, dan memperkenalkannya pada tetangga-tetangga yang sebelumnya tak berkenan menyapa Aryo.
Orang-orang mengikuti keramahan Kiai Najib pada Aryo. Kini orang-orang mulai menyapa, mengajaknya berbincang-bincang, mengundang kenduri, mengantarkan makanan ke rumah Aryo. Sebagai pengantin baru, lambat laun ia merasa kerasan tinggal di kampung tepi kota itu. Ia mulai menjadi bagian dari tawa dan kemarahan orang-orang kampung. Ia tak lagi dianggap seorang pendatang, yang masih asing dan mesti dihindari.
***
TUBUH Aryo bergetar di ujung titian bambu. Suara anak-anak mengaji di surau kian menyentak dadanya. Ia tak pernah punya keberanian untuk menemui ibu kandung yang melahirkannya.
Seumur hidup, ia baru beberapa kali menemui ibu kandungnya. Ini terjadi beberapa hari menjelang pernikahannya. Ia sungguh tak siap bertemu dengan perempuan tua yang telah mengandung dan melahirkannya. Lastri, calon istrinya, yang menenteramkan batinnya. Mengajaknya menemui ibu kandungnya, perempuan tua penjual pecel yang tinggal di rumah kayu mungil, aus dan kusam semua dindingnya. Tepat di ujung jembatan bambu itu dulu ia termangu. Kebimbangan ini melelahkan. Tetapi ia tak bisa menghindar dari tuntutan Lastri.
Teringat ia kata-kata Lastri dulu. “Mestinya kamu bahagia memiliki dua orang perempuan yang mendampingimu. Kau memiliki ibu yang melahirkanmu. Mesti tak merawatmu, dia selalu mendoakanmu. Kau juga memiliki Mak Dilah, perempuan yang mengurus, dan membimbingmu hingga jadi pegawai seperti sekarang ini. Aku tak seberuntung kamu, Mas! Ibuku meninggal ketika aku masih kecil, sembilan tahun umurku, dan Ayah menolak untuk menikah lagi. Beliau membesarkanku seorang diri.”
Barulah Aryo bergerak perlahan, melangkah di antara bentangan bambu yang melintas di atas sungai kecil. Pelan-pelan. Langkah kakinya berat. Tangan Lastrilah yang memegang dan menuntunnya ke seberang sungai kecil curam. Dalam samar senja, tangan lembut Lastri membimbingnya menapaki jalan licin yang berkelok mendaki ke rumah ibu kandungnya. Pelataran itu sunyi, menenteramkan hatinya. Perempuan tua itu muncul dengan senyum di bibirnya. Rupanya bibir itu senantiasa memendam senyum saat menerima kehadiran seseorang.
“Kaukah itu Aryo?”
“Ya, Bu. Ini Mas Aryo,” tukas Lastri.”Dan ini saya, calon menantu Ibu.”
“Jadi, kalian mau nikah, Nak?”
Aryo tak juga mau mendekat. Ia risau. Sangat risau. Tangan keriput perempuan tua itu meraih wajahnya. Laki-laki itu menghindar. Lastrilah yang meraih tangan perempuan tua itu untuk menyentuh tubuh anak lelakinya. Tangan yang dingin. Sangat dingin. Tangan yang membuat seluruh simpul saraf Aryo bergetar.
“Oh, kau tampan. Tidak dekil seperti waktu bersamaku,” desah perempuan tua itu. Tetapi Aryo malah tampak semakin sedih. Ayahnya berdiam diri di balai-balai, duduk bersila membenahi benang-benang jala yang terputus. Laki-laki tua berjenggot itu menahan diri. Duduk. Merokok. Memandangi Aryo dan Lastri.
“Kami kemari untuk meminta restu Ibu,” kata Lastri, lembut, penuh permohonan. “Kami akan nikah bulan depan.”
“Jagalah anakku. Aku tak pernah bisa menjaganya.”
***
BELUM juga Aryo melangkah, meniti jembatan bambu. Suara anak-anak mengaji di surau seriuh kebimbangan hatinya. Hanya dipandanginya saja jembatan yang membentang di atas sungai kecil curam menganga, yang menghubungkannya ke dusun terpencil. Dusun itu tak pernah didatangi orang, kecuali mereka yang ingin membeli ikan tangkapan lelaki tua berjenggot, ayah Aryo. Hanya ada satu rumah terpencil dikelilingi ladang jagung di seberang jembatan bambu itu. Tetangga terpencar jauh di atas ladang mereka. Anak-anak mereka meninggalkan dusun itu, dan memilih tinggal di daerah lain, merantau, bila sudah beranjak dewasa.
Aryo merasakan udara yang kian dingin. Telah beberapa lama ia termangu. Tak ada orang yang melewati jembatan bambu ini. Ia tahu orang-orang dari dusun terpencil itu hampir-hampir tak pernah meninggalkan dusunnya, kecuali pergi ke pasar selama seminggu dua kali. Hanya orangtua Aryo yang selalu meninggalkan rumah. Ayahnya menjala ikan di kali. Ibunya berjualan pecel ke desa seberang sungai. Tak kenal lelah. Tak pernah mengeluh.
Orang dari luar dusun terpencil yang datang ke rumah lelaki tua berjenggot mulai jarang. Ikan-ikan segar dari sungai kini dapat dibeli di pasar. Hanya sesekali seseorang meniti jembatan bambu itu, melintas jalan setapak, mendatangi rumah perempuan tua itu untuk membeli ikan-ikan wader yang segar.
Belum sanggup Aryo menaklukkan hatinya sendiri. Ia masih teringat rekan-rekan sepermainannya yang menghinakannya. Mengejeknya sebagai anak penjala ikan. Hinaan itu kian memahat hatinya semakin dalam.
Kini tak ada lagi Mak Dilah yang melindungi perasaan Aryo. Setahun silam Mak Dilah meninggal. Kakek telah meninggal lima tahun silam, tanpa sakit, tanpa keluhan. Aryo mesti berjalan sendiri. Tanpa seseorang yang melindungi hatinya.
***
TITIAN bambu itu masih terbentang. Suara anak-anak mengaji di surau meluruhkan kebimbangan hati Aryo. Alangkah berat kaki Aryo untuk menitinya. Ia tak berani melangkah. Masih menimbang-nimbang perasaannya. Cericit kelelawar yang berseliweran menggetarkan kebimbangan hatinya. Kini dusun terpencil itu benar-benar gelap, benar-benar jadi kesunyian yang sempurna. Tampak kerlip lampu di kelam sunyi rumah-rumah di lereng pegunungan.
Hampir saja Aryo berbalik. Menoleh. Ia melihat sosok Kiai Najib. Kali ini dengan pancaran mata tajam, dengan tubuh yang kokoh berdiri di belakangnya. Memandang dengan bibir menyungging senyum. Tak pernah ia melihat Kiai Najib menyungging senyum penuh harap serupa itu. Rasanya yang ditemuinya kali ini bukan Kiai Najib yang biasa dilihatnya di masjid.
“Mengapa kamu belum juga menyeberangi jembatan bambu itu? Kau akan mencapai sebuah rumah yang bercahaya,” suara Kiai Najib bening.
Tanpa menoleh, dengan lutut gemetar, Aryo mengayunkan kakinya meniti jembatan bambu. Terdengar derit-derit bambu, pelan dan pilu. Ia tak perlu memastikan, apakah yang berdiri di belakangnya, benar-benar Kiai Najib atau sekadar bayang-bayang. Kini suara anak-anak mengaji di surau itu memantapkan langkah kakinya. ***
Pandana Merdeka, September 2021
*S. PRASETYO UTOMO, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.
Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.
Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang terbaru adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).