Oleh Syamsuddin
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa di abad yang serba digital ini, mata kita sudah banyak dimanjakan oleh berbagai peristiwa yang sedemikian kompleks. Perubahan demi perubahan dari segala aspek seolah menjadi suguhan sehari-hari. Mulai dari perubahan gaya hidup, selera, cara berpikir, dan cara berkomunikasi. Yang ironinya perubahan tersebut juga berdampak pada aspek agama.
Dalam konteks agama Islam, kita diajarkan bahwa setiap persoalan harus dikembalikan kepada ahlinya, agar substansi dari ajaran Islam tetap terpelihara sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits, meskipun dalam kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa terjadi berbagai perbedaan interpretasi dalam memahami ajaran Islam tersebut.
Keharusan mengembalikan (menanyakan) persoalan kepada ahlinya atau dengan bahasa sederhana bertanya pada ulama, kiai, ustaz. Sudah menjadi kultur tersendiri bagi umat Islam Indonesia (lebih spesifik warga Nahdliyyin) yang dilakoni selama berpuluh-puluh tahun. Sehingga mereka lebih banyak memahami Islam secara kontekstual berdasarkan kondisi atau persoalan yang dihadapi, bukan langsung dengan membaca teks-teks agama (apalagi berdasarkan terjemahan) kemudian merasa paham ajaran Islam. Sebab bagi mereka (warga Nahdliyyin) yang mengerti teks agama (al-Qur’an, Hadits, Kitab Kuning) adalah para ulama, kiai, ustaz.
- Iklan -
Fenomena Ber-agama di Media Sosial
Memasuki era baru ini gemuruh informasi kian deras melewati batas-batas wilayah dan waktu. Sehingga nilai-nilai dari barat bisa sampai ke timur, pun sebaliknya nilai-nilai dari timur bisa sampai ke barat. Setiap kelompok berebut dominasi untuk menaklukkan kelompok yang lain atau menarik agar orang lain masuk ke kelompok mereka melalui lalu lintas media massa maupun media sosial.
Keterbukaan informasi dan komunikasi melahirkan fenomena yang baru, dimana setiap orang menjadi berani tampil dan berbicara tentang persoalan yang bukan bidang keahliannya. Tragisnya mereka yang tampil di media sosial dengan penyampaian yang berapi-api dan dengan modal beberapa hafalan ayat al-Our’an atau hadits (sering kali) lebih dipercaya ketimbang kiai ulama yang sudah sekian lama menimba ilmu dan mengabdi di pesantren.
Fenomena perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi ini kemudian menjadi penyebab lahirnya rentetan jarak di dalam kehidupan: jarak antar masyarakat dengan ulama, antar murid dengan guru, dan antara pemuda dengan orang tua. Dimana yang satu tergiring oleh arus perubahan dan yang satu tetap ingin mempertahankan nilai-nilai dari masa lalu.
Strategi Aswaja NU Menjembatani Masa Lalu dengan Masa Kini
Dalam menjembatani fenomena tersebut, ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja) – Nahdlatul Ulama (NU) berpegang pada kaidah:
“Al-muhafadzatu ‘alal qadimis salih, wal akhdzu bil jadidil aslah” (Memelihara tradisi masa lalu yang baik, dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik).
Ada dua hal yang akan kita garis bawahi di sini, yaitu: Pertama adalah al muhafadzah artinya merawat atau memelihara tradisi (nilai) dari masa lalu yang baik. Tradisi tersebut antara lain adalah tradisi pengkajian kitab-kitab kuning seperti yang dilakukan di pondok-pondok pesantren. Tujuannya agar anak-anak muda NU memiliki pegangan dan tidak kehilangan arah dalam menghadapi tantangan arus zaman.
Kedua adalah al akhdzu mengambil sesuatu di masa sekarang atau melakukan pembaharuan, yang dalam istilah fikih disebut “Tajdid.” Tajdid ini dibutuhkan agar pemahaman terhadap ajaran Islam tidak jumud dan kaku sehingga tetap sesuai dengan kondisi (zaman wa makan).
Menurut penjelasan Kiai Ahmad Siddiq bahwa tajdid itu mencakup I’adah (pemulihan ajaran Islam), Ibanah (memilah sunnah dan bid’ah) dan Ihya (menghidupkan kembali ajaran Islam) yang tentunya sesuai dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dengan fungsi-fungsi tersebut maka tajdid yang dilakukan akan berhasil menjadikan ajaran Islam selalu sesuai dengan konteks kondisi waktu dan tempatnya.
Dalam konteks yang kita hadapi sekarang, dimana terjadi revolusi komunikasi yang lebih terbuka dan lebih luas, dan pada saat yang sama kita menjadi sangat tergantung (lebih tepatnya kecanduan) terhadap teknologi, maka sikap al akhdzu (tajdid) yang bisa kita ambil adalah keharusan untuk mempelajari dan memahami bagaimana cara kerja teknologi (IT), demikian ini agar anak-anak muda NU tidak menjadi kaum yang diperbudak oleh teknologi. Selain itu dengan penguasaan terhadap IT maka anak-anak muda NU dapat menampilkan (lebih dominan) tentang ajaran Islam Aswaja-NU di beranda-beranda media. Sehingga tradisi bertanya kepada ulama dapat tersalurkan melalui media sosial yang jangkauannya lebih luas.
Dari sanalah kemudian kita menemukan Aswaja-NU selalu relevan dengan konteks zaman, kiai mengkompromikan nilai-nilai di masa lalu dengan nilai-nilai di masa kini, kemudian warga Nahdliyyin mengembalikan persoalan kepada ahlinya agar ajaran Islam secara murni (substansi) tetap terpelihara.
– Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, Demisioner Ketua PMII Rayon Dakwah dan Komunikasi Komisariat UIN Alauddin Makassar.