Oleh Hilal Mulki Putra
Sebelum saya menikmati bangku kuliah, penulis hanya seorang pemuda yang kurang begitu memperhatikan tentang berbagai paham kehidupan yang tersebar di Indonesia maupun belahan dunia lain.
- Iklan -
Begitu memasuki dunia perkuliahan dan dunia organisasi pergerakan saya mulai membaca dan mulai mengerti akan fenomena yang saat ini terjadi, yaitu tentang perkembangan paham radikalis atau ektremis teroris, liberalis dan fundamentalis.
Dewasa ini, perkembangan paham di Indonesia maupun dunia mengalami gejolak yang cukup mengkhawatirkan dimana perlahan paham-paham menyimpang menunjukkan taringnya dalam upaya mewujudkan ambisi politik yang diatasnamakan kepentingan rakyat, agama hingga Tuhan yang dibawa-bawa.
Kasus Taliban yang berhasil menduduki Afganistan menggambarkan bahwasannya paham ekstremis dengan sebuah agenda politik yang didalamnya terdapat embel-embel agama kembali menghantui rakyat yang ada dalam negara tersebut.
Hal serupa pastinya tak diharapkan untuk terjadi di Indonesia bukan? Oleh karena itu penting tranformasi dalam lingkup khazanah keilmuan berprinsip kearifan lokal atau bangsa serta ditunjang dengan pergerakan dari pihak perguruan tinggi perlu untuk terus digemakan.
Bukankah Dahulu para ulama yang sering dijadikan suri tauladan dalam kehidupan telah mewanti-wanti bahwasannya pentingnya sikap moderat yaitu, sikap menjung tinggi nilai keadilan ditengah-tengah kehidupan bersama, di mana tidak condong kearah paham ekstremis kiri maupun ekstremis kanan.
Moderatisme INISNU Temanggung
Singkat cerita, penulis menjatuhkan pilihan kepada Institut Islam Nahdhatul Ulama (INISNU) Temanggung sebagai tempat pengembaraan ilmu setelah boyong dari pesantren. Dalam kampus hijau ini saya menggambarkan bahwasannya kampus INISNU dapat digambarkan sebagai pesantren pergerakan.
Mengapa penulis beranggapan demikian? Karena dalam kampus ini diajarkan nilai tawasuth dalam beragam fenomena yang ada dalam kehidupan. Kampus INISNU dibawah naungan jam’iyyah Nahdlatul Ulama di mana nilai sikap moderat atau tengah tak perlu diragukan kembali,
Pada sebuah acara pendidikan kader IPNU di Jember, ada kisah yang menyayat hati. Kisah itu bermula dari seorang kiai yang mengisi materi Aswaja. “Kita tahu, nilai Aswaja itu salah satunya Tawasuth. Kita semua tahu juga, tawasuth itu artinya sikap agama yang mengambil jalan tengah. Tengah-tengah. Kata orang Jakarta, Tawasuth itu moderat. NU itu Tawasuth,” kata kyai kita ini (NU Online, 19/2/2012).
Kita mengenal bahwasannya Nahdhatul Ulama sebagai jam’iyyah yang menjunjung paham ASWAJA dalam menentukan sikap akan sebuah fenomena maupun arah politik selalu mengedenkan poros tengah atau yang lebih dikenal dengan tawasuth.
Dalam artikelnya Muchlishon Rochmat yang mengacu dalam buku Moderasi Islam menyampaikan setidaknya ada 6 ciri bersikap moderat dalam berislam, yaitu:
Pertama, memahami realitas. Dikemukakan bahwa Islam itu relevan untuk setiap zaman dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan).
Kedua, memahami fiqih prioritas. Umat Islam yang bersikap moderat sudah semestinya mampu memahami mana-mana saja ajaran Islam yang wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Ketiga, memberikan kemudahan kepada orang lain dalam beragama. Ada istilah bahwa agama itu mudah, tapi jangan dipermudah
Keempat, memahami teks keagamaan secara komprehensif. Perlu dipahami bahwa satu teks dengan yang lainnya itu saling terkait, terutama teks-teks tentang jihad misalnya. Ini yang biasanya dipahami separuh-separuh, tidak utuh, sehingga jihad hanya diartikan perang saja. Padahal makna jihad sangat beragam sesuai dengan konteksnya.
Kelima, bersikap toleran. Umat Islam yang bersikap moderat adalah mereka yang bersikap toleran, menghargai pendapat lain yang berbeda –selama pendapat tersebut tidak sampai pada jalur penyimpangan.
Keenam, memahami sunnatullah dalam penciptaan. Allah menciptakan segal sesuatu melalui proses, meski dalam Al-Qur’an disebutkan kalau Allah mau maka tinggal “kun fayakun.” Namun dalam beberapa hal seperti penciptaan langit dan bumi –yang diciptakan dalam waktu enam masa. Pun dalam penciptaan manusia, hewan, dan tumbuhan. Semua ada tahapannya. (NU Online: 20 Juli 2021).
INISNU sebagai Pesantren Pergerakan
Kampus sebagai aktualisasi pergerakan mahasiswa haruslah terus mengalami transformasi bukan hanya dalam bidang ilmu pengetahuan namun lebih daripada itu, perguruang tinggi wajib turut andil pula dalam upaya membentung paham radikalis-ektremis dan paham-paham intoleran lainnya yang telah dirasa membahayakan negeri ini.
Pada periode ini INISNU memiliki perbedaan karena mengusung dan menerapkan paradigma keilmuan integrasi-kolaborasi, collaboration of science, atau takatuful ulum dengan metafora Ketupat Ilmu yang digagas Hamidulloh Ibda melalui buku Membangun Paradigma Keilmuan Ketupat Ilmu: Integrasi-Kolaborasi: Collaboration of Science, Takatuful Ulum, dan Kolaborasi Ilmu.
Penulis merasa tranformasi yang dialami oleh INISNU Temanggung menggambarkan bahwasannya INISNU Temanggung bukan hanya menjadi perguruan tinggi formal seperti pada umumnya, akan tetapi INISNU kini telah bertransformasi menjadi semacam pesantren pergerakan modern yang aktif dalam khazanah ilmu pengetahuan, keagamaan hingga kearifan lokal.
Sebagaimana telah disebutkan perintegrasian dan kolaborasi ilmu pengetahuan dengan khas kearifan bangsa telah menggambarkan bahwasannya kampus INISNU Temanggung telah bertransformasi dan menyeimbangkan antara aspek ilmu pengetahuan dengan keagamaan.
Dimana kedua aspek tersebut akan menciptakan sumber daya manusia atau lulusan yang mengetahui betul akan kebutuhan dan tantangan zaman dan dapat menyaring akan paham-paham intoleran yang berusaha memecah persatuan bangsa.
-Penulis adalah Mahasiswa Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung.