Oleh M. Izzuddin Rifqi
Hampir setiap hari, suara ambulans memecah keriuhan jalan raya. Kabar duka memenuhi grup-grup WhatsApp dan toa musala. Panic buying hingga pro kotra PPKM darurat membanjiri linimasa dan beranda media sosial kita. Cemas, khawatir dan upaya resiliensi terus kita lakukan hampir sepanjang hari.
- Iklan -
Pandemi corona yang menyerang Indonesia pada Maret 2020 itu belum saja menghilang. Bahkan, ancamannya kini semakin mengerikan. Kita, seluruh masyarakat Indonesia memiliki kecemasan dan kekhawatiran masing-masing. Ironi tersebut, seakan memberi kita tidur yang tidak nyaman nyaris sepanjang malam. Lantas, apakah kita hanya bisa mengeluh dan meratapi kenyataan ini? Tentu saja tidak. Kita perlu menyumbang solusi konkret yang dekat dan bisa dijangkau oleh masyarakat kita.
Meski berbagai upaya telah diterapkan oleh pemerintah untuk menanggulangi pandemi ini, tetap saja, pada titik tertentu, situasi di lapangan terkadang tidak sejurus dengan ekspetasi pemerintah. Kita sebagai masyarakat yang pada akhirnya dituntut memiliki kedaulatan untuk mengatur diri sendiri, harus sadar dan memahami, bahwa semua solusi tidak harus menunggu intruksi atau keputusan dari pemerintah.
Seperti halnya saat ini, saat dimana pemerintah menerapkan peraturan PPKM darurat Jawa-Bali. Hampir sepanjang hari kita menyaksikan berita-berita yang memberi kita semacam kecemasan dan kekhawatiran; mulai dari overload-nya rumah sakit, banyak orang yang kehilangan pekerjaan hingga perdebatan perihal PPKM darurat. Sehingga realita tersebut menjadikan kita selalu mengharapkan kuatnya iman dan imun dari hari ke hari.
Hernanda dan Habibie dalam artikel ilmiahnya di jurnal LoroNG vol.6 yang berjudul “Tahlil Indonesia: Solusi Penyatuan Masyarakat Lintas Kelas” menjelaskan bahwa; ketika kita melaksanakan kegiatan sosial berbalut religius, maka kita akan menghasilkan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Manfaat religiusnya akan membentuk manusia mengalami transformasi spiritual bagi kedamaian dirinya. Sementara manfaat sosialnya, kita mampu menyatukan kehidupan antar warga dan membangun komunikasi yang terbuka.
Sudah barang tentu, apa yang dimaksud Hernanda dan Habibie dalam artikel tersebut adalah bagian dari solusi yang dibutuhkan masyarakat kita saat ini; penguatan iman dan imun. Kita bisa menyelenggarakan apa yang dimaksud dengan ‘kegiatan sosial berbalut religius’ itu secara virtual. Entah itu doa bersama atau membaca selawat bersama. Dan sebagaimana kita tahu, kegiatan apapun jika dilaksanakan secara virtual, akan bisa menjangkau massa yang lebih luas.
Saya pribadi sangat merasakan betapa besar dampak mengikuti ‘kegiatan sosial berbalut religius’ ini. Lebih tepatnya ketika TVNU menyelenggarakan kegiatan “Pembacaan Selawat Nariyah dan Doa untuk Keselamatan Bangsa dari Wabah” beberapa minggu yang lalu. Pada kegiatan yang diselenggarakan secara virtual tersebut, saya sejenak merasakan kedamaian dan seakan lupa akan hiruk pikuk dunia. Pembacaan selawat, doa, hingga nasihat teduh dari para kiai sepuh menjadikan saya optimis bahwa pandemi ini akan segera berlalu.
Tidak cukup pada hari itu saja, TVNU terus menyelenggarakan kegiatan-kegiatan serupa hampir setiap minggunya. Selain menggunakan media Zoom sebagai alat dan fasilitas, TVNU juga menyediakan live streaming via YouTube yang bisa dipastikan lebih mudah aksesnya serta bisa kita putar ulang videonya kapan saja.
Lebih jauh lagi, jika ditarik asas kebermanfaatan dari kegiatan tersebut, kita akan mendapatkan setidaknya tiga manfaat; pertama dan yang paling utama, kita bisa memohon doa keselamatan serta kekuatan iman untuk seluruh masyarakat Indonesia perantara barokah dan karomah para kiai. Sebab selama masa pandemi khususnya akhir-akhir ini, kita selalu diadu domba oleh oknum penyebar berita bohong yang menyangkut isu-isu keagamaan.
Kedua, kita akan mendapat suntikan motivasi dan pikiran positif melalui nasihat para kiai, sehingga kekebalan imun kita akan meningkat dan hal-hal negatif yang mengendap dalam pikiran kita perlahan akan memudar. Ketiga, kita dapat bersilaturahmi dan menguatkan instrumen sosial masyarakat Indonesia. Sehingga pada titik tertentu, kegiatan tersebut sekaligus menyatukan suara untuk membantu pemerintah dalam menanggulangi pandemi yang masih berlangsung saat ini.
Selain itu, Hernanda dan Habibie dalam artikel ilmiahnya yang sama juga menjelaskan bahwa; dalam pandangan Al-Qur’an, kesadaran spiritualitas terimpit erat dengan kesadaran kemanusiaan. Dengan kata lain, kegiatan keagamaan sederajat dengan kegiatan kemanusiaan. Dengan begitu, membaca selawat dan doa bersama sebagai tradisi sosial keagamaan, berperan penting dalam kepedulian terhadap sesama. Sebab fokus terhadap pemaknaan spiritual merupakan usaha dari manusia untuk memperoleh ketenangan batin secara utuh. Sehingga tidak ada kesadaran semu dalam melaksanakan kehidupan di dunia ini.
Memang kita tidak pernah tahu kapan berakhirnya pandemi ini. Apalagi mengetahui bahwa pemerintah terus memperpanjang PPKM darurat khusunya di wilayah Jawa-Bali. Namun dengan ikhtiar batin yang terus menerus kita jalankan, insyaallah kita akan bisa memperkuat aspek-aspek tertentu kehidupan saat ini, terutama dalam sisi keagamaan – keimanan, ketaqwaan dan ibadah.
Tentu, kegiatan sosial berbalut religius tersebut tidak untuk warga Nahdliyin atau Muhammadiyah atau ormas Islam saja yang melaksanakannya. Tetapi seluruh masyarakat Indonesia dan semua umat beragama yang memiliki harapan cerah ke depannya. Dan sudah barang tentu, pelaksanaannya pun dangan cara dan warnanya masing-masing.
-Penulis lepas di beberapa media online seperti Mojok.co, Times Indonesia, Kumparan, Qureta, dan Rahma.id.